Jakarta,  (ANTARA News) - Peneliti gempa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dr Muzli mengusulkan agar ibu kota Sulawesi Tengah dipindah dari Palu ke tempat lain, mengingat daerah tersebut rawan gempa.

"Kalau melihat Palu, wilayahnya sangat riskan sekali. Kalau bisa dipindah, karena di samping penuh garis patahan, juga ada di atas endapan sedimen berupa batuan lunak yang tebal," ujar Muzli yang saat ini menjadi peneliti tamu di Earth Observatory of Singapore kepada Antara di Jakarta, Selasa.

Muzli menjelaskan Palu berada di garis sesar Palu Koro, yang merupakan patahan aktif yang memanjang sekitar 500 kilometer mulai dari Selat Makassar sampai Pantai Utara Teluk Bone.

Selain itu, wilayah Palu  merupakan area batuan lunak yang bisa dilihat secara kasat mata melalui Google Map, dan  bisa diketahui seberapa tebalnya endapan sedimen tersebut.

"Warnanya putih kalau dilihat dari Google Map, itu juga menunjukkan topografinya rendah."

Bahayanya, endapan sedimen tebal membuat rentan terjadinya likuifaksi atau pencairan tanah.

"Likuifaksi terjadi karena Palu merupakan daerah batuan lunak atau sedimen. Jadi ketika gempa terjadi, menyebabkan permukaan tanah retak dan menyebabkan air permukaan bercampur dengan endapan sedimen, yang kemudian menjadi lumpur," katanya.

Kebetulan sedimen mudah sekali bercampur dengan air, dan tanah di bagian bawah yang keras menjadi landasan tergelincirnya sedimen yang bercampur air. Ditambah lagi gaya gravitasi  menyebabkan tanah seakan bergerak.

 Menurut Muzli, di Lombok juga terjadi likuifaksi namun tidak terjadi dalam skala besar seperti di Palu. Hal tersebut dikarenakan endapan sedimen tidak setebal di Palu.

Jika terjadi gempa di daerah yang memiliki endapan sedimen tebal, maka tinggi gelombang atau amplitudo gempa mengalami pembesaran dan kompensasinya kecepatan gelombang gempa menjadi rendah. Sementara di daerah tanah keras, jika terjadi gempa maka menyebabkan amplitudo gempa kecil dan kecepatan gempa menjadi besar.

"Untuk bangunan, lebih aman  di tanah yang keras dibandingkan di daerah dengan endapan sedimen yang tebal."

Menurut dia, endapan sedimen yang tebal di Palu tersebut  juga menyebabkan banyaknya bangunan yang rusak pascagempa berkekuatan 7,4 SR yang terjadi pada Jumat (28/9) lalu.

Baca juga: Energi gempa Donggala setara 200 kali bom Hiroshima
Baca juga: Sesar Palu-Koro bergeser 35-45 milimeter per tahun

 

Pewarta: Indriani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018