Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, menerima pengaduan Buni Yani terkait kasus yang menimpanya dan dipandang sangat kepentingan politis. "Ini awalnya dari video resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lalu diteruskan Buni Yani. Pihak yang memperkaraknnya tidak bisa melihat secara jernih duduk persoalanny atau memang memiliki intensi politik tertentu," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat sore.

Ia menilai dalam kasus unggahan itu, Basuki Purnama alias Ahok, sudah menjalani hukuman berarti apa yang disampaikan di konten video sudah terbukti adanya. 

Logikanya, menurut Fadli, seharusnya Buni Yani adalah pihak yang benar namun ternyata hukum dicampuradukan dengan kepentingan politik. "Apalagi Buni Yani adalah Juru Kampanye Nasional salah satu pasangan calon, seperti saya sehingga kasus tersebut ada konflik kepentingan. Jadi sangat kental nuansa politisnya daripada nuansa penegakan hukum," ujarnya.

Fadli menilai situasi yang dialami Buni Yani adalah tidak adil namun apa boleh buat karena kondisi hukum kenyataan seperti ini.

Menurut dia, Buni Yani masih memiliki upaya hukum yang bisa ditempuh misalnya Peninjauan Kembali (PK) sambil mencari bukti baru. "Kemudian terkait perubahan-perubahan dalam ayat dakwaan, saya kira ini suatu dalih saja agar Buni Yani terjerat hukum. Saya kira bukan upaya penegakan hukum tetapi secara formal hukum kita menyatakan demikian," katanya.

Terpidana kasus pelanggaran UU ITE, Buni Yani mengatakan, selama hampir 2,5 tahun dia sudah menjalani proses hukum sebagai warga negara yang baik mulai dari pemeriksaan, ditetapkan sebagai tersangka, P21, kejaksaan, hingga proses persidangan berjalan di Bandung dan seterusnya.

Ia mengungkapkan adanya kejanggalan dalam kasus yang menimpanya, seperti dilaporkan pasal 27 ayat 3 UU ITE mengenai pencemaran nama baik. "Unggahan saya dianggap cemarkan nama baik Ahok, dulu beliau masih jadi Gubernur itu yang kami dilaporkan," katanya.

Namun kata Buni, saat dirinya diperiksa di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya (PMJ), kepolisian menggunakan pasal 28 ayat 2 terkait menyebarkan ujaran kebencian melalui media sosial melalui dokumen elektronik.

Ia menjelaskan setelah berkasnya lengkap dan diajukan ke persidangan, dirinya didakwa 2 pasal alternatif yaitu pasal 28 ayat 2 dan pasal 32 ayat 1.

Buni menjelaskan, 28 ayat 2 mengenai ujaran kebencian melalui  media sosial dokumen elektronik. Sedangkan, pasal 32 ayat 1 tentang mengubah, nambah kurangi transmisi dokumen elektronik. "Jadi dua pasal yang sangat berbeda, istilahnya tidak satu cluster, Pasal 28 ayat 2 ujaran kebencian. Yang jadi petanyaan darimana tiba-tiba munculnya pasal 32 ayat 1. Padahal saya belum sekalipun diperiksa di menggunakan pasal ini," katanya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019