Operasi kemanusiaan yang digelar Basarnas di tiga provinsi besar Pulau Sumatera memasuki tahap krusial, ketika Kapal Negara (KN) Ganesha (SAR- 105) bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (2/12) menuju Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, sebelum melanjutkan perjalanan ke Sibolga, Sumatera Utara.

Keberangkatan itu menandai dimulainya pengerahan kekuatan penuh untuk memperkuat pencarian dan pertolongan (SAR) korban banjir bandang dan longsor yang meluas di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Dengan tujuan utama mengantarkan sejumlah bantuan logistik dan tim petugas SAR tambahan ke sektor yang belum terjangkau, kehadiran kapal Kelas 1 terbesar milik Kantor SAR Jakarta tersebut diharapkan dapat menutup celah pencarian yang selama 10 hari terakhir terkendala akses dan cuaca.

Di balik suasana yang serius dan terlihat tegang operasi kemanusiaan itu, dapur umum yang berada di dek bawah KN Ganesha menjelma menjadi salah satu ruang yang cukup vital bagi para penumpang.

Betapa tidak, bukan hanya pusat asupan energi, tapi di sinilah 80 penumpang dipertemukan. Dapur menjadi tempat favorit selain geladak untuk berbagi kisah hingga tertawa bersama selama berada dalam pelayaran empat hari tiga malam di atas hamparan biru perairan barat Sumatera.

 

Suasana dapur umum KN GANESHA (SAR-105) untuk operasi SAR tanggap darurat bencana Sumatera Barat Sumatera Utara dan Aceh. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

 

Atmosfer dapur mulai terasa sejak fajar menyingsing. Kala itu, aroma harum bawang yang ditumis menghunus cepat ke hidung dan semua terbangun karena perut mendadak keroncongan.

Malam pertama cukup menarik. Belum selesai juru masak bekerja, tak sedikit orang turun tangga mengunjungi ruangan sumber kenikmatan itu. Apalagi kalau bukan karena rasa penasaran dan lapar yang menggeliat.

Dapur KN SAR Ganesha tak begitu luas, hanya memiliki dua kompor listrik, satu talenan panjang, sepasang wajan, beberapa panci besar, dua lemari es, dan rak kecil tempat menyimpan bumbu. Sebuah wastafel di sudut ruangan hampir tak pernah kosong karena alat makan bergiliran dibersihkan.

Perlengkapan itu cukup untuk mengolah dua karung beras besar, puluhan kilogram ikan tongkol, tumpukan sayur-mayur, dan berbagai bahan dapur yang harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan energi tinggi para penyelamat.

Getaran mesin ganda kapal membuat wajan dan panci sesekali bergeser, sementara susunan piring akrilik dan alat makan aluminium berdenging kompak ketika lambung kapal dihantam ombak. Kondisi penuh guncangan ini tidak mengurangi keharusan untuk menyajikan tiga kali makan bagi seluruh personel yang berada di atas kapal sepanjang pelayaran.

Tanggung jawab itu berada pada Copra, anggota Basarnas dari Kantor SAR Jakarta, yang memimpin dapur tanpa kru resmi. Ia mengatur setiap kebutuhan konsumsi dengan dukungan bergiliran dari para rescuer dan relawan yang lebih terbiasa memegang tali, dayung, atau peralatan evakuasi, dibandingkan pisau dan wajan. Namun, dalam suasana serba terbatas, peran mereka beralih menjadi satu kesatuan yang menghidupkan dapur sebagai pusat kehangatan di tengah operasi berskala besar.

Ketika gelombang meninggi, ruang dapur menjadi tempat paling menantang. Kapal bergoyang keras dan suhu panas dari kompor bercampur dengan udara lembap yang datang dari buritan.

Para relawan menahan badan dengan kedua kaki agar tetap seimbang, sementara tangan mereka tetap bergerak mengaduk tumisan atau menahan panci yang berpotensi terguling.

Kadang minyak panas menetes ketika wajan terpental sedikit, namun pekerjaan tidak boleh berhenti. Setiap piring yang tersaji berarti kekuatan tambahan bagi tim yang akan mengarah ke sektor bencana di daratan.

Menu untuk malam kedua ditetapkan berupa sayur asam, ikan goreng, dan sambal terasi. Azti, relawan perempuan dari sebuah lembaga kemanusiaan berbasis di Jakarta, mengambil peran sebagai asisten dapur.

Ia membagi tugas kepada empat relawan pria senior yang berperawakan seram itu. Seseorang menanak nasi, seorang lainnya memotong sayur mengikuti ritme kapal, dan dua orang lagi mengolah bumbu. Sementara Copra menyiangi ikan, dan yang lain memastikan dapur tetap bersih dan peralatan aman dari hentakan ombak.

Di ruang besi yang dingin, aktivitas itu justru menghadirkan suasana akrab. Relawan yang terbiasa menuruni tebing dengan tali kini sibuk mengupas bawang, sementara rescuer yang rutin menembus arus sungai mengiris cabai dengan hati-hati.

Candaan kecil muncul di sela pekerjaan, terutama ketika ada yang tak terbiasa mengiris bawang hingga matanya berair. Tawa ringan yang muncul membuat ruang dapur menjadi titik relaksasi bagi siapa pun yang singgah sebentar untuk mengambil minum atau menunggu makanan matang.

Aroma tumisan kembali menyebar dari lorong sempit menuju geladak bawah. Di samping pintu, sayur-mayur segar dari irisan labu hingga daun dan buah melinjo tersusun dalam baskom plastik warna-warni. Semua itu siap diolah menjadi santapan yang menghangatkan tubuh tim yang kelak akan berjibaku di medan bencana.

Makanan pun selesai dimasak. Sang asisten dapur yang cantik sendiri mengumumkannya dengan dengan ramah. Ia berpantun dengan narasi yang menggelitik untuk mengundang para penumpang menuju ke ruang makan.

"Makan sudah siap. Biar tubuh kita lelah tetapi dompet kita jangan ya... oh iya, jangan lupa bawa tumblernya ya," kata Azti, yang selalu diucapkannya sebelum mengakhiri pengumuman melalui pengeras suara.

Para penumpang bahkan sampai kapten kapal di anjungan utama dan kru mesin di ruang paling bawah hafal dengan sepenggal kalimat itu selalu disampaikan secara berulang setiap jam makan.

Jalur sempit menuju ruang makan selalu dipenuhi antrean rapi. Piring dan mangkuk bergerak cepat dari bilik dapur ke meja panjang, berisi nasi hangat, ikan goreng, sambal, atau sup yang dibuat untuk menghadapi angin laut yang menusuk.

Meskipun menu yang disajikan sederhana, setiap porsinya selalu habis tanpa tersisa. Bukan karena jumlahnya kurang, melainkan karena seluruh personel paham bahwa makanan yang mereka santap diolah dengan tenaga dan kebersamaan yang sama besarnya dengan upaya mereka di lapangan.

Tidak ada sekat antara rescuer, tenaga medis, relawan, mekanik kapal, maupun pewarta yang ikut dalam pelayaran. Mereka saling membantu, termasuk dalam bersih-bersih sampai mencuci piring dan cangkir kotor.

Di luar waktu makan, dapur umum pun menjadi ruang singgah yang memberikan ketenangan. Beberapa rescuer yang letih karena mesti terus memantau perkembangan operasi SAR melalui saluran telepon satelit dari beberapa posko acapkali duduk sebentar di kursi kecil dekat wastafel, menikmati aroma masakan atau meneguk air panas sebelum kembali bertugas.

Ruang kecil itu mungkin tidak tercantum dalam laporan resmi, tetapi dari sanalah keberanian, ketahanan, dan kebersamaan tim tumbuh untuk menopang misi kemanusiaan yang berat di bumi Sumatera.

Di sanalah para awak mengambil jeda singkat dari hiruk-pikuk operasi, sekaligus menjadi tempat berbagi cerita tentang pengalaman lapangan atau daerah asal masing-masing.

Hingga akhirnya kapal pun bersandar di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, sekaligus tujuan pertama pelayaran, Kamis (4/12) pagi. KN Ganesha dijadwalkan kembali berlayar ke Sibolga Sumatera Utara setelah beberapa waktu menurunkan sejumlah penumpang.

Di titik ini ada sebanyak tujuh Personel Kantor SAR Banten dan 10 relawan Potensi SAR termasuk satu orang pewarta nasional yang turun, mereka berkumpul di Kantor SAR Padang untuk menunggu arahan lebih lanjut.

Namun, dapur yang mereka tinggalkan tetap menyisakan cerita, menjadi bagian dari perjalanan kemanusiaan yang tidak hanya mengandalkan keahlian teknis, tetapi juga kehangatan manusiawi yang lahir dari sebuah ruang sempit di bawah geladak KN Ganesha.

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo

Editor : Vicki Febrianto


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2025