Biar bagaimana pun mereka masih anak-anak, impiannya masih luas.
"Nak sarapan paginya sudah siap. Jangan pulang larut malam ya," setidaknya kata-kata itu yang bakal dikenang Eva, dari ibunya. Ibunda Eva telah pergi, menjadi salah satu korban keganasan guncangan gempa sebesar 7,4 Skala Richter (SR) di Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah.

Rayuan main bersama kawan-kawan, tidak membuat senyum Eva bergeming sedikit pun. Ia hanya duduk lemas dengan tatapan layu. Celoteh keriangannya hilang bersama reruntuhan rumahnya.

Dalam cakap, ia sempat mengisahkan ibunya, namun tiba-tiba tangis terpecahkan, Eva terisak sendu tak kuasa manahan kehilangan yang mendalam dari kasih seorang ibu. Tidak ada kata lagi keluar, selain tangis.

Satu kerabatnya menceritakan kisah Eva, yang duduk beralaskan terpal tenda, terduduk dengan kaki yang terluka parah akibat tertindih reruntuhan tembok rumahnya.

Tangis isak Eva bukan untuk sakit di kakinya, melainkan sesak kehilangan bunda dan seorang adiknya dalam satu waktu.

Kala itu, Jumat, 28 September 2018, Desa Lore, Kecamatan Sigi Biromaru, saat senja menjelang, gempa berskala 7,4 SR itu datang. Di tengah kepanikan, Eva bersama ibu dan adiknya berusaha menyelamatkan diri. Namun takdir berkata lain. Tembok tiba-tiba runtuh dan menimpa mereka. Eva tertimpa di bagian kaki, sementara ibunya tak bisa menghindar dari runtuhan tembok.

Ketika dilakukan upaya pencarian dan penyelamatan, sang ibu diketemukan meninggal setelah tertimpa 3 lapis beton sembari memeluk adik Eva yang berusia 1 tahun.

Kerabat Eva, kepada dr Jeane, dari tim kesehatan Pertamina, melanjutkan kisah pilu tersebut, Eva berhasil diselamatkan kerabatnya. Begitu pula dengan adik Eva satunya yang berada di rumah kerabat dan ayah tirinya. Kini mereka hidup beralaskan terpal beratapkan tenda. Dengan kondisi seadanya.

Salah seorang relawan Posko Mobile Pertamina Peduli yang berada di Palu, Alih Istik Wahyuni menuturkan, sepekan sejak gempa, kaki Eva membengkak.

"Yang dia tahu tak bisa bangun, berjalan, apalagi berlari dengan teman temannya. Makanya kami langsung meminta tim medis segera melakukan pengecekan," kata Alih.

Tim kesehatan memberikan pertolongan dengan memasang bidai atau kayu penahan agar kaki Eva tak banyak bergerak. Kayu pun diambil dari sisa-sisa reruntuhan di sekitar tenda Eva.

"Ketika pemasangan, Eva terus menangis dan berteriak, Bapak.. Bapak... kaki ku sakit!," tutur Alih. Setelah diberikan pertolongan pertama, Eva dirujuk ke Puskesmas untuk selanjutnya dibawa ke rumah sakit apung.

Posko Mobile Pertamina Peduli, terus diaktifkan berkeliling untuk menjangkau wilayah terdampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.



Terapi psikis

Tidak hanya logistik, para korban bencana juga membutuhkan bantuan terapi psikis, utamanya anak-anak.

Kisah Eva adalah salah satu gambaran kepiluan korban bencana, namun hal tersebut tidak bisa dibiarkan berlarut. Berbagai perusahaan dan lembaga turut membantu pemulihan gempa, termasuk persoalan psikis bagi anak.

Pada kesempatan lainnya, dr Thomas Meidiansyah Tri Baskoro (34), adalah salah satu sukarelawan yang sadar akan hal tersebut, secara psikis, anak-anak juga membutuhkan rangkulan untuk kembali berani menatap kenyataan.

"Terbangkan pesawat, setinggi cita-cita dan harapan kalian. Satu, dua, tiga!," adalah aba-aba dr Thomas kemudian diikuti anak-anak yang membawa pesawat mainan dari kertas. Pesawat satu persatu terbang. Dan anak-anak pun tertawa lepas.

Belasan anak-anak antusias membuat mainan pesawat dari secarik kertas putih di Posko Pertamina Peduli DPPU Mutiara. Beralaskan terpal biru, mereka berlomba melipat kertas, sambil tertawa dan bercanda.

Sebelum ke Palu, ia bergabung dengan sukarelawan pengungsi gempa Lombok selama dua pekan lebih, untuk memberikan bantuan kesehatan, baik fisik maupun psikis.

Pria yang sehari-hari bertugas di IGD Rumah Sakit Pusat Pertamina tersebut, merasa terpanggil menolong saudara sebangsa yang sedang tertimpa musibah.

"Menolong korban bencana memang banyak caranya. Inilah yang bisa saya lakukan untuk mereka. Menolong dengan keahlian yang saya punya. Saya rasa, kita akan berperan lebih jika berada langsung di tengah-tengah mereka," ujarnya usai memberikan pemulihan trauma di posko 2 Pertamina di depan Bandara Mutiara SIS Al Jufri, Palu.

Demikian pula yang dirasakan Lutfi (28). Salah satu pendamping sukarelawan pemulihan trauma. "Bagaimana pun, mereka sangat membutuhkan bantuan. Minimal, dapat mengurangi kesedihan yang mereka rasakan, karena tak merasa sendiri," katanya.

Keterbatasan alat peraga berupa mainan, tidak menyurutkan mereka untuk menghibur anak-anak. 

Thomas memanfaatkan sarung tangan kesehatan berbahan karet, untuk dijadikan balon lempar. Sarung tangan diisi air. Anak-anak berpasangan, berlomba uji ketrampilan lempar balon. Yang paling lama bertahan, mereka juaranya. Kembali gelak tawa pecah. Menang dan kalah tetap mendapatkan biskuit, sebagai pengobat hiburan hari ini.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kejenuhan duduk tanpa kegiatan di tenda pengungsian terlewati dengan kegiatan permainan menyenangkan itu. Menjelang sore, anak-anak kembali sisa-sisa peraduan.

Para sukarelawan terus berupaya membantu melupakan ketakutan, trauma dan kejenuhan di pengungsian, agar Eva dan anak-anak lainnya, cukup kehilangan benda dan keluarganya, tapi bukan kehilangan semangat serta cita-citanya.

"Biar bagaimana pun mereka masih anak-anak, impiannya masih luas," kata dr Thomas mengakhiri pembicaraan.*

Baca juga: DKI kirim tim psikososial pemulihan gempa Lombok

Baca juga: PMI upayakan lebih cepat bangun fasum pascabencana


 

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018