Jakarta (ANTARA) - Kantor Staf Presiden (KSP) menilai perubahan kultur pesantren yang selama ini memiliki pola kehidupan santri yang komunal menjadi tantangan di masa pandemi COVID-19 yang mewajibkan pemberlakuan protokol kesehatan.

"Pola kehidupan santri yang komunal menjadi tantangan terbesar bagi pesantren dan pendidikan keagamaan dalam penerapan protokol COVID-19," ujar Tenaga Ahli Utama Kedeputian V KSP Rumadi Ahmad dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.

Hal tersebut disampaikan Rumadi dalam program Podcast dari Bina Graha, Jakarta.

Baca juga: Stafsus Presiden gelar uji cepat COVID-19 di Ponpes As Shidiqiyah

Rumadi mengatakan penyelenggara pesantren harus memikirkan dengan cermat agar protokol kesehatan dapat dipatuhi, namun tidak sampai menggerus nilai dan kultur pesantren.

Selama ini, kata dia, kultur pesantren agak bertolak belakang dengan protokol kesehatan, misalnya penggunaan alat makan bersama dan kebiasaan makan bersama.

"Ini tantangan yang berat untuk mengubah kultur kehidupan pesantren, selain harus menyiapkan infrastruktur seperti ruangan untuk karantina, isolasi mandiri dan lainnya,” jelas dia.

Menurut data Kementerian Agama ada sekitar 28 ribu pesantren di seluruh Indonesia dengan jumlah santri sebanyak 18 juta orang dan 1,5 juta pengajar.

Di antara jumlah santri tersebut, ada 5 juta santri yang menetap di pondok pesantren.

Baca juga: Pandemi COVID-19, HNW dorong laksanakan UU Pesantren

Rumadi mengatakan beberapa pengasuh pondok pesantren juga akan melangsungkan kegiatan pesantren walau berada di zona merah.

Hal tersebut menurutnya mengkhawatirkan karena bisa berisiko menjadi klaster baru penyebaran COVID-19. Karena itu, pesantren diharapkan tidak memaksakan diri apalagi belum siap menerapkan protokol kesehatan.

“Kalaupun kegiatan pesantren mau dibuka, sebaiknya menerapkan protokol kesehatan dengan ketat dan disiplin. Para santri juga harus dipastikan dalam kondisi sehat. Bila ada santri yang terindikasi terinfeksi COVID-19 maka harus dilakukan karantina sebelum berbaur kembali dengan santri lainnya,” tegas Rumadi.

Terkait sistem pembelajaran jarak jauh yang diterapkan di sejumlah lembaga pendidikan lain, Rumadi yang juga Ketua Lakpesdam NU itu mengatakan selama ini pesantren tidak mengenal sistem pembelajaran jarak jauh tersebut.

Bagi para santri, pembelajaran tatap muka dengan guru atau kyai sesuatu yang sangat penting.

Dia mengatakan transfer pengetahuan di pesantren bukan semata-mata bagaimana membaca kitab. Santri melihat dan mengamati secara langsung kehidupan kyai sehari-hari, seperti bagaimana cara berinteraksi dengan tetangga, dan bagaimana kyai ketika gembira atau sedih.

Karena itu, lanjut Rumadi, nilai-nilai yang diajarkan kyai tak bisa ditransfer secara online. Kalaupun pembelajaran di pesantren dicoba secara online, itu hanya sementara saja untuk mengisi kekosongan waktu sampai situasi normal kembali.

“Maka dari itu banyak santri yang sudah lulus dari pesantren, tapi masih merasa menjadi santri,” paparnya.

Rumadi mengatakan sejauh ini Kementerian Agama telah meluncurkan rincian protokol kesehatan bagi pesantren dan pendidikan keagamaan pada masa pandemi COVID-19.

Di sisi lain, Pemerintah menyiapkan dana sejumlah Rp2,3 triliun untuk membantu pesantren.

Dia menekankan KSP bersama dengan Kementerian Agama akan memastikan dana yang dialokasikan untuk penanganan COVID-19 tersebut tersalurkan ke pesantren.

“Dana ini untuk penanganan pandemi, juga terkait memperkuat pembelajaran, penyiapan infrastruktur untuk pembelajaran atau menyiapkan karantina dan sebagainya yang harus dibicarakan dengan Kementerian Agama, khususnya direktorat jenderal yang membidangi urusan pesantren,” ujar Rumadi.

Baca juga: Panglima TNI apresiasi protokol kesehatan di pondok pesantren
Baca juga: Jabar tunggu anggaran pusat terkait tes cepat COVID-19 di pesantren
Baca juga: Ponpes Daarul Mizan Bogor "sulap" kandang sapi untuk ruang belajar

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020