Palu (ANTARA News) - Panitia khusus (pansus) DPRD Sulteng untuk pengawasan eksekutif dalam penanganan pascabencana di Palu, Sigi dan Donggala, bukanlah alat pencitraan jelang Pemilu 2019.

"Jika saja bencana ini terjadi pada tanggal 28 bulan September tahun 2014, yakni 3 (tiga) hari pascapelantikan anggota DPRD Sulteng Periode 2014-2019 maka saya memastikan, pansus pun tetap kita bentuk," ucap Ketua Pansus Pengawasan Eksekutif terkait penanganan pascabencana gempa, likuifaksi dan tsunami, Yahdi Basma, di Palu, Kamis.

Jawaban Ketua Pansus Yahdi Basma itu untuk menepis isu bahwa respon elite politik DPRD Sulteng membentuk pansus untuk memaksimalkan penanganan korban dan pembangunan kesejahteraan masyarakat terdampak bencana, karena adanya momentum politik.

Patut diakui bahwa terbentuknya pansus itu menandakan bahwa elite politik DPRD Sulteng yang peka terhadap problem sosial yang dialami masyarakat terdampak bencana di tiga daerah yaitu Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala juga sebagian warga Kabupaten Parigi Moutong pascabencana tanggal 28 September 2018 lalu.

Pansus pengawasan itu terbentuk karena adanya tri-fungsi DPRD yang dimandati oleh undang-undang yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.

DPRD sebagai lembaga legislatif, sebut Yahdi, merupakan organisasi perimbangan atas kekuasaan eksekutif dalam hal ini Pemerintah Provinsi Sulteng yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.

Dalam konteks inilah, katanya, pansus menjadi hal penting untuk memastikan fungsi pengawasan DPRD berjalan efektif. Sebenarnya tanpa bentuk pansus-pun, kan fungsi pengawasan itu melekat sebagai kewenangan DPRD.

"Namun rapat paripurna DPRD Sulteng pada 27 November 2018 memutuskan untuk membentuk pansus guna memastikan bahwa DPRD Sulteng fokus atas pengawasan terkait seluruh rangkaian kinerja Pemerintah Provinsi Sulteng dalam menyelenggarakan penanggulangan bencana pascagempa, tsunami, likuifaksi 28 September 2018," katanya.

Politisi Fraksi Partai Nasdem itu menegaskan bahwa pansus yang telah terbentuk akan benar-benar memaksimalkan pengawasan termasuk pengawasan politis. Pengawasan itu meliputi antara lain aspek kebijakan operasional.

Misalkan, kata dia, variabel seperti apa yang dikuatkan oleh pemerintah daerah dalam mendisain RTRW (Rencana Tata Ruang/ Wilayah) Sulteng khususnya Palu, Sigi dan Donggala pascabencana dan tahapan saat ini pembangunan hunian sementara bagi korban terdampak di tiga daerah itu.

Dia mengutarakan pembangunan huntara bagi korban gempa, likuifaksi dan tsunami tidak boleh di satu shelter. Karena itu tidak boleh ada penyamarataan kebutuhan huntara antara korban gempa, dengan korban tsunami dan likuifaksi sebab berbeda kebutuhannya.

"Seharusnya huntara bagi korban berjenis non-likuifaksi dan tsunami ini, terletak di masing-masing pekarangan rumahnya. Bukan semua digeneralisasi dengan di-block shelter seperti korban tsunami dan likuifaksi. Kenapa, karena korban jenis ini, sangat berkepentingan berhuni di halaman rumahnya demi memuaskan psikologinya, menjaga harta kekayaan di rumahnya masing-masing bersama sanak-keluarganya," urai Yahdi.

Baca juga: Korban gempa Sulteng masih menanti kepastian relokasi
Baca juga: 120 Huntara di Palu mulai dihuni 17 Desember 2018
Baca juga: Jerman bantu 25 juta Euro untuk pembangunan kembali Sulteng-NTB
Baca juga: Pemerintah evaluasi layanan bagi anak korban bencana Sulteng

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018