Surabaya (Antara Jatim) - Para pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menilai upaya mengalirkan lumpur Lapindo dengan pompa merupakan cara termurah dalam mengatasi luapan lumpur itu di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. "Kami sudah menganalisa biaya mengatasi lumpur Lapindo yang paling murah dengan membandingkan empat cara yakni penanggulan, mengalirkan dengan pompa, pembuatan kanal khusus, dan pengaliran lumpur dengan pipa dan pompa sekaligus," kata pakar dari Jurusan Teknik Sipil ITS Ir I Putu Artama Wiguna MT PhD di Surabaya, Senin. Ia mengemukakan hal itu dalam Peringatan Tujuh Tahun Lumpur Sidoarjo dan peluncuran buku "Evaluation of Mud Flow Disaster Alternatives in Sidoarjo Regency Indonesia" yang diadakan Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS bekerja sama dengan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Disaster Risk Reduction (DRR) Indonesia. Aliran lumpur Lapindo terjadi sejak 29 Mei 2006. Dalam diskusi Tujuh Tahun Lumpur yang menampilkan peneliti dari Teknik Geologi UGM Yogyakarta Bosman Batubara dan korban lumpur Hartawi, ia menjelaskan pihaknya membandingkan keempat cara itu dengan estimasi 30 tahun beserta dampak yang menyertai selama itu, karena sejumlah peneliti memperkirakan lumpur itu akan mengecil atau bahkan tuntas dalam 30 tahun. "Kalau cara penanggulangan diteruskan tanpa pengaliran hingga 30 tahun akan membutuhkan biaya Rp29 triliun, tapi cara membuang dengan pompa hanya membutuhkan Rp14,5 triliun, sedangkan cara pembuatan kanal khusus membutuhkan biaya Rp35,5 triliun. Untuk cara mengalirkan dengan pipa dan pompa sekaligus membutuhkan biaya Rp15,6 triliun. Jadi, upaya mengalirkan dengan pompa lebih murah dalam estimasi selama 30 tahun," tuturnya. Senada dengan itu, pakar geologi ITS yang juga Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS Dr Ir Amien Widodo mengatakan bahwa pihaknya merekomendasikan dua solusi yang saling terkait, yakni pengukuran seismik secara tiga dimensi dan pelunasan kerugian yang dialami korban lumpur yang saat ini sudah melebar dari 25 ke 60 rukun tetangga (RT) pada 13 desa. "Pengukuran seismik tiga dimensi itu penting untuk melihat lubang di dalam luapan lumpur agar diketahui besaran lubang, sehingga dapat diketahui, apakah bisa ditutup atau tidak. Selain juga bisa diketahui kemungkinan terjadinya 'subsidence' dalam radius berapa dan berapa warga yang perlu direlokasi, apakah 60 RT pada 13 desa itu perlu direlokasi semuanya," ucapnya. Namun, katanya, pengukuran seismik tiga dimensi itu dapat dilakukan bila kerugian yang dialami korban lumpur pada 13 desa itu dilunasi, sehingga akan mudah merelokasi mereka dari kawasan lumpur, sekaligus meminimalkan trauma pertambangan. "Sekarang, masyarakat trauma dengan eksplorasi migas, karena itu eksplorasi di Jombang dan Sumenep ditolak," katanya. Peneliti dari Teknik Geologi UGM Bosman Batubara mengusulkan perlunya Indonesia mengadopsi UU Bencana Industri dari negara lain, karena hingga saat ini hanya ada UU Penanggulangan Bencana Alam, padahal bencana industri akan semakin mengancam di Indonesia sehubungan dengan maraknya pertambangan di Tanah Air. "Kalau tidak ada UU Penanggulangan Bencana Industri, maka kita akan melihat bencana industri sebagai bencana alam, seperti yang terjadi pada bencana luapan lumpur di Porong itu, padahal bencana yang terjadi di kawasan pertambangan, seperti di Sidoarjo (Porong), Bojonegoro, Pati, dan sebagainya merupakan bencana industri yang memerlukan strategi khusus," paparnya. Ia menilai upaya mengaitkan bencana lumpur di Porong, Sidoarjo dengan gempa bumi di Yogyakarta merupakan "cara baca" yang menyamakan bencana alam dengan bencana industri, padahal magnitude gempa Yogyakarta hanya 4 kilo-Pasca, sedangkan untuk sampai ke Porong, Sidoarjo dari Yogyakarta yang berjarak 280 kilometer itu perlu 10 kilo-Pasca. "Jadi, secara saintis nggak mungkin, apalagi sekarang dikaitkan dengan rekahan Watukosek justru terkesan mencari-cari," kata geolog dan penulis buku "Kronik Lumpur Lapindo Bencana Industri dan Bisnis Lumpur Lapindo" yang baru saja menyelesaikan studi S3 di Belgia itu. (*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013