Puluhan Pedagang Tol Dupak Surabaya Tolak Penggusuran
Kamis, 20 September 2012 18:16 WIB
Surabaya - Puluhan pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berjualan di bawah jembatan Tol Dupak, Tambak Asri, Kota Surabaya, menolak penggusuran yang dilakukan oleh PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Cabang Surabaya - Gempol.
"Sudah puluhan tahun kami tinggal di sana. Tapi kemudian kami digusur seperti ini," keluh salah seorang pedagang, Ali, saat mengadukan persoalan ini di hadapan anggota DPRD Surabaya di ruang Komisi B, Kamis.
Menurut dia, sebelum pedagang menempati bawah jembatan Tol Dupak yang merupakan lahan milik PT jasa Marga, kondisi di kawasan tersebut memprihatinkan. Hal itu dikarenakan lokasi tersebut sering dibuat tindakan asusila seperti berbuat mesum, minuman keras, perampokan dan lainnya.
Namun, lanjut dia, setelah ditempati pedagang setelah adanya kerja sama dengan Jasa Marga, maka keamanan dam kebersihan di daerah tersebut terjaga.
"Kami sangat keberatan dengan penggusuran ini. Selama ini saya bekerja di sana, tapi kemudian digusur," ujarnya.
Hal sama juga diungkapkan tokoh masyarakat Tambak Asri, Willem Matius Rorong. Ia mengatakan bahwa kondisi bawah jembatan tol Dupak sebelum ditempati PKL cukup memprihatinkan.
"Memang dulu ada kerja sama antara pedagang dan PT Jasa Marga. Lahan boleh dipakai asalkan dijaga dengan baik," kata Wilem yang juga pernah menjabat sebagai Pengurus RW 6 Tambak Asri.
Atas kondisi tersebut, lanjut dia, seyogyanya perlu ada sosialisasi terlebih dahulu jauh-jauh hari dari pihak Jasa Marga sebelum melakukan eksekusi.
Mendapati hal itu, Kepala PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Cabang Surabaya-Gempol Agus Purnomo mengatakan bahwa selama ini pihaknya tidak ada konflik dengan para PKL tersebut. "Bahkan sejak 2011 sudah melakukan pendekatan terhadap warga yang ada di bawah tol," katanya.
Agus mengatakan seharusnya lahan itu kosong dan tidak layak untuk dihuni warga. Hal ini dikarenakan pihaknya tidak ingin terjadi seperti di Jakarta, dimana terjadi kebakaran di bawah jembatan tol. "Kami tidak ingin seperti itu," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya mengantisipasi agar tidak terjadi kebakaran di bawah jembatan tol sehingga mempengaruhi konstruksi bangunan tol, yakni dengan cara melarang warga untuk tinggal di tempat itu. Apalagi tol tersebut setiap harinya dilewati sekitar 18.000 kendaraan, 60 persennya adalah kendaraan berat.
"Sebetulnya kami tidak melarang mereka berjualan, tapi kalau sudah menjadi tempat hunian itu yang dilarang. Karena bisa saja putung rokok dan kompor bisa sebabkan kebakaran," katanya.
Mengenai sosialisasi, lanjut dia, pihaknya sudah melakukannya pada November 2011 dengan meminta warga membongkar sendiri bangunannya. "Kami juga beri tali asih kepada mereka masing-masing Rp600 ribu per kepala keluarga (KK)," katanya.
Diketahui warga yang tinggal di bawah jembatan sebanyak 80 KK, dari jumlah tersebut yang sudah menerima tali asih sebanyak 38 KK.
Anggota Komisi B DPRD Surabaya Eddy Rusianto mengatakan perlu ada koordinasi yang baik antara Jasa Marga dengan pedagang setempat. "Maka perlu adanya mediasi seperti ini. Kalau melanggar kami tidak akan berpihak, tapi ini masalah sosial yang harus dibahas bersama," katanya.
Untuk itu, perlu adanya solusi bersama jika pedagang dilarang di areal tersebut maka sebagai penggantinya harus ada lahan khusus bagi mereka. Jika tidak, maka pedagang tetap boleh berjualan di bawah jembatan asal tidak dijadikan sebagai tempat hunian. (*)