Semua orang pasti tahu bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya alam, bahkan letak geografis negeri tercinta ini berada pada "ring of fire" akibat pertemuan empat lempeng benua sehingga banyak gunung api aktif dengan kesuburan tanah di sekitarnya.
"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman" begitu sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan Koes Plus berjudul Kolam Susu yang menggambarkan kesuburan tanah Indonesia.
Koes Plus dalam lirik lagu itu mendendangkan kesuburan tanah Indonesia, tanah yang begitu subur bak tanah Surga dan lagu itu tentu tidak berlebihan untuk selalu mengingatkan pada bangsa ini untuk merenungkan tanah kekayaannya.
Negeri makmur "gemah ripah loh jinawi" itu masih menyisakan persoalan kasus gizi buruk pada balita dan anak-anak yang dapat ditemukan hampir di seluruh daerah, bahkan tidak sedikit balita yang meninggal dunia akibat gizi buruk akut.
Sungguh ironi kenyataan itu dan kasus gizi buruk menjadi potret buram bagi negara yang kaya dengan cadangan gas alam terbesar di dunia.
Laporan akhir tahun 2012, data Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sebanyak 8 juta anak balita mengalami gizi buruk kategori "stunting" yakni tinggi badan yang lebih rendah dibanding balita normal.
Dari data 23 juta anak balita di Indonesia, 8 juta jiwa atau 35 persennya mengidap gizi buruk kategori stunting, sementara untuk kasus gizi buruk tercatat sebanyak 900 ribu bayi atau sekitar 4,5 persen dari total jumlah bayi di seluruh Indonesia.
Dengan fenomena itu, Indonesia belum bisa disebut sebagai negara makmur karena indikasi negara makmur antara lain tidak satupun rakyatnya yang kelaparan, kurang gizi, apalagi meninggal dunia akibat kelaparan. Kalau masih terjadi, maka negara itu belum sepenuhnya dikatakan makmur.
Masyarakat Indonesia seharusnya kaya dan sejahtera karena kemiskinan dan kelaparan tidak sepantasnya muncul di Tanah Air tercinta ini, bahkan krisis air bersih, gizi buruk dan rawan pangan seharusnya bukan hal yang patut dikhawatirkan di negeri yang makmur ini, namun kenyataannya masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Gizi buruk tidak bisa dipisahkan dengan persoalan kemiskinan, sehingga tidak sedikit program pemerintah yang digelontorkan di daerah untuk menekan angka kemiskinan dan perbaikan gizi anak, namun program tersebut tidak sepenuhnya tepat sasaran karena tidak sedikit anggaran kesehatan yang menguap entah kemana.
Jika persoalan gizi buruk tidak ditangani secara seius, maka Indonesia akan tidak akan memiliki generasi penerus bangsa yang berkualitas karena anak-anak itulah yang akan menjadi pemimpin di negeri ini kelak.
Masalah gizi adalah persoalan mendesak yang harus segera diatasi di negeri "gemah ripah loh jinawi" ini karena terlambat menanganinya bisa membawa dampak yang jauh lebih parah dari sekadar bencana banjir dan tanah longsor.
Persoalan kekurangan gizi bukan menjadi tanggung jawab pemerintah saja, namun semua pihak harus bahu membahu dan bergotong royong untuk meningkatkan kepedulian terhadap gizi anak dan balita karena merekalah yang akan menjadi penerus bangsa.
Semua sadar betapa besar pengaruh gizi buruk terhadap masa depan suatu bangsa karena kekurangan gizi bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan yang meningkat, dan menyebabkan rendahnya kualitas SDM.
Untuk itu, tanggal 28 Februari yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Hari Gizi Nasional Indonesia hendaknya tidak hanya sebagai peringatan yang bersifat serimonial tapi lebih dari upaya nyata untuk terus mengurangi angka kematian akibat kurang gizi dan mengeliminasi hambatan-hambatan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013