Oleh Arnaz Firman *)

Menjelang pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dan juga para anggota DPD RI, DPR RI serta provinsi, kota dan kabupaten yang hiruk-pikuk, menegangkan bahkan mencemaskan tiba-tiba muncul kabar teror terjadi di rumah pejabat negara pada Rabu, 9 Januari 2019.

Rumah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo di Jati Asih, Bekasi, Jawa Barat, diancam oleh para teroris yang meletakkan sebuah kantong plastik yang diduga keras berisi bom.

Sementara itu, rumah Wakil Ketua KPK Laode Syarif di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, pada pagi yang sama dilempari yang diduga keras brisi bom molotov.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Brigadir Jenderal Polisi Dedy Prasetyo menyatakan polisi telah mulai menyelidiki kedua kasus teror itu.

Ia menyatakan bahwa masih diselidiki apakah kedua kejadian itu saling berhubungan atau berdiri sendiri-sendiri.

Dedy minta masyarakat Indonesia untuk tetap bersikap tenang karena pada tanggal 17 April 2019 akan berlangsung pemilihan presiden-wakil presiden serta para wakil-wakil rakyat di DPD, DPR, serta DPRD kota dan juga kabupaten.

Teror terhadap lembaga antirasuah itu bukan yang pertama kalinya. Teror terhadap lembaga KPK serta para penyidiknya sudah berlangsung berulang kali.

Rakyat Indonesia pasti akan ingat beberapa tahun lalu, seorang penyidik senior Novel Baswedan disiram matanya dengan air keras sehingga merusak penglihatannya.

Akan tetapi kasus penyerangan yang terjadi setelah Novel melaksanakan shalat subuh di dekat rumahnya belum juga terungkap.

Kembali pada teror terhadap pejabat KPK, teror tersebut tujuannya cuma satu, yakni melemahkan KPK sehingga tindak pidana korupsi bisa terus terjadi di Tanah Air tercinta ini.

Masyarakat Indonesia baik yang tinggal di Tanah Air maupun di negara-negara lain masih bisa mengingat bahwa KPK pada tahun 2018 saja telah sukses besar menangkap begitu banyak tersangka tindak pidana korupsi dan menyeretnya ke meja hijau dan akhirnya masuk bui.

Contoh gampangnya adalah mantan ketua Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR Setya Novanto yang akhirnya "menikmati", amar putusan 15 tahun penjara karena terbukti terlibat dalam kasus pembuatan "proyek raksasa", kartu tanda penduduk elektronik alias KTP- e yang nilainya lebih dari Rp2,1 triliun.

Kemudian "anak buah tersayang", Setya Novanto yang bernama Eni Saragih. Padahal Idrus Marham juga diseret KPK karena telah terdapat bukti terlibat dalam kasus PLTU- Riau I bersama wakil rakyat terhormat Eni Saragih.

Idrus Marham adalah mantan wakil ketua DPR dan dia baru saja beberapa bulan menikmati "kursi empuk" sebagai menteri sosial saat dibekuk penyidik KPK.

Sementara itu, masyarakat dikejutkan oleh hasil penyelidikan KPK terhadap kasus Meikarta yang melibatkan perusahaan terkemuka Lippo Group yang membangun kawasan pemukiman seperti perumahan, apartemen, hotel dan lain- lain yang arealnya ratusan hektare di Kabupaten Bekasi, Jawa barat.

Kasus ini menyeret bupati nonaktif Bekasi Neneng beserta segelintir anak buahnya



Berakhirkah teror?

Masyarakat tentu harus mendukung prinsip azas praduga tak bersalah bahwa seseorang harus tetap dianggap tak bersalah sampai munculnya keputusan majelis hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Akan tetapi rasanya tak bersalah juga rakyat atau masyarakat memiliki prasangka atau dugaan bahwa serangan terhadap pimpinan KPK dan sejumlah penyidik KPK sedikit banyaknya ada kaitannya dengan para tersangka atau terdakwa dan juga orang-orang yang divonis pengadilan tindak pidana korupsi, entah pejabat, mantan pejabat ataupun pengusaha swasta.

Kasus dugaan kiriman bom terhadap Agus Raharjo dan juga Laode Syarif menyadarkan rakyat, penegak hukum, pejabat pemerintah bahwa para koruptor pasti akan menempuh 1001 cara agar kejahatan mereka tak tercium atau terbongkar oleh penyidik KPK yag mmana pun juga.

Jika, kasus korupsi sukses "disembunyikan" dari penyidik KPK maka para koruptor dan semua pencoleng uang negara pasti akan aman dan mereka akan terus saja bergerak mencuri uang rakyat dan negara.

Akan tetapi sebaliknya jika ulah koruptor atau pencuri itu sukses diselidiki, disidik hingga dibawa ke meja hijau maka para koruptor itu pasti atau mulai ketar-ketir alias ketakutan.

Karena itu, seluruh jajaran Polri terutama di Bekasi dan Jakarta harus mengungkap setuntas-tuntasnya membongkar kasus teror terhadap Agus Raharjo dan Laode Syarif sehingga rakyat di Tanah Air akan mengenali secara persis siapa pelaku dan dalang kejahatan ini.

Polri harus ingat bahwa mereka masih mempunyai utang yang sangat besar terhadap rakyat tentang penyiraman air keras terhadap Novel Baswesan yang harus dirawat berbulan- bulan di negari jiran Singapura.

Jika utang tak terbayarkan maka rakyat bisa curiga ataupun berprasangka bahwa Polri tak serius sedikit pun juga terhadap tindak kejahatan yang diarahkan kepada lembaga anti rasuah KPK.

Rakyat hingga detik ini masih percaya bahwa KPK adalah aparat penegak hukum yang paling bisa dipercaya jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia.

Jangan sampai muncul lagi anggapan "hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas".*

*) Penulis adalah wartawan senior, bertugas di LKBN Antara tahun 1982-2018. Pernah meliput di Istana Kepresidenan tahun 1987-2009.


Baca juga: Amnesty Internasional Indonesia soroti teror bom molotov di rumah pimpinan KPK

Baca juga: Teror di rumah pimpinan KPK dinilai serangan serius



 

Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019