... memang belum berhasil meningkatkan kualitas udara secara keseluruhan. Karena belum membangun karakter masyarakat Jakarta untuk meninggalkan kendaraan bermotornya...
Jakarta (ANTARA) - Tidak terasa sudah 17 tahun pelaksanaan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor (HTKB) alias Car Free Day mengisi minggu- minggu pagi warga yang tinggal di Ibu Kota Jakarta.

Sejak 2002, HTKB hadir di Jakarta dan menjadi ruang publik yang selalu dipenuhi pengunjung meski sempat ditolak warga karena dirasa merugikan aktivitas pengguna kendaraan bermotor kala itu.

Berbagai kegiatan dihelat dalam HTKB mulai dari berolahraga, konser musik, promosi acara, hingga berburu kuliner oleh setiap warga yang mengunjungi ruas Jalan MH Thamrin hingga Jalan Jendral Sudirman setiap Minggu pagi.

Peringatan untuk merayakan 17 tahun HTKB pun dilaksanakan tidak terlalu meriah. Tidak ada pawai atau parade yang menggiring banyak massa untuk hadir dalam perayaan tersebut.

Layaknya promosi acara biasa yang hadir di perayaan 17 tahun HTKB dilakukan dengan meniup lilin bersama- sama baik oleh inisiator maupun SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) pelaksana lengkap dengan pembawa acara dan penyanyi untuk mengiringi acara simbolik itu.

Mengingat HTKB memiliki andil untuk pengaturan kualitas udara, dalam perayaan ketujuhbelas-nya dibagikanlah kartu transportasi umum Jaklingko dan tanaman sansivieria atau lidah mertua yang dikenal sebagai tanaman penghisap polutan.

Perayaan 17 tahun Hari Tanpa Kendaraan Bermotor di Pojokan Budaya Taman Dukuh Atas, Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019). ANTARA/Livia Kristianti

HTKB masih belum maksimal
Inisiator HTKB Ahmad Safrudin mengatakan aktivitas ini merupakan gerakan yang diawalo agar masyarakat tertarik dan termotivasi lebih sering berjalan kaki untuk berpergian dibanding menggunakan kendaraan bermotor agar dapat mengurangi polusi udara.

Namun nyatanya hingga saat ini hal ini belum terwujud sepenuhnya karena tingkat penggunaan kendaraan bermotor terutama sepeda motor di DKI Jakarta masih tinggi.

"Car Free Day memang belum berhasil meningkatkan kualitas udara secara keseluruhan. Karena belum membangun karakter masyarakat Jakarta untuk meninggalkan kendaraan bermotornya," kata Safrudin saat ditemui di Pojokan Budaya Taman Dukuh Atas, Jakarta Selatan, Minggu.

Masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan HTKB lainnya adalah penataan pedagang kaki lima (PKL) yang belum tertata rapi dan sistematis.

Meski usaha yang dilakukan PKL menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung HTKB, namun dia menilai hal ini tidak tepat dengan tujuan HBKB.

"Para PKL ini belum tertata, ada di sepanjang jalan dari Jalan MH Thamrin sampai Jalan Jenderal Sudirman, seharusnya orang berolahraga dan beraktivitas di ruang publik itu happy, ini malah jadi sebal karena jalan dikuasai PKL," ujar dia.

Pria yang dikenal sebagai Puput itu pun mengatakan tidak hanya PKL namun Perusahaan- perusahaan besar yang mengadakan acara masih perlu diatur."Bukan berarti mereka mengeluarkan dana, lalu menutupi jalur dan fasilitas di CFD," ujar Puput.

Penataan PKL dan perusahaan yang mengadakan acara di area HTKB yang belum maksimal pun diakui perwakilan Pemprov DKI Jakarta.

"Kami masih berusaha semaksimal mungkin, mulai dari olahraga, rekreasi, sampai dengan aktivitas pedagang itu kalau bisa. Kami mengakui kinerja dalam pengaturan itu belum maksimal," kata Kepala Seksi Bidang Pengaturan Pemanduan Bidang Pengendalian Operasional Dishub DKI Jakarta Kelik Setiawan.

Kelik mengatakan penataan PKL dan usaha dalam HTKB yang diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 12/2016 tentang Pelaksanaan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor masih dalam pembahasan oleh SKPD terkait.

SKPD terkait jika merujuk pada Pergub DKI 12/2016 adalah Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM). "Dinas terkait yang berkenaan dengan PKL itu masih merumuskan, kira-kira apa yang dapat mereka lakukan," ujar Kelik.


Eksistensi HTKB  di mata masyarakat
Kehadiran HTKB khusus bagi masyarakat Jakarta menjadi angin segar pada hari Minggu pagi mulai pukul 06.00-11.00 WIB. Warga Jakarta seakan punya agenda wajib yang harus dilakukan tiap Minggu pagi, entah untuk berolahraga ataupun berburu sajian makanan di kawasan HTKB.

"Ada HTKB membuat gue jadi punya alasan untuk bangun pagi, setidaknya ada tiga alasan. Pertama olahraga, kedua wisata kuliner, ketiga buat mengunggah di media sosial," kata Rahma, salah satu partsipan HTKB.

Ada juga pendapat lain yang datang dari partisapan HTKB lain, Acen. Bagi dia, dengan kehadiran HTKB di sepanjang jalan protokol mulai dari Jalan MH Thamrin hingga Jalan Jendral Sudirman yang biasanya ramai oleh aktivitas kendaraan tergantikan oleh aktivitas manusia.

"HTKB itu jadi satu alasan yang bisa membuat orang beraktivitas di Jalan MH Thamrin dan Jalan Jendral Sudirman, asyik!" kata Acen.

Pujian terhadap berlangsungnya hari bebas kendaraan bermotor di DKI jakarta turut datang dari Nardi yang merupakan warga Makassar yang baru pertama kali berkunjung ke HTKB di Jakarta.

"Bagus sekali kak, banyak jajan kuliner yang tersedia. Saya baru pertama kali ke Jakarta dan diajak kesini sama saudara. Menyenangkan sekali," kata Nardi.

Tidak hanya Nardi, pendapat serupa juga disampaikan Stephanie yang merupakan pendatang dari Kota Parahyangan, Bandung.

"Antusias warga Jakarta lebih tinggi, terbukti dari padatnya area HTKB sih. Pengalaman yang seru dan menyenangkan bisa HTKB di Jakarta," kata Stephanie.

Salah satu pengunjung gunakan himbauan CFD perbaiki kualitas udara Jakarta di Spot Budaya Taman Dukuh Atas, Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019). (Antara/Livia Kristianti)

Harapan untuk HTKB
Antusiasme warga terhadap HTKB di DKI Jakarta begitu tinggi. Baik untuk berolahraga maupun memburu sajian masakan. Harapan- harapan positif pun bermunculan seperti pengadaan ruas jalan untuk area HTKB yang perlu ditambah hingga pengadaan fasilitas kebersihan yang memadai.

"Sekarang karena peminatnya makin banyak, mungkin cakupan wilayah HTKB perlu diperluas kali ya," kata Rahma.

Berbeda dengan Rahma yang merasa area HTKB perlu ditambahkan, Nardi lebih setuju jika pengadaan angkutan umum atau nonpolusi ditambahkan.

"Banyakin aja bus yang lewat, atau kalau benar mau kurangin polusi sediakan penyewaan sepeda gitu selama HTKB berlangsung jadi kayak saya ini ga perlu lelah berjalan dari ujung ke ujung," ujar Nardi.

Stephanie yang merupakan pendatang juga turut memberi masukan bagi Jakarta agar pelaksanannya lebih baik lagi terutama dari segi kebersihan.

"Mungkin tempat sampah harus diperbanyak, jangan terkonsentrasi di Bundaran Hotel Indonesia. Susah cari tong sampah kalau tidak di dekat pusat perbelanjaan," ujar Stephanie.

Puput juga menyampaikan harapannya mulai dari dukungan SKPD terhadap tata kelola PKL dalam HTKB.

"Ya semoga tiga bulan ke depan KUMKM bisa menata PKL yang ada di Car Free Day, tidak tersebar tapi diletakkan secara tersentral di tempat keramaian. Misalnya di Bundaran HI atau di ujung- ujung jalan batas HTKB," kata Puput.

Selain itu, Puput berharap agar para PKL atau pelaku usaha diberikan kartu identitas sehingga usaha dagang yang dilakukan HTKB lebih terstruktur dan terorganisir dengan rapih.

"Kalau ada kartu pengenal dan disentralkan seperti itu, tentu selain rapih membantu masyarakat untuk memiliki pola pikir kalau mau jajan tentu ada tempatnya. Tidak sembarang di sepanjang jalan seperti saat ini," kata Puput.

Terkait HTKB sebagai bagian dari upaya pengurangan polusi, Puput berharap pemerintah secara konsisten memperbaiki sarana pejalan kaki, pengguna angkutan nonpolusi seperti sepeda, dan pengguna angkutan umum.

Kepala Seksi Bidang Pengaturan Pemanduan Bidang Pengendalian Operasional Dishub DKI Jakarta Kelik Setiawan juga turut menyampaikan harapannya agar Pemprov DKI dapat terus membenahi dan memfasilitasi warga agar tetap nyaman ketika mengikuti HTKB.

"HBKB dirasa harus bisa memenuhi kemauan dari warga itu sendiri. Kami masih berusaha semaksimal mungkin memenuhi itu," ujar Kelik.

17 tahun sudah HTKB berlangsung tentu bukan waktu yang sebentar dan sudah memiliki tempat di hati warga Jakarta.

Harapan- harapan dari seluruh elemen masyarakat semoga terwujud dan dapat menjadikan HTKB tidak hanya wadah bagi masyarakat untuk berekspresi tapi juga menjadi motivasi memerangi polusi.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019