Malang (Antara Jatim) - Lembaga Protection of Forest and Fauna (PROFAUNA) menyatakan perdagangan satwa dilindungi yang dilakukan secara ilegal pada semester I 2015 meningkat hingga 70 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014.
"Selama kurun waktu Januari-Juni 2014, perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal hanya 22 kasus, sedangkan tahun ini mencapai 37 kasus, sehingga ada peningkatan sekitar 70 persen," kata juru kampanye PROIFAUNA Swasti Prawidya Mukti di Malang, Jawa Timur, Jumat.
Ia mengemukakan beberapa kasus perdagangan satwa liar yang terjadi selama Januari-Juni 2015 adalah pada Januari 2015, Balai Besar KSDA Jatim bersama Polisi Kehutanan (Polhut) mengamankan seorang tersangka penjual satwa liar, Sukron (22) warga Desa Wadung, Kecamatan Pakisaji, Kabuapten malang. Dari tersangka petugas menyita seekor lutung jawa (mati), nuri merah kepala hitam, kakatua seram, 2 kakaktua kecil jambul kuning, dan 2 kangkareng perut putih.
Pada 12 Januari Polres Madiun mengamankan 1 awetan Harimau Sumatera utuh, 1 set kulit Harimau, 1 tengkorak kepala Harimau, 1 kepala Rusa (awetan), dan 1 awetan Penyu Sisik utuh. Polisi juga mengamankan 3 orang sebagai tersangka, yakni Darmaji (70), Bambang Satriyo Ariyadi (54) dan Suharyadi (47). Satwa-satwa itu dijual dengan harga antara Rp25 juta–Rp45 juta.
Selain itu, Petugas membongkar penyelundupan 36 ekor kakatua jambul kuning, 5 ekor kakatua raja (2 mati), serta 1 ekor nuri (mati) 42 ekor burung di dalam kamar isolasi KM Gunung Dempo, di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Direktorat V Tipiter Bareskrim Polri menggerebek sebuah gudang penampung dan pengemasan trenggiling di Medan Deli dan menemukan 96 ekor tringgiling hidup, 5.000 kilo gram daging trenggiling beku Dan 77 kg sisik trenggiling. Satu orang tersangka atas nama SUM alias AB (60) mengaku menjual daging trenggiling dengan harga Rp120 ribu per kilogram dan harga trenggiling hidup dijual Rp13 juta per ekor.
Team gabungan Dit Pol Air Polda NTB, Kementrian Kelautan dan Perikanan Pusat dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB berhasil menggagalkan perdagangan 10 Kilogram insang Ikan Pari Manta, 4 karung berisi campuran tulang ikan hiu dan ikan pari manta, 2 karung tulang ikan Hiu dan 4 buah sirip Hiu.
Dan, Juni 2015 Balai KSDA Bali menangkap pemilik warung (rumah makan) Lawar Tewel atas nama I Ketut Sumerta alias I Ketut Perit, yang berlokasi di Jalan Ida Bagus Mantra, Kabupaten Gianyar, setelah kedapatan menyimpan dan menjual 56 kilogram daging penyu hijau.
Dari keseluruhan catatan PROFAUNA, ke-37 kasus perdagangan satwa liar itu terdapat 10 kasus (27 persen) yang melibatkan burung paruh bengkok, 4 kasus (11 persen) melibatkan primata, 8 kasus (22 persen) melibatkan kucing besar, 3 kasus (8 persen) melibatkan trenggiling, dan 10 kasus (27 persen) melibatkan satwa laut, seperti penyu, hiu, pari, dan sebagainya.
Swasti mengatakan ada banyak hal hipotesis yang dapat diambil dari statistik ini, antara lain jenis satwa yang saat ini banyak diminati dipasaran. Oleh karena itu, membutuhkan perhatian khusus, seperti burung paruh bengkok dan kucing besar (harimau, kucing hutan)
Menurut dia, ada kemungkinan kejahatan satwa liar mengalami kenaikan dari segi jumlah kasus secara keseluruhan. Selain itu, juga bisa diasumsikan bahwa kinerja aparat penegak hukum sudah semakin membaik, sehingga semakin banyak kasus yang terbongkar.
"PROFAUNA mengapresiasi kinerja aparat penegak hukum dan kawan-kawan aktivis yang terus berjuang untuk perlidungan satwa liar di Indonesia, namun yang patut disoroti adalah bagaimana perkembangan sejumlah kasus itu kemudian diproses. Sayangnya, sebagian besar kasus yang kemudian sampai ke meja hijau hanya menghasilkan hukuman yang tidak sebanding bagi pelakunya," katanya.
Swasti mencontohkan Ahmad Fahrial, seorang pedagang gading gajah ilegal di Aceh Barat, divonis 10 bulan penjara dan denda Rp1,5 juta subsider 8 bulan kurungan oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Basuki Ongko Raharjo, pedagang satwa liar antarnegara, divonis hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun penjara oleh PN Surabaya.
Ia mengatakan salah satu cara untuk memberikan efek era bagi pelaku perdagangan satwa langka itu adalah dengan hukuman yang berat. Oleh karena itu, PROFAUNA mendesak agar segera dilakukan revisi UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terutama pasal 40 yang menyangkut sanksi.
"PROFAUNA berharap sanksi hukumannya diubah bukan lagi maksimal, namun menjadi minimal. Dengan demikian akan ada kepastian hukum bahwa pelaku kejahatan perdagangan satwa dilindungi itu akan mendapatkan hukuman yang berat," ujarnya.(*)
Profauna: Perdagangan Satwa Liar Meningkat 70 Persen
Jumat, 17 Juli 2015 18:27 WIB
Sayangnya, sebagian besar kasus yang kemudian sampai ke meja hijau hanya menghasilkan hukuman yang tidak sebanding bagi pelakunya.