Bulog harus memiliki kapasitas infrastruktur yang memadai untuk menampung pasokan ayam dan telur. Jangakan untuk pasokan ayam dan telur yang memerlukan gudang khusus, untuk pasokan jagung saja yang komoditasnya agak mirip dengan beras
Jakarta (ANTARA News) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyarankan Perum Bulog jangan dibebani tugas berlebihan karena dikhawatirkan kinerja lembaga tersebut tidak maksimal jika ada penugasan baru dari pemerintah.

Peneliti CIPS Imelda Freddy di Jakarta, Rabu, mengatakan, kekhawatiran akan tidak maksimalnya kinerja Bulog sangat beralasan mengingat Bulog juga diperkirakan akan bertugas menyerap beras, gula dan jagung dari petani.

Selain itu, ujar dia, untuk mendukung kinerjanya, Bulog juga membutuhkan tambahan anggaran, misalnya saja untuk membangun gudang-gudang baru atau merevitalisasi gudang lama agar kualitas serapan bisa terjaga baik.

"Bulog harus memiliki kapasitas infrastruktur yang memadai untuk menampung pasokan ayam dan telur. Jangakan untuk pasokan ayam dan telur yang memerlukan gudang khusus, untuk pasokan jagung saja yang komoditasnya agak mirip dengan beras, Bulog belum siap menampung. Hal ini terlihat dari kurangnya `conveyor` untuk jagung yang ada di gudang Jagung dan infrastrukur gudang jagung yang masih seadanya," jelas Imelda.

Oleh karena itu, dari pada menambah beban kerja Bulog, lebih baik pemerintah memfokuskan kerja Bulog untuk mengurus komoditas tertentu seperti beras.

Sebelumnya, Peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman menyatakan, penerapan Harga Pokok Pembelian (HPP) gabah dan beras perlu ditinjau ulang efektivitasnya karena menghambat Bulog menyerap gabah dan beras dari petani.

"Adanya HPP justru menghambat kerja Bulog untuk menyerap gabah dan beras dari petani. Terhambatnya proses serapan beras tentu membuat target serapan yang sudah dicanangkan menjadi semakin tidak realistis," kata Assyifa Szami Ilman.

Ia mengingatkan bahwa target serapan untuk Bulog adalah 2,7 juta ton hingga akhir tahun 2018. Target penyerapan ini dibagi menjadi dua termin yaitu Januari-Juli 2018 sebesar 2,31 juta ton dan sisanya di bulan Agustus hingga September.

Namun, lanjutnya, target tersebut bisa saja tidak tercapai karena terkendala aturan Instruksi presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015. Melalui Inpres tersebut, Bulog hanya diperbolehkan melakukan pembelian di tingkat petani dan penggiling apabila harganya berada di kisaran Rp3.700,00 untuk Gabah Kering Panen (GKP), Rp4.600 untuk Gabah Kering Giling (GKG) dan Rp7.300 untuk beras.

"Adanya pematokan harga ini akan membatasi daya jual petani yang mungkin ingin menjual di tingkat harga yang lebih tinggi. Musim kemarau yang dialami saat ini tentunya akan menurunkan stok gabah yang dapat diproduksi oleh petani. Sehingga pada akhirnya akan mendorong petani untuk menjual gabah dengan harga yang lebih tinggi," katanya.

Pada akhirnya, tidak menutup kemungkinan petani memutuskan untuk menjual ke tengkulak dan pada akhirnya akan mengganggu stabilitas harga beras di pasaran.

Untuk itu, Ilman menyarankan sebaiknya pemerintah tidak usah fokus untuk mematok harga jual beli dan meninjau ulang skema HPP yang diatur dalam aturan tersebut dan fokus menjaga stabilitas harga beras melalui operasi pasar menggunakan cadangan beras yang tersedia di gudang Bulog.

 Baca juga: Kadin kumpulkan Bulog-Kemendag-Kementan bahas ketahanan pangan

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018