Surabaya, (Antara Jatim) - Kecepatan menjual properti di wilayah Surabaya melambat dari sebelumnya membutuhkan waktu satu sampai tiga bulan kini menjadi tiga hingga enam bulan, karena adanya kenaikan harga bangunan dan tanah, sehingga mendorong penjual dan agen properti melakukan koreksi harga.
Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jatim, Syarifuddin Bassara dalam keterangan persnya, Selasa mengakui berdasarkan hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang dilakukan BI untuk kategori primer dan sekunder mencatat meski kecempatan menjual properti melambat namun harganya relatif stabil pada awal tahun atau triwulan I-2016.
Ia mengatakan, untuk harga kategori primer berdasarkan perkembangan Indikator Harga Properti Residensial (IHPR) mencatatkan perlambatan pertumbuhan pada level 0,9 persen dibandingkan triwulan sebelumnya, namun untuk properti sekunder menunjukkan kenaikan sebesar 0,67 persen.
Sedangkan daya beli masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah terhadap properti di Kota Surabaya dan sekitarnya mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, dan menunjukkan level 36,02 kali.
Penyebabnya, adanya kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) penduduk yang didukung dengan turunnya rata-rata suku bunga KPR dari 11,4 persen menjadi 11,2 persen, yang menunjukkan rasio daya beli terhadap sektor properti berada pada level 32,53 kali.
Sementara itu, pada triwulan I-2016 BI juga mencatat harga rumah mengalami kenaikan sebesar 0,6 persen, yang dipengaruhi perubahan harga rumah tipe kecil sebesar 1,53 persen, tipe menengah 0,30 persen dan besar -0,15 persen.
Untuk kenaikan kategori properti primer didorong oleh laju pertumbuhan bangunan karena adanya rasio harga tanah yang naik dibandingkan harga rumah itu sendiri yang turun, dan terpantau sebesar 49,9 persen dibanding triwulan IV-2015.
"Kenaikan harga tanah masih menjadi penyebab terbesar, disusul kenaikan upah kerja, harga bahan bakar minyak, biaya perizinan dan penambahan fasilitas umum perumahan," katanya.
Syarifuddin mengatakan kenaikan harga properti primer didorong oleh kenaikan rumah tipe menengah, yakni tipe 36 sampai 70 yang menyumbang kenaikan sebesar 1,08 persen, sedangkan rumah tipe kecil dibawah 36 menyumbang kenaikan 0,91 persen.
Untuk harga properti sekunder memiliki kontribusi yang hampir sama dan mengalami peningkatan 0,69 persen atau lebih tinggi dibandingkan tipe menengah atas, yaitu 0,65 persen yang mengindikasikan tipe menengah lebih diminati.
"Kondisi ini terkonfirmasi dimana rumah dengan harga jual di bawah Rp1,5 miliar memilik waktu penjualan tiga hingga enam bulan, sedangkan rumah dengan harga jual di atas Rp2 miliar mengalami banyak koreksi harga karena waktu penjualannya yang relatif lama," katanya.
Terkait lokasi, wilayah Surabaya Selatan dan Timur sangat diminati karena munculnya berbagai aktivitas komersil seperti pusat bisnis kuliner dan tempat makan di sepanjang Jalan Kertajaya yang mengarah ke pusat pendidikan di Surabaya Timur.
Selain itu, juga munculnya pusat retail serta dibukanya jalan tembus atau "ring road" yang turut memicu kenaikan harga di wilayah itu, hal ini bebeda dengan wilayah Surabaya Utara yang terpantau tetap dan cenderung menurun disebabkan persepsi masyarakat terhadap wilayah utara dengan citra lokasi pesisir sebagai pusat niaga, pergudangan dan bongkar muat yang berujung menurunkan tingkat masyarakat untuk bermukim di sana.(*)