Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa potensi terjadinya bencana hidrometeorologi diperkirakan terjadi secara merata karena puncak musim hujan akan terjadi pada Desember 2022.

“Kita bisa menyampaikan bahwa peluang terjadinya hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi itu merata di seluruh bagian Indonesia mulai dari utara Sumatera sampai selatan Papua,” kata Plt Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam Disaster Briefieng yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Abdul menuturkan bahwa distribusi cuaca dalam satu minggu terakhir yang dimulai sejak 21 November, sejumlah wilayah seperti Kalimantan dan sebagian Sulawesi ditutupi oleh awan hujan. Hal tersebut kemudian berpindah ke wilayah Sumatera dan sebagian utara Jawa pada 22 November.

Sedangkan pada 23 November awan hujan bergerak ke Papua dan Kalimantan bagian barat. Pergerakan awan pada 24 November kembali ke Sumatera dan seluruh Pulau Jawa, dilanjutkan dengan tanggal 25 November bergerak ke Kalimantan dan selatan Papua. Sementara pada 26 November pindah lagi ke sebagian besar wilayah Sumatera.

Baca juga: BMKG ingatkan potensi hujan lebat di sebagian besar daerah Indonesia

“Ini memberikan gambaran bagi kita bahwa secara normal, secara monsun atau secara musiman kita akan masuk pada musim hujan. Artinya puncak musim hujan di Indonesia itu dari Desember 2022 sampai Februari 2023,” ujarnya.

Abdul menjelaskan meski puncaknya baru terjadi pada Desember, hujan yang selama dua bulan terakhir nampak turun lebih deras dan cepat disebabkan oleh di antaranya Indian Ocean Dipole (IOD) ataupun indeks minor yang negatif.

Hal tersebut menyebabkan awan yang mengonveksi hujan, menjadi lebih tebal dan memperkuat intensitas turunnya hujan di seluruh kawasan Indonesia dengan fluktuasi yang hampir merata.

“Sehingga kita pada Desember masih harus terus waspada dengan potensi hujan intensitas tinggi dan potensi bencana ikutannya dari aspek hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor,” ucapnya.

Baca juga: BMKG: Waspadai bencana hidrometeorologi akibat curah hujan tinggi

Oleh karena itu, Abdul mengimbau semua pihak untuk terus waspada dan mulai memperhatikan daya tampung atau kuatnya ekosistem lingkungan tempat tinggal masing-masing dalam menghadapi bencana yang kemungkinan terjadi.

Sebab, dalam pantauan BNPB terdapat wilayah yang semula tidak rawan bencana, menjadi masuk ke dalam kategori rawan bencana akibat ekosistem yang tidak mendukung.

Abdul menyarankan pemerintah daerah untuk memperhatikan daya lingkungan khususnya daya serap dari kawasan terhadap air yang turun, sehingga tidak akan terlalu mengganggu aktivitas sosial ekonomi masyarakat.

Selain itu, pemerintah daerah diharapkan dapat menyisihkan anggarannya untuk merestorasi lingkungan di wilayahnya. Sedangkan pada media, dia berharap berbagai tindakan yang merusak lingkungan dan menyebabkan bencana dapat di ekspos supaya dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat ulah manusia.

Baca juga: BNPB: Lima tahun terakhir bencana hidrometeorologi mendominasi

“Bukan berarti di sini menampilkan aktivitas ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya alamnya. Tapi pemanfaatan sumber daya alam ini harus berimbang, sehingga lingkungan yang kita gunakan untuk ekonomi bisa berjalan berbarengan dengan rehabilitasi atau restorasi kawasan yang kita gunakan sebelumnya,” ucapnya.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022