Kalau kita tidak seburuk itu, tekanannya sama saja dampaknya ke negara-negara sekitar kita. Tapi tekanan ke kita lebih berat dibandingkan Thailand dan Malaysia,
Jakarta, (ANTARA News) - Suasana dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI Jakarta, Rabu (5/9), tampak berbeda dengan rapat kerja yang selama ini dilakukan antara lembaga legislatif dengan mitra kerja terkait.

Rapat kerja ini dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo untuk membahas pergerakan rupiah yang cenderung mengalami perlemahan dan sempat mengkhawatirkan karena mendekati batas psikologis Rp15.000 per dolar AS.

Rasa khawatir muncul, karena kondisi perlemahan rupiah ini mirip pergerakan rupiah ketika terjadi krisis finansial pada 1998, meski situasi fundamental ekonomi saat ini lebih baik dari dua dekade lalu.

Dalam kesempatan itu, anggota Komisi XI DPR Johny G Plate meminta semua pihak untuk tidak mempolitisasi kondisi perlemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS, karena bisa membuat kepercayaan terhadap perekonomian semakin menurun.

Ia mengatakan depresiasi mata uang ini tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, namun juga di banyak negara, salah satunya karena faktor normalisasi kebijakan moneter The Federal Reserves (Bank Sentral AS).

Johny menyakini pemerintah tidak tinggal diam dengan kondisi ini dan meminta pihak oposisi untuk ikut memberikan rasa optimistis agar rupiah tidak makin terpuruk serta kembali stabil sesuai fundamental.

"Kita harus solid dan memberikan optimisme, karena memang faktanya makro ekonomi fundamental kita kuat. Ini adalah tantangan bersama, karena dialami oleh semua negara," kata anggota fraksi partai Nasdem ini.

Di luar dugaan, imbauan Johny tersebut juga disetujui oleh partai oposisi yaitu PKS dan Gerindra, yang selama ini vokal terhadap kebijakan pemerintah, agar semua pihak bersatu untuk memikirkan "kepentingan bangsa".

Tidak ada drama di Senayan kali ini, karena para legislator juga meyakini perlemahan rupiah tidak berkaitan dengan kondisi fundamental ekonomi dan perlu dicari solusinya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan sentimen global akibat normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral AS maupun gonjang-ganjing di Argentina maupun Turki menjadi penyebab melemahnya rupiah.

Namun, kondisi ini diperparah oleh buruknya defisit neraca transaksi berjalan, karena perlambatan kinerja di sektor ekspor maupun tingginya impor bahan baku maupun bahan konsumsi yang dibutuhkan untuk proyek infrastruktur.

"Kalau kita tidak seburuk itu, tekanannya sama saja dampaknya ke negara-negara sekitar kita. Tapi tekanan ke kita lebih berat dibandingkan Thailand dan Malaysia," ujarnya.

Saat ini, hingga akhir semester I tahun 2018, neraca transaksi berjalan Indonesia masih tercatat defisit sebesar 2,7 persen terhadap PDB, padahal Thailand tercatat surplus 8,4 persen terhadap PDB dan Malaysia tercatat surplus 2 persen terhadap PDB.



Tekan impor

Untuk itu, pemerintah berupaya menekan defisit transaksi berjalan dengan memperbaiki izin berusaha melalui sistem pelayanan terpadu (OSS) guna mendorong investasi berbasis ekspor maupun subtitusi impor.

Kemudian, pemerintah mendorong pemanfaatan bahan bakar biodiesel (B20), untuk menekan impor migas, terutama solar, yang selama ini rutin menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan.

Kebijakan terbaru pemerintah adalah melakukan penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 terhadap 1.147 pos tarif terutama barang konsumsi impor untuk mendorong penggunaan produk domestik.

Rinciannya adalah 210 komoditas mengalami kenaikan tarif PPh pasal 22 dari 7,5 persen menjadi 10 persen, yang diantaranya termasuk mobil CBU maupun motor besar.

Sebanyak 218 komoditas mengalami kenaikan tarif PPh pasal 22 dari 2,5 persen menjadi 10 persen, yang di antaranya merupakan barang konsumsi yang sebagian besar telah dapat diproduksi dalam negeri.

Beberapa barang tersebut seperti barang elektronik mencakup dispenser air, pendingin ruangan, lampu maupun barang sehar-hari seperti sabun, sampo, kosmetik serta peralatan masak.

Kemudian, sebanyak 719 komoditas mengalami kenaikan tarif pasal 22 dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen, yang seluruhnya mencakup barang konsumsi seperti keramik, ban, peralatan audio visual dan produk tekstil.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengharapkan kebijakan pengendalian impor barang konsumsi melalui penarikan tarif PPh impor merupakan strategi mengatasi defisit neraca transaksi berjalan.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini meminta pengusaha dalam negeri melihat kebijakan penyesuaian tarif PPh impor sebagai kesempatan untuk memajukan kinerja dalam negeri.

"Kami berharap masyarakat memahami bahwa pemerintah di satu sisi ingin cepat dan di sisi lain selektif karena situasinya tidak biasa, dan kami lakukan tindakan yang dalam situasi biasa tidak dilakukan," katanya.

Sri Mulyani mengharapkan defisit neraca transaksi berjalan yang membaik bisa menjadi instrumen untuk stabilisasi kurs rupiah yang masih rentan terdampak oleh tekanan global.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengharapkan pengaruh kebijakan ini mulai terlihat pada laporan neraca perdagangan September yang akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada Oktober mendatang.

"Jadi nanti Oktober sudah mulai kelihatan. Saya harap nanti Agustus yang akan diumumkan September itu lebih baik, terutama untuk golongan nonmigas," ujar Enggar.

Ia juga menyakini kebijakan pengendalian impor barang konsumsi melalui kenaikan tarif PPh impor tidak berdampak besar pada inflasi, karena barang tersebut masih memiliki substitusi di dalam negeri.



Dampak penyesuaian tarif

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan kebijakan ini memiliki dampak positif kepada industri lokal, terutama produk elektronik, yang selama ini masih kesulitan bersaing dengan produk impor.

Untuk itu, kebijakan kenaikan tarif PPh impor ini bisa menekan defisit transaksi berjalan yang pada akhir 2018 diproyeksikan mencapai 26 miliar dolar AS atau 2,8 persen terhadap PDB.

"Kebijakan ini bisa menekan nilai impor barang konsumsi kurang lebih sebesar 500 juta dolar AS per tahun yang dapat memberikan dampak kepada defisit neraca transaksi berjalan secara keseluruhan," katanya.

Sedangkan, Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengingatkan agar pembatasan impor barang konsumsi jangan sampai menjadi bumerang untuk pemerintah.

Untuk itu, ia meminta, ketika impor barang konsumsi mengalami pembatasan, industri segera menyiapkan barang subtitusi impor, agar harga-harga tidak mengalami kenaikan dan menyebabkan terjadinya inflasi.

"Dengan berkurangnya impor, bukan hanya akan mengurangi suplai, tetapi juga akan mendistorsi kompetisi di pasar," kata Hizkia.

Melalui berbagai kebijakan ini, pemerintah mengharapkan adanya efek positif yang bisa memberikan dampak terhadap stabilisasi rupiah agar mata uang kembali bergerak sesuai fundamental.

Namun, kebijakan untuk membenahi neraca transaksi berjalan ini tidak bisa memberikan dampak dalam waktu singkat dan membutuhkan waktu bagi pelaku usaha maupun konsumen untuk beradaptasi.

Untuk itu, koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS hingga akhir tahun.

Hal tersebut sangat diperlukan mengingat normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral AS masih dapat terjadi hingga 2019 dan kondisi politik semakin memanas jelang pelaksanaan pemilihan umum.*


 



Baca juga: Pemerintah katakan penaikan PPh impor tidak langgar aturan WTO

Baca juga: Pengamat katakan pengendalian impor perlu masukan pelaku


 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018