Surabaya - Cuaca buruk kian menurunkan kinerja industri pengolahan ikan di Jawa Timur mencapai 30 persen, karena sejak Januari hingga Februari 2013 sektor tersebut terhambat sulitnya bahan baku ikan tangkap.
"Meski situasi ini selalu terjadi setiap tahun tapi untuk tahun ini kami rasakan lebih berat," kata "Vice President" I Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), Johan Suryadarma dihubungi dari Surabaya, Selasa.
Menurut dia, cuaca buruk yang menjadi salah satu faktor menurunnya kinerja industri pengolahan ikan di Jatim dipicu semakin bertambah panasnya suhu dunia. Hal tersebut mengakibatkan curah hujan kian tinggi sehingga aktivitas nelayan menjadi terganggu.
"Akan tetapi, dalam kondisi itu ternyata pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak terhadap industri dalam negeri," ujarnya.
Oleh karena itu, harap dia, pemerintah khususnya pihak BMKG bisa memberikan informasi cuaca lebih spesifik daerahnya atau lokasi mana yang berpotensi terjadi gelombang dengan curah hujan tinggi.
"Seperti Selat Bali ataukah Selat Madura atau Lautan Hindia. Untuk itu, semuanya harus jelas dan kami yakin pemerintah bisa melakukannya mengingat teknologinya sudah canggih," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jatim, Kardani menambahkan, selain karena cuaca buruk pada awal tahun ini industri pengolahan ikan Jatim mengalami hambatan cukup berat. Hal itu dipengaruhi oleh pemberlakuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 30/2002 tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
"Aturan itu bertujuan agar lebih efisien. Tapi, kebijakan ini kontradiktif dengan aturan lama di mana kapal tangkap asing harus mendaratkan hasil tangkapannya di pendaratan dalam negeri," tukasnya.
Ia optimistis, dengan pemberlakuan aturan baru tersebut maka bahan baku industri perikanan dalam negeri akan terganggu karena hasil tangkap mereka langsung bisa dibawa keluar negeri.
Selain itu, sebut dia, dalam aturan baru tersebut pemerintah memberikan keistimewaan kepada kapal tangkap cincin asing berbobot mati 1.000 gross tonnage (GT) yang beroperasi tunggal untuk menangkap ikan di perairan lebih dari 100 mil dan melakukan alih muatan ikan untuk diangkut ke luar negeri.
"Namun, kami berharap aturan tersebut tidak berdampak negatif terhadap nelayan Jatim," katanya.
Apalagi, lanjut dia, sampai sekarang kapal nelayan di wilayah Jatim tidak ada yang berukuran 1.000 GT yang beroperasi di laut lepas. Meski demikian, pihaknya khawatir hal itu berdampak pada pasokan bahan baku untuk industri dalam negeri termasuk Jatim.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013