Jakarta (ANTARA) - Ada kegamangan di benak mereka, Masyarakat Adat Moi Kelim di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, yang memang memilih hidup bersama dengan alam. 

Entah berapa lama waktu tersisa bagi mereka untuk tetap dapat menikmati udara dan air bersih, pangan lokal yang berlimpah, obat-obatan yang tersedia gratis sebagai upah dari setiap tetes keringat menjaga alam. 

Mereka tidak sedang mencari “kambing hitam”. Namun kenyataannya, perusahaan perkebunan kelapa sawit hingga pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) menjadi mimpi buruk yang sebisa mungkin ingin sekali mereka hindari. 

Mereka hanya dapat berharap pada penguasa di pemerintahan dan pemilik modal, agar kemewahan hakiki yang mereka terima dari alam yang terjaga selama ini, tidak punah oleh secarik kertas izin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. 

Bupati Sorong Johny Kamuru ditemui di rumah dinasnya di Aimas, Sorong, Kamis malam (21/2), mengatakan sebelum 2010 beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah beroperasi di kabupaten tersebut. Ada pula perusahaan yang sudah mendapat izin tetapi dijual lagi kepada pihak lain. 

Dalam pertemuan di provinsi yang dihadiri pula oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johny mengeluhkan kewenangan pemberian izin pengelolaan sumber daya alam berbasis lahan oleh pemerintah pusat dan provinsi yang mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, namun pada akhirnya beban sosial dan struktural dari pemberian izin tersebut harus ditanggung kabupaten. 

Selaku pimpinan daerah, dirinya mengaku tidak bisa lagi mengontrol eksploitasi hutan untuk pengambilan kayu, mengingat kewenangannya ada di provinsi. Namun jalan-jalan mulus yang dibangun dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) hancur dilewati truk-truk pengangkut kayu log. 

“Ini cukup rumit penyelesaiannya,” kata Johny. 

Pada umumnya, persepsi bahwa pengelolaan besar-besaran sumber daya alam dengan modal yang juga besar menjadi satu-satunya cara untuk menghasilkan kapital yang besar terlanjur melekat di benak setiap orang.

Persoalannya, apakah kapital yang dihasilkan tersebut terbagi secara adil dan menyejahterakan semua mahluk yang hidup di sana? 
 

Valuasi ekonomi

Lalu bagaimana jika sumber daya alam tersebut dikelola oleh masyarakat adat yang secara turun-temurun sudah hidup di sana? 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan kajian ekonomi enam wilayah masyarakat adat di Indonesia untuk “melawan” narasi bahwa produk ekonomi hanya untuk investasi besar saja. Sementara wilayah masyarakat adat selalu diidentikkan tidak produktif dan bernilai rendah.

Valuasi ekonomi dilakukan di Komunitas Masyarakat Adat (KMA) Karang di Lebak, Banten, lalu KMA Kajang di Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, KMA Kaluppi di Enrekang, Sulawesi Selatan, KMA Seberuang di Sintang, Kalimantan Barat, KMA Saureinu di Mentawai, Sumatera Barat dan KMA Moi Kelim di Sorong, Papua Barat.

Hasil kajian yang dilaksanakan pada Januari hingga Juni 2018 tersebut menunjukkan nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat ada pada rentang Rp28,92 miliar per tahun (Kajang) sampai dengan Rp41,23 miliar per tahun (MOI Kelim). Secara total, enam wilayah adat menghasilkan Rp159.21 miliar per tahun.

Khusus untuk melakukan valuasi ekonomi KMA Moi Kelim di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, AMAN menggandeng Direktur Eksekutif Pusat Studi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Universitas Padjadjaran Zuzy Anna, dengan pendanaan dari Climate and Land Use Alliance (CLUA). 

Valuasi ekonomi lanskap KMA Moi Kelim Malaumkarta dilakukan dengan menghitung nilai pasar langsung dan tidak langsung serta nilai non pasar (nilai keberadaan). Sedangkan metode valuasi ekonomi yang digunakan, menurut Zuzy, menggunakan pendekatan produktivitas, Contingent Valuation Methods (CVM), Travel Cost Methods (TCM) dan Benefit Transfer Methods (BTM). 

Dari hasil penelitian yang dilakukan sepanjang Februari sampai dengan April 2018 tersebut diketahui bahwa nilai manfaat langsung diperoleh dari pemanfaatan sumber daya alam untuk konsumsi, termasuk pertanian, perkebunan, hutan, perikanan dan jasa lingkungan pariwisata, budaya dan kearifan tradisional. 

Sedangkan untuk nilai manfaat tidak langsung Zuzy mengatakan diperoleh dari berbagai jasa yang disediakan oleh ekosistem yang ada di kawasan Malaumkarta, di antaranya hutan, mangrove, terumbu karang dan padang lamun. 

Sementara nilai non manfaat, menurut dia, diperoleh dari seluruh nilai keberadaan yang dalam persepsi masyarakat signifikan dirasakan atau tidak dirasakan dari ekosistem yang ada, termasuk budaya dan kearifan tradisional.

 

Pulau Um yang masih menjadi bagian dari Kampung Malaumkarta di Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, menyimpan kekayaan hayati berupa jajaran pinus dan spesies kelelawar. (ANTARA/Virna P Setyorini)

Hasil perhitungan dari kajian tersebut menunjukkan nilai manfaat langsung dari sumber daya yang dikonsumsi langsung oleh Masyarakat Adat Moi Kelim di Malaumkarta sebesar Rp7.957.650.058,66 per tahun. Sedangkan nilai manfaat tidak langsung dari jasa lingkungan lebih besar lagi, mencapai Rp148.431.597.810,78 per tahun. 

Sementara nilai non manfaat, seperti dari budaya hingga kearifan lokal masyarakat adat di Malaumkarta mencapai angka Rp3.541.838.426,34 per tahun. 

Sedangkan untuk total nilai ekonomi untuk manfaat dan non manfaat lanskap Masyarakat Adat Moi Kelim di Malaumkarta mencapai Rp159.931.086.295,78. Dan jika nilai tersebut dikonversikan ke nilai ekonomi per kapita per tahun maka akan mencapai Rp828.658.478,22. 

Dan khusus untuk nilai ekonomi manfaat langsung yang dikonsumsi secara langsung, menurut Zuzy, mencapai Rp41.231.347,45 atau Rp3.435.945,62 per kapita per bulan. 

Jika dibandingkan dengan nilai Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sorong dengan Migas tahun 2016 sebesar Rp7.716.910.840.000 dan jumlah penduduk 82.784 jiwa atau Rp7.768.118,28 per kapita perbulan, maka nilai ekonomi lanskap Moi Kelim memang masih lebih kecil, kata Zuzy. 

Namun jika dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Sorong tanpa migas, yakni sebesar Rp2.802.894.400.000 atau Rp2.821.493,69 per kapita per bulan, tentu nilai ekonomi langsung lanskap Moi Kelim masih di atas PDRB tanpa migas tersebut. 

Demikian juga jika dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR) Papua Barat pada 2018 sebesar Rp2,67 juta per bulan, maka nilai ekonomi langsung Masyarakat Adat Moi Kelim di Malaumkarta masih lebih tinggi, lanjutnya. 

Bukan beban negara

Dari hasil valuasi ekonomi lanskap Masyarakat Adat Moi Kelim di Kampung Malaumkarta tersebut, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB AMAN Muhammad Arman mengatakan bahwa jelas apa yang dimiliki masyakat adat ini bukan merupakan beban negara. 

Sehingga sangat pantas jika, menurut dia, pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat di Tanah Air, termasuk wilayah dan pengetahuannya, dilakukan oleh pemerintah. Demi melindungi setiap sumber daya alam yang masih terjaga. 

Arman mengatakan masyarakat hukum adat yang di dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 diakui dan dihormati keberadaan dan hak-hak tradisionalnya justru sering dibenturkan dengan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyebut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Buntut dari itu semua, ia menyebut ada 156 kasus di komunitas yang menyebabkan 262 masyarakat adat dikriminalisasi di 2018. Implikasinya tentu panjang, ujar Arman, hingga terhentinya pendapatan keluarga. 

Ada 32 Undang-undang (UU) serta 1.176 peraturan turunannya (peraturan sampai tingkat direktur jenderal) yang mengatur sumber daya alam. Dan aturan-aturan tersebut selalu berhubungan dengan keberadaan masyarakat adat, ujar Arman. 

 

Hutan di wilayah Masyarakat Adat Moi Kelim di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Rabu (20/2/2019). (ANTARA News/Virna P Setyorini)

Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA) yang sebelumnya disebut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membebani keuangan negara, bagi AMAN justru menjadi peluang untuk menyelamatkan nilai ekonomi dari lanskap Masyarakat Adat Moi Kelim dan lanskap-lanskap masyarakat adat lain yang juga dikelola dengan sentuhan kearifan lokal. 

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Keadilan Papua Barat Loury Dacosta mengatakan masyarakat adat belum dihargai dan dihormati. Untuk itu, dimulai dari Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Raja Ampat didorong untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) PPMHA. 

Masyarakat adat di Kabupaten Tambrauw, menurut dia, senang dengan sudah adanya Perda PPMHA, yang kemudian menjadi benang merah dari apa yang diinginkan oleh pemerintah dan masyarakat adat. 

“Pusat pemerintahan di Fef mau dibangun, dan masyarakat adat ikut diajak bermusyawarah sehingga terhindar dari  konflik. Ada mekanisme di dalam marga, siapa yang berhubungan dengan pihak luar, mereka yang akan mewakili lainnya untuk bermusyawarah,” lanjutnya. 

Bupati Sorong sebelumnya, Stephanus Malak, telah memperkuat Egek yang merupakan kearifan lokal Masyarakat Adat Moi Kelim dalam menjaga hutan dan perairannya dengan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. 

Lalu Bupati Sorong yang menjabat saat ini Johny Kamuru mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. 

Sebelum RUU PPMHA disahkan, maka harapan terbesar untuk melindungi sumber daya alam, mulai dari hutan, sungai, hingga pesisir dari kegiatan ektraktif, menurut Arman, hanya Perda dan Perbup memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, termasuk wilayah hingga pengetahuan dan kearifan lokalnya. 


Baca juga: Sorong siapkan Perbup hukum adat untuk perlindungan hutan

Baca juga: Masyarakat Adat Moi Kelim sukses jaga laut dengan Egek

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019