Denpasar (ANTARA News) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan letusan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, pada Selasa merupakan letusan tipe freatik atau terjadi karena adanya uap air bertekanan tinggi.

"Uap air tersebut terbentuk seiring dengan pemanasan air bawah tanah atau air hujan yang meresap ke dalam tanah di dalam kawah kemudian kontak langsung dengan magma," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dihubungi dari Denpasar, Selasa.

Menurut dia, letusan freatik disertai dengan asap, abu dan material yang ada di dalam kawah.

Sutopo menurutkan bahwa letusan freatik sulit diprediksi karena bisa terjadi tiba-tiba dan seringkali tidak ada tanda-tanda adanya peningkatan kegempaan.

Beberapa kali gunung api di Indonesia meletus freatik saat status gunung tersebut waspada atau level II seperti letusan Gunung Dempo, Gunung Dieng, Gunung Marapi, Gunung Gamalama, Gunung Merapi dan lainnya.

Tinggi letusan freaktik, lanjut dia, juga bervariasi, bahkan bisa mencapai 3.000 meter tergantung dari kekuatan uap airnya.

"Jadi letusan freatik gunung api bukan sesuatu yang aneh jika status gunung api tersebut di atas normal. Biasanya dampak letusan adalah hujan abu, pasir atau kerikil di sekitar gunung," imbuhnya.

Letusan freatik, kata dia, bisa juga menjadi peristiwa yang mengawali episode letusan sebuah gunung api seperti Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang timbuk letusan freatik berlangsung dari tahun 2010 hingga awal 2013, menjadi pendahulu dari letusan magmatik.

Sutopo menambahkan letusan magmatik adalah letusan yang lebih berbahaya yang disebabkan oleh magma dalam gunung api.

"Letusan magmatik ada tanda-tandanya, terukur dan bisa dipelajari ketika akan meletus," ucap Sutopo.

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017