Jakarta (ANTARA) - Masa ketika jutaan ton buah sawit terpaksa membusuk tidak bisa terjual merupakan saat-saat tersulit bagi jutaan masyarakat petani sawit di Indonesia.

Masa itu bisa terjadi dalam waktu dekat, karena Komisi Eropa segera mengurangi penggunaan bahan baku biofuel dari minyak sawit secara bertahap mulai 2019 hingga 2023 dan menjadi nol (penghentian total) pada 2030.

Komisi Eropa beralasan bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah dan gambut, jauh lebih besar dibandingkan biofuel dari jenis tanaman lainnya seperti bunga matahari (sunflower) atau kanola (rapeseed) yang hanya satu persen.

Sebagai produsen sawit nomor satu dunia, produk sawit Indonesia memang menggunakan lahan cukup luas, mencapai total 14,31 juta ha, yang meski sudah dihentikan perluasannya (moratorium) melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2018, sawit tetap dituduh merusak hutan.

Sebuah jaringan supermarket di Inggris bahkan telah menghentikan penjualan produk-produk yang mengandung minyak sawit sejak tahun lalu, dan pemerintah Perancis bakal menghapus minyak sawit dari biofuel-nya pada 2020. Kebijakan semacam ini diperkirakan terus merembet ke berbagai negara lainnya termasuk ke AS.

"Tidak ada biofuel tertentu yang menjadi target. Semua minyak nabati diperlakukan setara," kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guérend menampik protes pemerintah Indonesia.

Di sisi lain, produksi sawit Indonesia justru terus meningkat dari saat ini 47 juta ton CPO (Crude palm Oil), akan menembus 51,7 juta ton pada 2025.

Namun, hanya 10 juta ton CPO yang selama ini bisa diserap di dalam negeri, sedangkan 34,7 juta ton untuk memenuhi pangsa ekspor, dan 4,78 juta ton di antaranya diekspor ke Eropa yang 61 persennya digunakan sebagai biofuel.

Lalu jika rancangan peraturan Komisi Eropa tentang energi terbarukan terkait pelarangan sawit itu benar-benar diterapkan, apa yang harus dilakukan Indonesia untuk mengatasi kemungkinan kelebihan (oversupply) produksi sawit tersebut?

 
Pemilik usaha budidaya lele sangkuriang Sutigno (kanan) memperlihatkan kolam ikan lele di lahan perkebunan kelapa sawit Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala Pesisir, kabupaten Nagan Raya, Aceh, Selasa (26/3/2019) (Antara Aceh/ Anwar)



Badan Khusus

Pakar energi Dr Unggul Priyanto mengatakan, sudah sepatutnya melimpahnya minyak sawit itu tidak disia-siakan dan harus digunakan sebagai pengganti BBM (bahan bakar minyak) di dalam negeri yang dari tahun ke tahun kebutuhannya terus meningkat.

Saat ini sudah ada teknologi yang bisa mengolah minyak sawit menjadi 100 persen bensin atau 100 persen solar, bukan lagi sekedar sebagai campuran biodiesel B10 atau B20, kata mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu.

ENI, perusahaan dari Italia yang menjadi pelopor konversi kilang minyak nabati pertama di dunia, sudah bekerja sama dengan Pertamina untuk memproses CPO 100 persen menjadi BBM, dan telah memulai proses pengolahan di Kilang Plaju (Refinery Unit III) Palembang, Sumatra Selatan.

"Prosesnya tidak sulit, agak mirip dengan kilang minyak biasa, hanya bahan bakunya menggunakan CPO dan kondisi reaksinya serta suplai hidrogennya yang beda. Secara Laboratorium ITB dan Pertamina sudah bisa memproses CPO 100 persen jadi BBM," kata alumnus ITB itu.

Namun, demikian, untuk membangun pabrik pengolahan green fuel ini hingga bisa digunakan secara massal, menurut Unggul, masih memerlukan waktu sedikitnya tiga tahun lagi.

Unggul mengakui, green fuel berupa green gasoline (bensin 100 persen dari CPO) dan green diesel (solar 100 persen dari CPO) akan sulit bersaing dengan minyak fosil karena harganya yang masih lebih mahal terkait harga CPO yang memang tinggi.

Namun, hal itu bisa diatasi dengan membentuk suatu badan khusus yang mengatur kebijakan perdagangan kelapa sawit. Badan ini akan menetapkan dua harga CPO, untuk pangan dan CPO untuk energi, ujarnya.

Yang perlu diperhatikan, ujar dia, CPO yang digunakan sebagai biofuel tidak perlu memiliki kualitas selevel CPO yang digunakan sebagai bahan pangan (minyak goreng dan margarin).

"CPO untuk pangan sudah memiliki standar, asam lemak bebas (ALB)-nya tidak boleh lebih dari 5 persen, sehingga buahnya tidak boleh terlalu matang. Jika terlalu matang, harganya jatuh karena ALB-nya melebihi batas," katanya.

Selama ini, persoalan kematangan buah selalu membebani petani sawit karena harus berkejaran dengan waktu memanen agar bisa dijual ke perusahaan untuk diproses menjadi CPO, padahal semakin matang buah sawit, sebenarnya makin besar rendemennya dan semakin banyak CPO yang dihasilkan, ujarnya.

Selain itu, dari sisi proses, CPO untuk energi juga lebih mudah, karena tidak perlu didistilasi untuk memisahkan CPO dari ALB atau free fatty acid (FFA)-nya dan hanya cukup dihilangkan dari getahnya menjadi refined, bleached and deodorised (RBD) palm oil untuk diproses menjadi BBM.

"Jika CPO yang berasal dari tandan buah segar (TBS) sawit petani dibedakan dengan CPO yang dihasilkan perusahaan sehingga ada dua jenis CPO, ini akan lebih baik. Jadi CPO perusahaan hanya untuk pangan dan ekspor, sawit petani untuk BBM dalam negeri," katanya.

Ia mengatakan, badan tersebut bisa mengatur agar sawit yang dijual petani bisa tetap dibeli dengan harga layak meskipun kualitasnya rendah.

Data Kementerian Pertanian, dari 14 juta hektare lahan sawit, seluas 6 juta hektare merupakan lahan milik rakyat, 8 juta hektare lahan perusahaan swasta dan 1 hektare lahan perkebunan BUMN.

Selain itu, petani tetap bisa untung karena produk CPO untuk BBM yang dihasilkan dari CPO kualitas rendah ini secara kuantitas lebih banyak dibanding CPO untuk pangan, apalagi ADL-nya tidak perlu dipisahkan, ujarnya.

"Harganya diharapkan jadi sama dengan BBM dari minyak fosil atau kalau lebih mahal, paling banter selisih maksimum Rp1.000 per liter itu nanti bisa diambilkan misalkan dari subsidi kutipan ekspor CPO," katanya.

 
Pekerja melansir Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di Pekanbaru, Riau, Rabu (20/3/2019). (ANTARA FOTO/Rony Muharrman/ama)


Green Fuel

Dengan green fuel ini, diharapkan konsumsi BBM dalam negeri yang saat ini kebutuhannya mencapai 1,3 juta barrel per hari bisa digantikan, berhubung selama ini 370 barrel BBM/hari terpaksa diimpor, dan hanya 910 ribu barrel/hari yang bisa dipenuhi oleh kilang dalam negeri.

Akibat impor yang sangat besar dari migas yakni 13,4 milyar dolar AS, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan tahun 2018 sebesar 8,57 milyar dolar AS.

Oleh karena itu memang harus ada upaya untuk mengurangi impor BBM dengan menggunakan sumber energi lain, terutama bahan bakar nabati yang kebetulan melimpah di Indonesia.

Apalagi bensin hijau ini memiliki kualitas yang lebih baik daripada bensil fosil dengan nomor octane mencapai 104, sedangkan solar hijau memiliki nomor cetane 86.*


Baca juga: Kementerian ESDM dorong upaya produksi "green fuel"

 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019