Mengurai Bau "Busuk" Penganggaran TPA Benowo Surabaya
Senin, 21 Oktober 2013 13:23 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Bau busuk dari sampah yang menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo Kota Surabaya yang luasnya sekitar 37,5 hektare itu begitu menyengat. Tidak heran jika mereka yang melintas di sekitar lokasi TPA Benowo akan mencium baunya dari kejauhan.
Namun bagaimana dengan ribuan pemulung dan warga yang tinggal di lokasi TPA Benowo?. Jika pemulung tidak merasa begitu terganggu dengan bau sampah tersebut karena sudah menjadi bagian dari pekerjaannya, maka bukan berarti dengan warga yang tidak berprofesi pemulung tinggal di sekitar lokasi TPA.
Volume sampah organik dan non organik yang masuk ke TPA Benowo diperkirakan sekitar 1.500 ton per hari di sisi lain menguntungkan pemulung, namun juga merugikan warga setempat. Warga seolah-olah dibuat tak berdaya dengan bau busuk sampah yang secara tidak langsung menimbulkan banyak pnyakit.
Tanpa mereka sadari, senyawa¿senyawa organik yang telah terurai dari sampah¿sampah tersebut serta dapat mengakibatkan gangguan genetika dan reproduksi.
Selain itu, tumpukan sampah merupakan tempat perkembangbiakan vector-vector pembawa penyakit. Lalat dapat menjadi pembawa utama dari kuman bakteri yang menyebabkan diare karena mudah hinggap di makanan atau peralatan makan.
Tikus diketahui dapat membawa penyakit seperti tipus, leptosprirosis, salmonellosis, pes dan lain-lain. Sedangkan serangga seperti lalat, kecoa, lipas, kutu, dan lainnya dapat membawa berbagai bakteri yang menyebabkan penyakit disentri dan diare. Nyamuk akan beranak-pinak di air yang tidak bergerak di sekitar sampah yang tercecer dan dapat menyebabkan malaria bahkan demam berdarah.
"Bau sampah itu yang ada setiap saat mengganggu kami," kata salah seorang warga Benowo, Masduki.
Masduki mengatakan sejak bertahun-tahun bau itu tidak pernah hilang. Warga setempat selama ini tidak bisa berbuat banyak, meski sering protes, namun itu tidak ada hasilnya. Semua yang dilakukan seperti bau sampah yang menguap begitu saja dan selanjutnya datang lagi.
"Kami berharap pemerintah bisa cepat menanganani persoalan ini," katanya.
Untuk mengurai sampah di TPA Benowo, beberapa cara telah dilakukan oleh Pemkot Surabaya salah satunya lelang investasi pengelolaan sampah dengan sistem kontrak kerja sama "Built Operate Transfer" (BOT) dengan anggaran yang harus dikeluarkan pemkot selama 20 tahun mencapai Rp362 miliar.
Pada saat lelang pertama digelar pada 2009, tidak ada peminat sama sekali kemudian lelang diulang lagi pada 2011 dan diperoleh empat investor yakni PT Phoenix (Singapura), PT Medco (Malaysia), PT Sumber Organik (Indonesia), dan PT Imantata (Prancis).
Lelang investasi pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) Benowo Kota Surabaya sempat molor akibat terjadi tarik ulur di antara panitia khusus (pansus) DPRD Surabaya dalam menentukan investor. Sejumlah anggota DPRD Surabaya menduga ada skenario untuk memenangkan salah satu investor yakni PT Sumber Organik.
Wakil Ketua DPRD Surabaya, Akhmad Suyanto saat itu menyatakan indikasi untuk memenangkan salah satu investor sudah ada. Namun dia tidak mau mengungkapkan secara detail. "Indikasi sih ada," katanya singkat.
Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Erick Reginal Tahale menyatakan Pemkot Surabaya telah menyalahi prosedur karena memenangkan PT Sumber Organik (PT SO) yang tidak sesuai dengan putusan Pansus DPRD Surabaya. Padahal, dalam putusan itu jelas-jelas dinyatakan pihak ketiga yang diajak kerja sama itu adalah investor yang dapat memberikan "sharing profit" terbesar serta biaya "tipping fee" terkecil.
"Tipping fee" ini sendiri adalah perhitungan biaya yang dikeluarkan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya dalam mengelola sampah di TPA Benowo.
"Kewajiban pemkot hanya menyediakan lahan dan bangunan di TPA Benowo, mempermudah izin serta menyediakan bahan baku berupa sampah. Sekarang malah muncul angka senilai Rp56,6 miliar untuk 'tipping fee' itu dari mana," katanya.
Kenyataannya, perusahaan yang menawarkan "tipping fee" terendah malah kalah. Sumber di Pemkot Surabaya menyebutkan, PT Medco mengajukan nilai investasi Rp640 miliar dengan "tipping fee" Rp110 per kg sampah.
Kemudian, PT Imantata memiliki kemampuan investasi Rp284 miliar dengan "tipping fee" Rp100 per kg sampah. PT Phoenyx akan investasi Rp360 miliar dengan tipping fee Rp 112 per kg sampah. Sedang PT SO mengajukan investasi senilai Rp314 miliar dengan tipping fee Rp119 per kg sampah. Jadi, paling mahal "tipping fee" yang diajukan PT SO tapi tetap menang.
Anehnya lagi, lanjutnya, jika "tipping fee" Rp119 per kg sampah, seharusnya setahun hanya membutuhkan Rp44 miliar, namun dalam APBD Surabaya 2013, "tipping fee" diloloskan menjadi Rp56,6 miliar.
"Saya melihat prosedurnya salah semua, tidak melalui aturan main yang ada. Persoalan ini tidak lagi menjadi polemik, namun sudah harus menjadi sikap. Terutama Pemkot yang harus meninjau ulang," katanya. Erick menegaskan jika Pemkot tetap menggunakan anggaran "tipping fee" Rp56,6 untuk PT SO, maka Ketua Panitia Lelang serta Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini harus bertanggung jawab karena ini sudah masuk dalam ranah pidana.
"Saat kita konsultasi dengan Mendagri proses itu catat hukum dan 'tipping fee' yang diajukan pemkot juga tidak sesuai prosedur. Untuk itu saya meminta wali kota membatalkannya," ujarnya.
Ketua Pansus Pengelolaan Sampah TPA Benowo yang juga Wakil Ketua DPRD Surabaya Wisnu Sakti Buana saat itu mengatakan prosesnya telah sesuai prosedural dan berbalik menuding bahwa anggota dewan yang masih mempersoalkan karena misinya tidak tertampung.
Wisnu mengatakan pansus sendiri sudah sesuai aturan dan terbentuknya pansus mencari format kerja sama apa yang paling bagus. "Pansus sudah sesuai mekanisme dan kita sudah studi banding ke Bandung dan Bali. Bila ada anggota dewan yang melintir, itu karena kepentingan mereka yang tidak terakomodir," katanya.
Ditanya bahwa proyek pengolahan sampah di TPA Benowo diatur oleh Wisnu bersama kakak kandungnya (Seno), ia membantahnya dan menganggap itu hanya sebuah isu belaka. "Itu hanya isu. Kalau itu, saya difitnah malah mengurangi dosa saya," kata Wisnu yang juga Ketua DPC PDIP Kota Surabaya ini.
Tidak Transparan
Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK) menilai alokasi anggaran "tipping fee" pengelolaan sampah di TPA Benowo dalam APBD Surabaya 2013 tidak transparan. Pada 2013 ini adalah tahun kedua bagi pemkot untuk kembali mengucurkan dana yang bersumber dari APBD Kota Surabaya sebesar Rp56 miliar, dan diusulkan ditambah Rp9 miliar dalam Perubahan Anggaran Keuangan (PAK).
"Saat ini persoalan persampahan di Kota Surabaya sangat menyita perhatian publik, dikarenakan tidak adanya transparansi dari PT Sumber Organik selaku pemenang tender yang bernomor 510/13799/436.6.5/2011 tertanggal 22 Agustus 2011 senilai kurang lebih Rp362 miliar," kata Penasehat Umum AMAK, I Wayan Titib Sulaksana.
Menurut dia, pengolahan sampah menjadi gas dan listrik dengan sistem BOT merupakan cara yang terbaik untuk pembangunan infrastruktur baru dengan keterbatasan dana. Pelibatan pihak swasta terkait pembangunan konstruksi infrastruktur baru diperlukan . Prinsipnya, pendanaan swasta akan digunakan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-standar yang disusun pemerintah.
Tentunya proses BOT harus melalui persetujuan DPRD Kota Surabaya sebagaimana Perarturan Pemerintah Nomor 50/2007 dan Peraturan Presiden Nomor 70/2012, serta Permendagri No 7/2007 tentang kerja sama pemerintah daerah dengan pihak lain.
Kendati demikian, AMAK menyorot terus membengkaknya anggaran "tipping fee" yang tertuang di dalam draf Kebijakan Umum Anggaran- Penghitungan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD 2013 sekitar Rp44 miliar per tahun.
Selanjutnya, saat pembahasan KUA-PPAS anggaran tiba- tiba membengkak menjadi Rp56,4 miliar per tahun. Bahkan, di dalam pembahasan buku draf Rancangan APBD 2013 anggaran "tipping fee" itu menjadi Rp57,223 miliar per tahun.
"Ini berarti biaya pengolahan sampah per tonnya menjadi Rp152.000 per ton. Tidak sesuai dari perjanjian awalnya Rp119.000 per ton," katanya.
Badan Anggaran DPRD Kota Surabaya akhirnya menolak penambahan anggaran pengelolaan sampah di TPA Benowo dalam PAK APBD 2013 yang semula dianggarkan Rp57 miliar naik menjadi Rp63 miliar atau senilai Rp6.042.938.000.
"Rapat banggar yang baru selesai pukul 18.00 WIB ini akhirnya sepakat menolak penambahan anggaran pengelolaan sampah," kata anggota Badan Anggaran (Banggar) dari Fraksi PKS Reni Astuti.
Pemkot Surabaya dalam rapat banggar sempat menghadirkan sekitar 10 pakar atau tim ahli dari berbagai unsur seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas), Universitas Airlangga (Unair), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan lainnya.
"Semua pakar yang dihadirkan berkaitan dengan hal teknis, aspek legal sampai pada aspek lingkungan," katanya.
Menurut dia, salah satu pakar hukum yang didatangkan Pemkot Surabaya menjelaskan bahwa kerja sama antara Pemkot Surabaya dan Pengelolah Sampah dalam hal ini PT Sumber Organik (SO) harus ada persetujuan dari DPRD Surabaya. Sedangkan persetujuan yang dimaksud sesuai dengan tata tertib DPRD Surabaya harus disetujui oleh semua anggota DPRD Surabaya dalam rapat paripurna.
Setelah tim ahli melakukan paparan, lanjut dia, muncul dari berbagai pertanyaan soal legal kerja sama tersebut. Hal ini dikarenakan persetujuan tersebut hanya dilakukan ditataran pimpinan DPRD Surabaya dan tidak melibatkan anggota dewan secara keseluruhan.
"Mendapati banyaknya anggota dewan yang bertanya tersebut, tim ahli sempat kaget jika dewan hingga saat ini belum memegang perjanjian kerja sama itu," katanya.
Selain itu, lanjut dia, hal-hal lain terkait dengana danya penambahan anggaran pengelolaan sampah dinilai belum menyakinkan. Hal ini dikarenakan kewajiban dan hak dari pemkot atas kerja sama belum bisa dijelaskan. "Pemkot belum memberikan gambaran atas itu, akhirnya kita sepakat menolak penambahan itu," katanya.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya Simon Lekatompesy, mengatakan kerja sama itu salah prosedur sehingga perlu adanya revisi bentuk kerja samanya. "Sebaiknya diadakan perbaikan supaya ke depan tidak ada masalah," katanya.
Menurut dia, jika PT Sumber Organik menolak adanya perbaikan itu, maka sebaiknya dibicarakan dengan Pemkot Surabaya. Hal ini dikarenakan perjanjian kerja sama dengan PT Sumber Organik menggunakan sistem BOT yang seharusnya mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota DPRD Surabaya.
Hanya saja, lanjut dia, prosedur tersebut tidak dilakukan pada saat itu, melainkan persetujuan hanya melibatkan unsur pimpinan DPRD Surabaya. "Maka menurut saya, tinggal prosedurnya yang harus dibenarkan lagi. Bisa dicarikan solusi, kasihan juga pihak ketiga (investor)," katanya.
Hal sama juga diungkapkan Ketua DPRD Surabaya M. Machmud. Ia mengatakan bahwa pihaknya setuju jika kerja sama tersebut direvisi agar ke depan tidak ada permasalahan lagi. "Ya kita sepakat itu direvisi," katanya.
Namun berbeda halnya dengan pernyataan anggota Komisi C lainnya, Sudirjo. Politisi Partai Amanat Nasional ini menegaskan tidak perlu ada revisi lagi. "Kalau sudah salah dari awal, tentunya isi perjanjian juga salah. Tentunya harus di-cut (putus) kerja samanya," katanya.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya Hendro Gunawan mengatakan mengenai revisi kerja sama tersebut, pihaknya akan konsultasi terlebih dahulu dengan Kemnterian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas).
"Ini terkait penyempurnaanya saja. Pada sata rapat banggar kemarin (1/10), dewan mengusulkan penyempurnaan persetujuan kerja sama itu saja," katanya.
Saat ditanya, apakah kerja sama antara pemkot dan PT SO yang salah dan bisa berakibat hukum, Hendro mengatakan tidak ada yang salah, hanya saja perlu disempurnakan. "Kalau batal demi hukum berhenti semua terus semua berhenti. Secara subtansi dan teknis juga tidak salah," katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan agar semua pihak hendaknya melihat pada kepentingan yang lebih besar terkait pengelolaan sampah di TPA Benowo. Persoalan pengelolaan sampah seharusnya tidak dilihat hanya urusan untung rugi, apalagi sampai dibawa ke ranah politis.
Sebab, ada kepentingan yang lebih besar dalam pengelolaan sampah, yakni terkait masa depan kota Surabaya menjadi kota yang bersih, sehat dan nyaman untuk ditempati.
Menurut dia terkait pengelolaan sampah di TPA Benowo, Pemkot Surabaya sejak awal menggandeng tim karena Pemkot memang tidak memiliki pengalaman dalam pengelolaan sampah. Tim tersebut berasal dari beberapa elemen di antaranya dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementrian Dalam Negeri, kalangan akademisi seperti dari Teknik Lingkungan ITS, pakar ekonomi dan hukum, juga perkumpulan sampah.
Tim inilah yang mengurusi persoalan teknis seperti penentuan pemenang tender, juga penentuan harga pengelolaan. Sementara Pemkot fokus untuk mengurusi masalah sampah. DPRD juga pernah diundang untuk bertemu tim tersebut.
"Kalau ada pertanyaan soal teknis, tanya ke tim ahli kenapa keluar angka (harga) itu karena yang keluarkan mereka. Saya percaya tim ini karena mereka ahlinya, ada professor-profesor di situ. Kalau ndak percaya mereka, terus harus percaya ke siapa lagi. Ini sampai sekarang saya tidak tahu pesertanya, yang penting bagi saya itu hasilnya," ujar Risma yang juga mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya ini.
Risma mengatakan urusan pengelolaan sampah di TPA bukanlah pekerjaan ringan. Urusan TPA disebutnya sangat vital. Bahkan, jika dibandingkan pengelolaan sampah di TPA lebih kritis ketimbang masalah transportasi. Wali kota menyebut tidak ingin Kota Surabaya nantinya bernasib seperti Kota Bandung yang karena volume sampahnya tak terbendung, kini kesulitan mengatasinya.
Wali kota mempersilahkan semua pihak untuk ikut mengawasi pelaksanaan Joint Operation (JO) dalam pengelolaan sampah di TPA Benowo. Bahkan, jika misalnya dalam pengelolaan tersebut ditemukan hal-hal yang tidak benar, wali kota tidak keberatan jika pelaksanaan kerja sama dalam pengelolaan sampah di TPA Benowo itu dievaluasi.
"Silahkan diawasi. Kalau ada yang tidak bener diputus aja kerja samanya, saya juga tidak masalah," katanya.
Direktur Utama PT Sumber Organik Herman mengatakan pihaknya tidak mempermasalahkan penolakan usulan tambahan anggaran "tipping fee" pengelolaan sampah karena itu tidak akan mengurangi kinerja PT Sumber Organik (SO).
"Kami akan tetap menjalankan pengelolaan sampah TPA Benowo seperti biasa demi warga dan kebersihan Kota Surabaya," katanya.
Dijelaskan Herman, pihaknya dalam menjalankan kinerja selalu mematuhi rambu-rambu kontrak kerja sama yang telah disepakati. Hal ini dikarenanakan PT SO dalam menjalankan pengelolaan sampah TPA Benowo selain harus menjaga kontinuitas juga terus menjalankan tahap pembangunan fasilitas baru pengelolaan sampah.
"Jadi kami ini bekerja dua jalur, satu jalur mengelola sampah dan jalur satunya membangun fasilitas serta prasarana baru pengolahan sampah. Ini yang mungkin kurang dipahami," ucap Herman.
Tim ahli pengelolaan sampah TPA Benowo, Guntur Sitorus mengatakan, terkait pengelolaan sampah TPA Benowo mengapa harus ada Tipping Fee, menurut Guntur, itu dikarenakan sudah diatur dalam UU No 18 tahun 2008 tentang kewajiban Pemerintah Daerah menyelenggaraan pengelolaan sampah dan kewajiban mengeluarkan biaya.
Demikian juga dengan pengelolaan sampah di TPA Benowo yang dilakukan oleh investor sudah memenuhi UU tersebut. Besaran biaya pengelolaan sampah, kata Guntur, standar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan sebagainya mencapai nilai Rp220.000 per ton.
Namun APBD Surabaya pasti tidak akan mampu memenuhi biaya standar tersebut dan hanya mampu menyediakan dana pengelolaan Rp119.000 per ton. Disitu terjadi kekurangan biaya pengelolaan sampah yang bisa disediakan Pemkot Surabaya sehingga investor harus memutar otak mencari kekurangan itu.
Celakanya, jelas Guntur, volume sampah yang dihasilkan kota Surabaya saat ini rata-rata mencapai 1.400 ton perhari, sedangkan dalam APBD hanya dianggarkan Tipping Fee pengelolaan sampah volumenya maksimal 1.300 ton per hari.
Artinya disitu investor harus mencari sendiri kekurangan biaya pengelolaan baik dari segi anggaran dan kelebihan volume sampah. "Dilihat dari situ saja pasti kesulitan memikirkan menambal kekurangan biaya pengelolaan, apalagi TPA Benowo belum menghasilkan apapun," tandas Guntur.
Oleh karena itu, menurut Guntur, apabila Pemkot nantinya meminta hasil penjualan listrik, kompos, plastik, abu untuk bahan baku bata ringan dan sebagainya maka harus menyediakan "tipping fee" sebesar Rp 250.000 per tonnya. Ini dikarenakan hasil penjualan listrik dan lainya yang dihasilkan dari pengolahan sampah hanya sebesar 20-30 persen biaya pengelolaan.
"Di sinilah mengapa tipping fee pengelolaan sampah harus dianggarkan oleh Pemkot hingga masa kerja sama selama 20 tahun," kata Guntur.
Masikah Dianggarkan ?
Permasalahan baru muncul terkait perlu tidaknya penganggaran "tiping fee" pengolahan sampah TPA Benowo dalam pembahasan RAPBD Surabaya 2014 yang nilainya mencapai Rp61,2 miliar. Sejumlah anggota DPRD Surabaya mempertanyakan hal itu.
Ketua DPRD Kota Surabaya M. Machmud mengatakan pihaknya akan mengkonsultasikan terlebih dahulu ke Kementerian Dalam Negeri terkait dengan anggaran pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Benowo senilai Rp61,2 miliar dalam RAPBD Surabaya 2014.
"Kami akan tanya dulu ke Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) seperti apa solusianya," katanya.
Menurut dia, anggaran pengelolaan sampah tersebut sudah masuk pos anggaran Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) 2014 dan selanjutnya dimatangkan dalam pembahasan RAPBD 2014.
Saat ditanya apakah masih ada peluang penggaran itu, Machmud mengatakan berdasarkan informasi sementara yang ia peroleh hal itu bisa dimungkinkan dianggarkan kembali asalkan dalam MoU atau kerja sama tersebut ada adendum (ketentuan atau pasal tambahan).
"Sehingga kerja sama yang keliru bisa direvisi. Tapi kalau di MoU tidak ada adendum ya tidak bisa," katanya.
Saat ditanya apakah MoU kali ini ada adendumnya, Machmud mengatakan belum tahu pasti karena belum membaca secara keseluruhan isi dokumen kerja sama itu. "Kayaknya masih ada, tapi saya tetap perlu konsultasi ke Kemendagri. Bila perlu saya akan mengajak pemkot ke Kemendagri," ujarnya.
Informasi dari internal DPRD Surabaya bahwa Biro Hukum Kemendagri menyatakan ada indikasi penyalahgunaan wewenang dan anggaran terkait kerja sama pengelolaan sampah TPA Benowo senilai Rp362 miliar tersebut.
Alasan Kemendagri menyetop proyek ini sebab cacat hukum karena persetujuan kerja sama PT SO dengan Pemkot Surabaya hanya dilakukan atas nama pimpinan dewan (Ketua DPRD Surabaya saat itu Wisnu Wardhana dan Wakil Ketua DPRD Wisnu Sakti Buana), namun tidak melalui lembaga DPRD Surabaya melalui rapat paripurna.
Kemendagri juga mengingatkan agar DPRD jangan melangkah terlalu jauh mengurusi teknis pengelolaan sampah karena hal ini menjadi kewenangan eksekutif. Masalah lain yang disorot adalah kontrak kerja sama antara pemkot dengan PT Sumber Organik.
Selan itu, Kemendagri juga menyoroti Wakil Ketua DPRD Surabaya Wisnu Sakti Buana yang seharusnya tidak boleh merangkap jabatan sebagai pansus pengelolaan sampah. Namun hal itu dilakukan dengan memenangkan PT SO sebagai pememangan tender.
Oleh karena itu, pihak Kemendagri menyarankan supaya keputusan pimpinan DPRD tentang kontrak kerja sama pengelolaan sampah dengan PT Sumber Organik sebagai pihak ketiga dibatalkan, dan dievaluasi.
Ketua DPRD Mochammad Machmud membenarkan saran dari Kemendagri soal kontrak kerja sama pengelolaan Sampah TPA Benowo. "Hasil konsultasi ini akan kami sampaikan ke anggota," katanya.
Ia menyebut Kemendagri minta DPRD Surabaya memperbarui persetujuan kontrak kerja sama antara pemkot dengan PT Sumber Organik.
Persetujuan kontrak antara Pemkot Surabaya dengan pihak ketiga sebenarnya sudah ada yakni dengan Nomor 64 tahun 2009, ditandatangani Wakil Ketua DPRD Surabaya Wisnu Sakti Buana. Surat persetujuan ini menindaklanjuti surat wali kota tertanggal 11 November 2008 yang isinya meminta DPRD menyetujui kontrak kerja sama.
Machmud juga membenarkan jika Kemendagri telah mengingatkan dalam persetujuan kontrak yang diperbaharui nanti, dewan tidak boleh mengurusi masalah teknis karena jika dikemudian ada penyimpangan terkait isi atau teknis kerja sama, maka DPRD akan terseret. Lain halnya jika sebatas memberikan persetujuan kerja sama, maka dewan tak akan bisa terlibat.
Kepala Bagian Hukum Pemkot Surabaya Maria Theresia Ekawati Rahayu saat dikonfirmasi soal hasil konsultasi ke Kemendagri itu, memilih menjawab tidak tahu.
Persoalan sampah memang tetap akan menjadi persoalan pelik sepanjang masa. Jika solusi pengelolaan sampah itu tidak dilakukan secara bijak oleh pemegang kekuasaan dan ditunjang kesadaran masyarakat, maka itu akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak. Apalagi proses penganggarannya tidak transparan dan tentunya rawan dikorupsi secara jamaah. (*)