Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum tata negara Mahfud MD menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus tetap menjadi lembaga khusus terkait akan disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Kalau saya menyampaikan RKUHP itu sebaiknya KPK itu tetap menjadi satu lembaga pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang khusus," kata Mahfud seusai menghadiri acara "Silaturahmi Bersama Insan KPK dan Alumni" di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Senin.

Mahfud menyatakan bahwa memang Indonesia harus mempunyai satu hukum pidana yang terkodifikasi.

Baca juga: Merinci keberatan KPK soal korupsi dalam RKUHP

"Kan ambisinya itu kita harus punya satu hukum pidana yang terkodifikasi, terkodifikasi dalam artian terbukukan dalam satu kitab. Nah itu teorinya memang bagus sehingga semua tindak pidana itu masuk," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Namun, kata Mahfud, dalam praktiknya tidak bisa dilakukan dikarenakan kebutuhan hukum yang selalu berkembang.

"Tetapi dalam praktik dimana-mana tidak bisa, karena apa? Kebutuhan hukum itu selalu berkembang, pasti ada yang di luarnya yang harus selalu direspons sehingga hukum itu harus responsif terhadap perkembangan masyarakat," kata Mahfud.

Ia menyatakan bahwa tindak pidana korupsi itu perlu diberi wewenang khusus.

Dia mengatakan, perlu diberi wewenang khusus dan itu bagian dari politik hukum nasional.

Baca juga: Bamsoet: RKUHP kado DPR bagi HUT ke-73 RI

"Jangan dikatakan politik hukum nasional itu harus kodifikasi, tidak tetapi tetap harus ada hukum khusus yang memang merupakan wadah untuk memberikan `treatment` khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu. Itu aspirasi yang saya sampaikan dan mungkin ada kesamaan dengan KPK," ujarnya.

Iapun mengharapkan keberadaan KPK harus tetap ada karena efektif melaksanakan tugasnya dalam pemberantasan korupsi.

"Pokoknya KPK jangan sampai mati, dan keberadaan KPK itu sama sekali tidak melanggar politik hukum, tidak melanggar konstitusi. Yang penting kalau ada kritik-kritik jadikan perbaikan ke depan tetapi lembaga ini ternyata terbukti sangat efektif melaksanakan tugasnya di tengah keterbatasannya," kata dia.

Sebelumnya Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa DPR akan menyetujui untuk disahkannya RUU KUHP pada 17 Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan Indonesia.

KPK mengatakan setidaknya ada 10 hal mengapa RKUHP berisiko bagi KPK dan pemberantasan korupsi yaitu (1) Kewenangan kelembagaan KPK tidak ditegaskan dalam RUU KUHP, (2) KPK tidak dapat menangani aturan baru dari United Nations Convention againts Corruption (UNCAC) seperti untuk menangani korupsi sektor swasta, (3) RUU KUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa uang pengganti.

Selanjutnya (4) RUU KUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif, (5) RUU KUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi, (6) Beberapa tindak pidana korupsi dari UU Pemberantasan Tipikor masuk menjadi Tindak Pidana Umum.

Kemudian (7) UU Pemberantasan Tipikor menjadi lebih mudah direvisi, (8) Kodifikasi RUU KUHP tidak berhasil menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab Undang-undang, (9) Terjadi penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi, (10) Tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan hal-hal yang telah diatur undang-undang khusus ke dalam RUU KUHP.

Baca juga: Prof Dr Mahfud MD urung laporkan akun warga net

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018