Oleh Edy M Ya'kub (Surabaya/ANTARA) - Ancaman separatis di Aceh dan Papua agaknya bukan persoalan akhir-akhir ini saja, namun persoalan yang bersumber dari disharmoni hubungan pusat-daerah itu sudah ada sejak tahun 1950-an. "Hubungan 'setengah hati' antara pusat dan daerah itu sudah terjadi sejak tahun 1950-an, karena itu pemberontakan daerah sudah ada pada tahun 1950-1960," kata pakar administrasi negara Fisip Unair Surabaya Dr Antun Mardiyanta MA. Ketika berbicara dalam sosialisasi "Law Center" DPD RI di Fakultas Hukum Unair Surabaya (31/1), ia menyebut akar masalah disharmoni pusat-daerah ada tiga yakni penyeragaman, negara-isasi, dan sentralisasi dalam politik, ekonomi, dan kultural. "Ibaratnya ada orang tua punya lima anak, lalu kelima anaknya dibelikan baju tapi dalam satu ukuran, tentu bermasalah," katanya. Oleh karena itu, tuntutan yang sifatnya pemberontakan pun berkembang, kemudian berkembang lagi pada tuntutan otonomi hingga merdeka. Hal itu dibenarkan anggota DPD RI Supartono. Ia mencontohkan pihaknya saat ini mencatat 84 Undang-Undang (UU) yang dirancang pemerintah pusat bersama DPR RI tidak dijalankan pemerintah daerah. "Padahal, biaya membuat satu UU saja mencapai miliaran rupiah, tentu 84 UU itu bisa puluhan atau ratusan miliar, tapi hasilnya nol," katanya dalam sosialisasi 'Law Center' bersama tujuh anggota DPD yakni Afnan Hadikusumo, Elviana, Djasarmen Purba, Matheus, Abdurrahman, Syibli, dan Rosman Djohan. Menurut dia, DPD menemukan fakta itu setelah menjalin kerja sama dengan 33 universitas untuk membentuk "Law Center" yang merupakan pusat perancangan kebijakan dan informasi hukum pusat-daerah DPD RI. "Fakta-fakta yang ditemukan Law Center yang merupakan kerja sama DPD dengan universitas itu menunjukkan ada masalah dalam hubungan pusat-daerah dan DPD bukan dibentuk untuk sekadar menjadi peredam hubungan itu," katanya. Selain UU yang tidak dijalankan, katanya, sikap sinis daerah juga cukup serius, bahkan ada yang sampai melakukan tindakan separatis. "Penyebabnya antara lain faktor bagi hasil sumber daya alam yang tidak adil," katanya. Anggota DPD RI dari Jatim itu mencontohkan hasil cukai rokok dari Jatim yang mencapai Rp40 triliun per tahun dari Jatim, namun dikembalikan ke Jatim hanya Rp600 miliar dan hal itu juga dibagi untuk 38 kabupaten/kota se-Jatim. "Karena itu, kami melibatkan kalangan akademisi untuk mengkaji masalah yang ada dalam hubungan pusat-daerah itu, kemudian mencarikan solusi yang tepat untuk itu. Nantinya, kami akan sampaikan ke pemerintah," katanya. Pahami kebutuhan Seperti ibarat yang dikemukakan Dr Antun Mardiyanta, agaknya orang tua atau pemerintah pusat yang memberikan jawaban seragam untuk masalah yang beragam, tentu akan bermasalah. "Karena itu, jawabannya bukan sekadar otonomi daerah, pemekaran wilayah, dan pemilihan secara langsung, namun hal terpenting adalah pusat memahami kebutuhan daerah," katanya. Menurut dia, bila pemerintah pusat memahami kebutuhan daerah, maka dia tidak akan memberlakukan kebijakan yang seragam untuk masalah beragam, namun kebijakan dirumuskan dari kebutuhan daerah yang diusulkan ke pusat. "Bahkan, pemilihan secara langsung juga solusi pusat yang belum tentu cocok untuk semua daerah, karena itu sistem pemilihan yang cocok untuk Indonesia adalah 'deliberatif' atau sistem perwakilan untuk musyawarah," katanya. Tentu, solusi deliberatif itu sulit, apalagi bagi para elit. "Tapi, deliberatif cocok untuk kondisi warga Indonesia yang beragam, karena sistem pemilihan langsung adalah jawaban yang seragam," katanya. Dalam pandangannya, banyaknya mobil di jalanan, banyaknya masyarakat yang antre haji, dan fakta "makmur" lainnya bukan berarti kebijakan yang diterapkan pusat sudah tepat. "Buktinya, kesenjangan kaya-miskin sekarang justru semakin melebar dari 0,33 menjadi 0,41, karena itu solusinya adalah bukan keseragaman, tapi bagaimana pusat memahami kebutuhan daerah," katanya. Pandangan itu juga dibenarkan pakar hukum Unair Dr Suparto Wijoyo. Bahkan, Suparto Wijoyo menegaskan bahwa kunci hubungan pusat-daerah yang baik adalah kembali kepada Pancasila. "Hubungan yang Pancasilais adalah hubungan yang berdasarkan tujuan ketuhanan, manusiawi, persatuan atau mengutamakan kebersamaan, kerakyatan, dan berkeadilan," katanya. Ia mencontohkan Pemprov Jatim yang justru mulai menerapkan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) untuk membuat program, bahkan musrenbang itu dimulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. "Karena itu, kebijakan di Jatim relatif tidak ada masalah, karena Pemprov Jatim sudah menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam hubungan yang bersifat kebersamaan, persatuan, berkeadilan, kemanusiaan, kerakyatan, dan tentunya ketuhanan, bahkan rakyat sebanyak mungkin dilibatkan," katanya. Agaknya, hubungan pusat-daerah bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan, bagi-bagi kekayaan alam, atau lainnya, namun semuanya ditentukan pusat, melainkan "kemesraan" itu terjalin melalui pemahaman kebutuhan daerah. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013