Palembang (ANTARA News) - Cabang menembak sejatinya bisa menjadi lumbung medali untuk tuan rumah Indonesia di Asian Games XVIII/2018. Ada 20 nomor yang dipertandingkan, maka artinya ada puluhan medali yang diperebutkan. Namun, faktanya hingga hari keenam, Indonesia belum bisa meraih medali, dan peluang itu semakin menipis. 

 

Petembak tuan rumah untuk sekedar lolos babak kualifikasi saja sudah kesulitan. Tentunya publik wajar bertanya, ada apa dengan olahraga menembak kita?

 

Menembak merupakan olahraga terukur, yang keberhasilan atletnya ditentukan oleh perpaduan teknik, mental dan alat. Sukses prestasi dalam kejuaraan olahraga apapun tidak bisa dicapai dengan proses serba cepat, karena meraih medali emas bukan seperti memasak mie instan. Kalimat itu sepertinya cocok untuk menggambarkan kegagalan Indonesia di cabang menembak AG 2018 di Palembang, Sumatera Selatan.


Insiden petembak muda peraih medali emas SEA Games Muhamad Naufal Mahardika, yang menangis di akhir lomba karena tampil buruk, seperti menunjukan betapa lemahnya pembinaan mental bertanding atlet Indonesia.  Kemudian petembak Muhammad Sejahtera Dwi Putra, gagal menembus final 10 meter running target putra, setelah sempat memuncaki babak kualifikasi hari pertama. Petembak lainnya, Deny Pratama, juga gugup sehingga tercecer di babak kualifikasi nomor 10 meter air pistol. 

 

Baca juga: "Tolong maafkan Naufal..."

Baca juga: Sempat puncaki kualifikasi, petembak Indonesia gagal masuk final

Pelatih menembak Indonesia, Darmawan Budiman mengatakan,  andaikan petembak 23 tahun itu bisa bermain lepas dipastikan dia bisa jadi juara. Padahal, saat latihan, Deny mencatatkan skor hingga 585 poin. Jika saja Deny bisa mengulang tembakannya seperti latihan, maka ia bisa bertengger diperingkat dua kualifikasi dan lolos ke final.

 

“585-nya tidak keluar. Padahal saat latihan dia bukan sekali dua kali mencapai poin tinggi,” kata Darmawan kepada Antara.

 

Ketika atlet Indonesia berguguran, sebaliknya AG 2018 menjadi ajang petembak muda India untuk muncul ke permukaan. Mereka tidak hanya bermodal skill dan perlengkapan mahal, melainkan juga menunjukan ketenangan mental juara. 

 

Sosok Saurabh Chaudhary, petembak 16 tahun yang fenomenal, adalah contohnya. AG 2018 menjadi pertandingan perdananya di kejuaran senior. Dan ia berhasil memenangkan medali emas setelah menumbangkan petembak kelas dunia hingga peraih emas olimpiade, di nomor 10 meter air pistol putra. Lalu ada Shardul Vihan, petembak 15 tahun, juga pertama kali berlaga di AG dan berhasil meraih perak di nomor double trap putra. 
 

Baca juga: Medali emas 10 meter air pistol putra direbut atlet muda India


Kegagalan ini sungguh menyedihkan karena Indonesia tuan rumah sudah membangun arena menembak yang megah. Pelaksana AG yang mayoritas orang Indonesia pasti juga bersedih karena setiap hari menonton atlet negara lain meraih medali. 

 

Manajer Tim Menembak Indonesia, Zarozawato Zai, sempat mengatakan tidak perlu mencari “kambing hitam” untuk menutupi kegagalan di ajang pesta olahraga empat tahunan itu.  Ini disebabkan lemahnya mental tanding karena kurangnya persiapan, ujarnya.

 

“Kegagalan atlet yang sudah bertanding lebih kepada ketidak-kuatan mental tanding dibanding dengan atlet yang bisa menang. Saya mengakui jam terbang atlet kurang dibanding dengan saingan-saingan mereka di Asia,” katanya.

 

Nihil Pembinaan Atlet Berkelanjutan

 

Petembak Indonesia pernah sangat disegani di Asia pada era 1980 hingga akhir 1990-an. Petembak pistol putri seperti Selvyana Hosen, dan petembak shotgun Sylvia Silimang adalah saksi hidupnya.

 

Di usianya yang nyaris setengah abad, Sylvia masih ikut bertanding di tiga nomor AG 2018, meski semuanya gagal total. Usai pertandingan, ia hanya bisa mengenang masa-masa indah saat olahraga menembak Indonesia masih berjaya.

 

“Dulu kita sangat disegani. Waktu itu umur saya masih 20 tahun, dan setiap kejuaraan dunia kalau kita turun selalu dapat emas dan perak. Saingan kita hanya China,” kata Sylvia.

 

Dari tiga nomor yang diikutinya di AG 2018, peringkat terbaiknya hanya di nomor double trap putri. Pada nomor double trap, ia sempat bertengger di ranking tiga sebelum akhir melorot ke ranking delapan. Sedangkan dua nomor lainnya, ia selalu tercecer di peringkat bawah. 

 

“Sayang sekali, padahal double trap ini nomor favorit saya,” katanya dengan raut wajah sedih.

 

Ia mengungkapkan, bahwa persiapan untuk petembak dengan senjata shotgun sangat kurang, bahkan memprihatinkan. Pengurus Besar Perbakin, sebagai induk olahraga menembak nasional, sejak 2003 berhenti membina atlet-atlet tersebut termasuk Sylvia Silimang. 


Atlet-atlet untuk nomor tersebut baru diperhatikan lagi setelah TNI Angkatan Darat (AD) menaunginya dengan membentuk Persatuan Menembak Angkatan Darat (Perbakad) pada 2017, dan muncul klub Kartika SC.

 

Namun, jeda pembinaan yang kosong lebih dari satu dasawarsa tentu tidak mudah bagi atlet untuk kembali ke masa keemasan mereka. Apalagi, tujuh petembak untuk nomor tersebut baru diputuskan untuk ikut serta di AG 2018 akhir Juli tahun ini.

 

Ketika belasan petembak lainnya binaan Perbakin menjalani Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) AG dengan anggaran pemerintah sekitar Rp6,7 miliar, petembak Sylvia dkk. terpaksa berlatih mandiri di Lapangan Divisi Infanteri I AD di Cilodong, Jawa Barat.

 

“Kita tidak ada persiapan karena kita masuk pelatihan mandiri, dan kita keterbatasan peluru,” katanya.

 

Menurut dia, dalam pertandingan AG setiap peserta harus membawa peluru mereka sendiri. Ia mengatakan, untuk nomor double trap yang diikuti memerlukan dua peluru yang harganya Rp8.000 per butir. Masalahnya, para atlet binaan AD ini kekurangan peluru hingga beberapa hari jelang lomba dimulai. 

 

Pengurus Perbakad akhirnya berhasil mengadakan beberapa peluru dengan status pinjaman. Jumlahnya tidak banyak dan akan diganti ketika peluru pesanan Perbakad tiba. Karena saking sedikitnya amunisi, para atlet terpaksa dijatah 25 peluru per hari sejak latihan dimulai tanggal 3 Agustus.

 

“Peluru dari AD baru datang tanggal 15 Agustus di sini. Latihan-latihan resmi itu ya baru di Jakabaring ini saat Asian Games,” katanya.

 

Meski sudah menjadi atlet sarat pengalaman, Sylvia merasakan stres luar biasa di pertandingan AG karena lama absen di kejuaraan internasional. Terakhir kali ia tanding di kejuaraan menembak dunia tahun 2010, sedangkan pertandingan besar terakhirnya adalah SEA Games 2003 di Vietnam. 

 

“Stres memang dibutuhkan oleh atlet, tapi saat itu sudah berlebihan. Saya sudah keringatan bercucuran dibandingkan atlet lainnya. Apalagi di belakang saya ada petembak Jepang dan di depan petembak Qatar, mereka nembaknya bagus-bagus,” katanya.

 

Petembak 47 tahun ini mengatakan akan terus menjadi petembak selama jasanya masih dibutuhkan. Selain itu, ia kini juga mulai merekrut petembak-petembak muda dari lulusan baru pendidikan TNI AD.

 

“Semoga Perbakin mendukung, kalau Angkatan Darat pasti selalu dukung,” kata Sylvia sambil menambahkan peluang yang harus dikejar adalah SEA Games 2019 di Filipina yang hanya mempertandingkan nomor dengan senjata shot gun.

 

Mantan atlet menembak yang kini menjabat Ketua Bidang Target dan Prestasi PB Perbakin, Selvyana Hosen, mengakui kegagalan Indonesia di AG 2018 karena tidak adanya pembinaan yang berjenjang dan berkelanjutan.

 

“Masalah kita itu adalah pembinaan yang berlanjut dan berlanjut untuk 10 tahun. Misalkan untuk olimpiade 2020, seharusnya sudah 10 tahun sebelumnya sudah dipersiapkan,” katanya. 

 

Pembinaan atlet menembak butuh waktu tidak sebentar untuk menguatkan teknik, akurasi, kemampuan menjalani kejuaraan, fisik dan yang terpenting penguatan mental. Pembinaan olahraga Indonesia semuanya akan tergantung pada kebijakan pengurus besar olahraga dan juga Kemenpora RI.

 

“Harus ada saling pengertian dari semua pihak, bukan hanya kami saja dari PB Perbakin. Ini tergantung dari kebijaksaanaan pemerintah juga,” katanya.

 

Idealnya, lanjut Selvyana, pembinaan petembak dilaksanakan berjenjang dari pemerintah daerah yang disesuaikan dari tingkatan seperti Pekan Olahraga Nasional (PON), kemudian SEA Games, Asian Games dan terakhir Olimpiade. 

 

“Semuanya terkendala dana,” katanya.

 

Pemerintah dari pusat hingga daerah juga perlu memperhatikan pembinaan, bukan sekedar mematok target prestasi ketika ada kejuaraan besar saja dan mengiming-imingi atlet dengan bonus besar.

 

“Yang ada atlet nanti jadi matre,” katanya.

Baca juga: Target emas Indonesia di 300M standard rifle meleset

 

 

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2018