Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan, Idham Chalid pantas dijadikan teladan bagi generasi muda sekarang, karena nilai-nilai perjuangannya masih relevan dengan kondisi saat ini selain almarhum tergolong konsisten memegang prinsip.

Nilai perjuangan rahmatan lil alamin yang kini banyak digaungkan sejatinya sudah lama diajarkan almarhum Idham Cholid, Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956-1957, kata Bagir Manan seusai menghadiri peringatan 1.000 hari wafatnya Idham Chalid, di kompleks pendidikan Darul Ma`rif, Cipete, Jakarta Selatan, Semalam (20/4).

Hadir pada acara tersebut para tokoh masyarakat, ulama, keluarga besar Idham Chalid dan praktisi pers seperti mantan Dirut RRI Parni Hadi, mantan Direktur Utama Perum LKBN Antara Muhammad Mukhlis Yusuf dan putra Idham Chalid, Saiful Hadi yang juga Dirut Perum Antara.

Peringatan 1.000 hari Idham Chalid tersebut diawali sholat magrib berjamaah dilanjutkan pembacaan surat Yasin, disusul tahlil. Setelah itu dilanjutkan pembacaan shalawat barjanji dan sajak mengenang Idham Chalid.

Bagir Manan, yang juga ketua Dewan Pers, mengaku masih ingat betul sepak terjang Idham Chalid ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Salah satu pernyataan Idham Chalid yang masih diingat adalah ketidaksukaannya terhadap pernyataan anjuran agar organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan.

Pernyataan yang bersifat provokatif saat itu, menurut Bagir, dijawab oleh Idham Chalid bahwa jika ada yang berani membubarkan HMI akan berhadapan dengan umat Islam.

"Pernyataan itu masih saya ingat," kata Bagir lagi.

Bagir berharap umat Islam dan generasi mudah hendaknya dapat memetik pelajaran akan perjuangan Idham Chalid. Alasannya, yang bersangkutan memang pantas dijadikan contoh baik sebagai ulama maupun politisi.


Beretika dan santun

Politik yang dibawakannya pun beretika, santun dan tetap mengindahkan nilai-nilai ke-Islaman. Salah satunya adalah ajaran rahmatan lil alamin, bahwa Islam mengajarkan kedamaian bagi umat Islam sendiri maupun umat lainnya.

Tentu saja, katanya, di dalam rahmatan lil alamin itu memiliki dimensi luas. Termasuk kehidupan toleransi.

KH.Dr.Idham Chalid (88) meninggal dunia di kediamannya di kawasan pendidikan Darul Ma`arif, Cipete, Jakarta Selatan, Ahad , 11 Juli 2010, pukul 08.00 WIB, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir.

Menurut Menteri Agama Suryadharma Ali, Idham Chalid adalah tokoh bangsa, tokoh agama, tokoh organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU), dan juga deklarator sekaligus pemimpin partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

"Beliau adalah tokoh panutan. Bukan hanya keluarga besar PPP yang kehilangan, tapi seluruh bangsa Indonesia," katanya di Jakarta, Ahad.

KH Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin. Saat usianya baru enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Menurut buku Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid yang disunting oleh Arief Mudatsir Mandan, kiprah dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok yang berasal dari warga kota besar.

Ia hanyalah putra kampung yang merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak kepemimpinan nasional yang disegani.

Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya.(*)

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013