Sidoarjo (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Haryo Soekartono (BHS) meminta supaya penanganan semburan lumpur Sidoarjo dilakukan secara optimal menyusul semburan yang hingga kini masih aktif meski volumenya telah menurun.
"Alokasi anggaran keselamatan publik tidak boleh dikurangi karena menyangkut nyawa masyarakat," katanya saat meninjau lokasi semburan lumpur Sidoarjo, Kamis.
Dalam kunjungannya ke lokasi, Bambang Haryo menyampaikan bahwa kondisi semburan lumpur ini masih tergolong sebagai bencana nasional yang harus terus dipantau dan ditangani secara serius oleh berbagai pihak terkait, termasuk Basarnas dan Kementerian PUPR.
"Kondisinya masih dalam keadaan kebencanaan dan ini harus dibantu secara khusus. Selain dipantau oleh Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) juga seharusnya oleh Basarnas karena ini bencana nasional," ujarnya.
Ia juga menyoroti pengurangan anggaran penanganan lumpur yang dinilai sangat disayangkan karena alokasi anggaran yang berkaitan dengan keselamatan publik tidak boleh dikurangi karena menyangkut nyawa masyarakat.
"Saya mendengar ada pengurangan anggaran hingga 50 persen padahal ini menyangkut keselamatan masyarakat. Harga nyawa publik itu tidak terhingga. Jadi anggaran seperti untuk Basarnas, BMKG, jangan dikurangi," ucapnya.
Ia menyoroti kebutuhan pompa dengan kapasitas besar untuk mengantisipasi lonjakan semburan mendadak, terutama jika ada aktivitas tektonik yang bisa memperparah kondisi.
"Pompa yang sekarang hanya 150 liter per detik. Padahal dibutuhkan kapasitas 500 liter per detik agar bisa mengakomodir semburan lumpur jika sewaktu-waktu meningkat," katanya.
Tenaga ahli dari PPLS Isgiyanto menjelaskan bahwa saat ini debit semburan lumpur berada di kisaran 27 ribu hingga 32 ribu meter kubik per hari. Meski telah menurun dibanding puncaknya yang mencapai 120 ribu meter kubik per hari, potensi bahaya masih tetap ada.
"Semburan masih aktif. Memang saat ini sudah jauh menurun dibanding dulu. Tapi kami belum bisa memastikan kapan semburan ini akan berhenti sepenuhnya," kata Isgiyanto.
Sejak pertama kali terjadi pada 29 Mei 2006, atau 19 tahun lalu, semburan lumpur panas ini telah menenggelamkan ratusan hingga ribuan rumah warga dan menjadi salah satu bencana lingkungan terpanjang di Indonesia.
PPLS menegaskan bahwa hingga kini belum ada metode ilmiah atau pakar manapun yang mampu memprediksi secara pasti kapan semburan lumpur ini akan benar-benar berakhir. Oleh karena itu, dukungan anggaran dan perhatian pemerintah pusat dinilai mutlak diperlukan.