Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat kebijakan keuangan daerah Universitas Jember Hermanto Rohman MPA mengkritisi polemik tentang nasib APBD 2020 Jember dan pendanaan COVID-19 di Kabupaten Jember yang tidak lepas dari ketidakjelasan dan ruwetnya sandaran regulasi aturan yang diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Jember.
"Jember sebelum masa pandemi COVID-19 tidak ada kesepakatan untuk menetapkan Perda APBD 2020, sehingga Bupati Jember mengusulkan dan menerbitkan Perbup No. 3 tahun 2020 tentang Penggunaan APBD 2020," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu.
Dalam Perbup itu kemudian diajukan perubahan dengan Perbup No. 17 tahun 2020, namun karena dasar hukum lahirnya Perbup No. 3 tahun 2020 adalah Keputusan Gubernur Jatim No. 188 sebagai konsekuensi tidak dihasilkan Perda APBD 2020, maka perubahan perbup tersebut harus dikonsultasikan kepada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Hasil konsultasi Gubernur Jatim, lanjut dia, ditolak karena dalam ketentuan keputusan Gubernur No. 188 bahwa Pergub dan produk turunannya Perbup APBD bisa batal jika ada produk hukum baru yaitu perda APBD 2020.
"Artinya usulan perubahan Perbup APBD itu tertolak karena Perbup pengganti Perda APBD (perbup penggunaan APBD) tidak bisa diajukan dua kali," ucap dosen administrasi publik FISIP Unej itu.
Seiring dengan waktu adanya pandemi COVID-19 terbit Permendagri No. 20 tahun 2020 dan PMK No 19/ PMK.07 /2020 yang mengintruksikan daerah melakukan Refocusing APBD 2020.
Bagi daerah yang memiliki Perda APBD, maka cukup penyesuaian dengan perubahan Perbup penjabaran APBD 2020 sebagai implementasi Perda APBD, namun kembali lagi kasus Jember dengan dalih Perppu No. 1 tahun 2020 penganggaran COVID-19 tidak perlu melibatkan pembahasan DPRD.
"Padahal substansi Perppu yang dimaksud sama bahwa meniadakan pembahasan dengan DPRD adalah untuk perubahan Perda APBD yaitu dengan cukup mengubah Perbup penjabaran APBD 2020 sebagai peraturan pelaksanaan Perda APBD 2020," katanya.
Pemkab Jember, lanjut dia, tidak memahami bedanya Perbup penjabaran APBD dengan Perbup penggunaan APBD yang sekarang dipakai sebagai Perkada pengganti Perda.
"Beda dengan Perbup penggunaan APBD seperti Jember karena tidak adanya Perda APBD dan mengacu pada keputusan Gubernur No. 188 tahun 2020," katanya.
Kerancuan pemahaman itu terus berlanjut dengan atas otoritas yang dibuat sendiri pemerintah daerah menganggarkan anggaran COVID-19 senilai Rp479 miliar yang merupakan anggaran terbesar kedua di Indonesia dan untuk mewadahi itu dibuat lah Perbup No. 21 tahun 2020, namun belum tahu sudah diundangkan atau belum.
Dalam perjalanan keruwetan itu keluar surat dari Kementerian Keuangan KMK No 10 / KM.7/ 2020 yang intinya memberikan sanksi penundaan DAU sebesar 35 persen pada beberapa daerah, salah satunya Jember yang belum melaporkan pendanaan COVID-19.
"Itu bisa ditafsirkan bentuk klarifikasi publik bahwa anggaran penanganan COVID-19 sebesar Rp479 miliar di Jember masih tidak jelas," ujarnya.
Ia mengatakan kemungkinan besar Pemkab Jember akan menerbitkan Perbup baru mengubah Perbup 21 tahun 2020 yang diusulkan dengan adanya dana Rp479 miliar, itu juga karena sorotan KPK dan beberapa pihak bahwa anggaran harus realistis dan jelas sumbernya.
"Keruwetan dan ketidakjelasan APBD Jember itu mungkin satu-satunya di Indonesia, namun hal tersebut tidak dipandang penting," katanya.
Menurutnya Pemprov Jatim yang semestinya bertanggung jawab secara aturan jika ada ada daerah masih menerapkan Perkada APBD sebagai pengganti APBD juga tidak tegas sikapnya serta jelas posisinya pada kabupaten Jember.
Belum lagi ditambah adanya pendanaan COVID-19 yang tidak jelas menimbulkan banyak kegiatan penganggaran yang kontroversial dan menimbulkan publik bertanya-tanya karena rawan politisasi memakai baju bantuan maupun insentif.
Jika belajar dari daerah lain seperti kabupaten tetangga di Bondowoso, ketika publik mempertanyakan anggaran COVID-19 dari APBD maka pemda cepat merespon dengan menunjuk juru bicara satgas COVID-19 dalam hal ini BPKAD untuk menjelaskan pada publik sumber pendanaan dan rencana anggarannya.
Jember sebaliknya tidak ditunjuk jubir yang jelas untuk menerangkan itu, penjelasan jubir melalui Diskominfo faktanya justru menambah keruwetan pemahaman dan pastinya menimbulkan gelagapan melalui jawaban tidak tahu ketika ditanya masalah itu.
Kondisi itu semakin menguatkan penafsiran bahwa Pemkab Jember sudah memiliki itikad melanggar prinsip transparansi dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan yang dijamin dalam UU dengan mengatasnamakan bencana atau darurat.
"Kalau itu dibiarkan sangat dimungkinkan terjadinya penyelewengan bahkan potensi penyalahgunaan anggaran," katanya.
Jika polemik dan keruwetan itu dibiarkan berkepanjangan dan sangat memungkinkan publik yang terlanggar haknya, maka akan menempuh jalur hukum yang dijamin undang-undang dan sepertinya sudah ada sinyal bagi para aparat penegak hukum (Polri dan Kejaksaan) memberikan ruang terbuka untuk pengaduan dan pengawasan. (*)
Pengamat Unej soroti polemik dan ruwetnya pendanaan COVID-19 di Jember
Minggu, 17 Mei 2020 21:57 WIB
Itu bisa ditafsirkan bentuk klarifikasi publik bahwa anggaran penanganan COVID-19 sebesar Rp479 miliar di Jember masih tidak jelas,