Kami menilai ada indikasi perencanaan dan pelaksanaan program strategis pembangnan pertaniann yang buruk Oleh karena itu diperlukan adanya evaluasi terhadap kinerja sektor Pertanian
Jakarta (ANTARA News) - Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) siap membentuk sebuah lembaga yang akan melakukan pemantuan dan pengawasan pelaksanaan program-program pembangunan pertanian yang dijalankan Kementerian Pertanian.

Pendiri Pataka, Yeka Hendra Fatika dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu mengatakan, lembaga yang diberi nama Agriwatch tersebut nantinya akan memberikan masukan kepada Kementerian Pertanian baik diminta ataupun tidak.

"Kami menilai ada indikasi perencanaan dan pelaksanaan program strategis pembangnan pertaniann yang buruk  Oleh karena itu diperlukan adanya evaluasi terhadap kinerja sektor Pertanian," katanya.

Sementara itu sejumlah asosiasi petani menilai kebijakan di sektor pertanian saat ini belum berpihak ke petani maupun peternak sehingga pemerintah diminta menyusun kebijakan yang lebih menunjukkan keberpihakan pada mereka.

Agripreneur jagung dari Lombok, Dean Novel mencontohkan ketika pemerintah mendorong tanam serentak membuat petani menjadi dilematis. Bahkan ketika panen, harga malah jatuh. Sementara pemerintah tidak menyiapkan sarana penyimpanan seperti alat pengering (dryer) dan pergudangan. Tapi ketika tidak ada panen, harga melonjak tinggi, sehingga peternak unggas yang kesulitan mendapatkan bahan baku pakan ternak.

 "Artinya, ketika pemerintah membuat kebijakan persoalan utamanya tidak diselesaikan," katanya.

Dean menilai dunia perjagungan Indonesia tengah menghadapi anomali, satu sisi pemerintah mengklaim surplus jagung dan sudah ekspor, tapi yang terjadi malah ada impor. Bahkan kemudian pemerintah meminjam stok dari pabrik pakan ternak untuk menutupi kebutuhan jagung peternak rakyat.

"Karena itu kalangan petani jagung berharap, pemerintah menata pertanian Indonesia dengan lebih baik," katanya.

Cuncun Wijaya dari APPN (Asosiasi Petani Padi Nasional) menyayangkan kebijakan pemerintah yang meminta petani untuk terus menanam padi hingga tiga kali dalam setahun, tapi di sisi lain tak pernah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 3.700/kg.

"Padahal nilai itu sudah jauh di bawah biaya produksi yang mencapai Rp4.100/kg. Padahal inflasi sudah naik berkali-kali naik," katanya.

Sigit Prabowo perwakilan dari GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional)  menilai, kebijakan yang pemerintah di sektor perunggasan dibuat sepotong-sepotong, misalnya mengatur kebijakan di hulu, tapi di bagian hilirnya tidak pernah diatur. A

Dia mencontohkan, kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagai acuan, tapi harga jualnya sesuai mekanisme pasar, akibatnya, harga anak ayam (DOC) menjadi tinggi, peternak pun terancam gulung tikar.

Sementara itu Mulyono Makmur dari Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani) menyatakan, untuk membangun pertanian harus ditata mulai dari struktur di desa. Misalnya untuk permodalan petani, dulu dibanguan BRI. Untuk penyediaan sarana produksi pertanian dan menjual hasil panen ada lembaga bernama KUD. Begitu juga ketika petani ingin mendapatkan ilmu/teknologi baru, penyuluh sudah siap di lapangan untuk menyampaikan ilmunya.  

Menurut Agus Warsito dari APSPI (Asosisasi Peternak Sapi Perah Indonesia), tugas pemerintah seharusnya membuat regulasi yang berpihak kepada rakyat, khususnya regulasi di sektor pertanian sehingga meningkatkan kesejahteraan petani dan peternak kecil.

Baca juga: Fadli Zon kritisi ketidakjelasan data pertanian
Baca juga: Legislator minta Presiden Jokowi ubah kebijakan pertanian
Baca juga: Akademisi anggap politik pangan Indonesia tidak jelas

 

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018