Jakarta (ANTARA) - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan terus mengkaji penggabungan batasan produksi sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) untuk mencari struktur tarif ideal.

"Bukan berarti berhenti, kami akan lihat lagi di tahun ini. Tiap tahun akan kami lihat, makanya kajian dari teman-teman yang menguatkan kami butuhkan,” kata Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal, Nasruddin Djoko Surjono, seperti dikutip dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Peraturan Menteri Keuangan 146/2017 menjabarkan rencana penggabungan jumlah produksi SKM dan SPM, jika diproduksi oleh perusahaan yang sama. Artinya, setiap pabrikan rokok yang memproduksi rokok jenis SKM dan SPM atau gabungan keduanya dengan jumlah tiga miliar batang, maka perusahaan tersebut wajib membayar tarif cukai tertinggi di setiap jenisnya.

Nasrudin menambahkan, pihaknya akan melakukan kajian mengenai bagaimana idealnya struktur tarif. "Semakin banyak tarif, semakin banyak celah untuk penghindaran pajak (tax avoidance), bukan melanggar tapi menghindar (avoid)," tambah Nasrudin.

Menurut dia, hal itu bertujuan untuk menutup kesempatan perusahaan besar asing memanfaatkan celah batasan produksi dengan membayar tarif cukai lebih rendah. Kenyataannya sampai saat ini, beberapa pabrikan asing besar masih dapat menikmati cukai murah untuk jenis rokok yang diproduksi, meskipun secara total sudah memproduksi rokok buatan mesin lebih dari tiga miliar batang.

Namun Kementerian Keuangan menunda rencana penggabungan ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan 156/2018. Tak hanya penggabungan produksi, pemerintah juga menunda kelanjutan kebijakan penyederhanaan layer tarif cukai. Seharusnya, untuk tahun ini, layer tarif cukai menjadi delapan layer.

Nasruddin kembali menegaskan peluang untuk kembali melanjutkan rencana penggabungan batasan produksi SPM dan SKM masih tetap terbuka. Untuk saat ini, dia meneruskan, pemerintah masih menerima pendapat dari para pelaku usaha.

"Tapi ditunda itu bukan berarti berhenti di situ. Pembahasan ini masih panjang, tapi kan ini eranya demokrasi, jadi perlu pemahaman yang perlu dilakukan," tegasnya.

Peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, sebelumnya berharap pemerintah merealisasikan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM. "SPM dan SKM sama-sama beracun. Apa (rokok) yang dimiliki asing lebih sehat daripada lokal? Makanya, SPM dan SKM mestinya digabung,"ujarnya.

Dengan kondisi sekarang ini, Abdillah melanjutkan, banyak pabrikan besar asing yang masih menikmati tarif cukai murah. "Kalau saya pengusaha rokok SPM, saya produksi 2,99 miliar batang SPM. Walau (tarif cukainya) lebih murah beberapa rupiah saja, tapi kalau dikali 2,99 miliar batang? Yang harusnya disubsidi itu UKM. Industri rokok tidak perlu disubsidi,"tegasnya.

Sebelumnya, perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) juga mendorong pemerintah untuk merealisasikan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM karena pabrikan rokok asing besar sampai saat ini masih menikmati tarif cukai murah.


 

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019