Adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta Dr Phil Dewi Candraningrum yang mengkritik media massa dalam peliputan kaum perempuan. "Media massa belum melihat perempuan sebagai sosok perkasa, misalnya Angelina Sondakh bukan diliput kejahatannya yang tidak patut ditiru, tapi justru warna tas, perilaku dalam sidang atau di penjara, atau siapa pacarnya," ucapnya. Di hadapan puluhan jurnalis dalam workshop jurnalis untuk isu keberagaman di Surabaya (25/11), alumnus Universitaet Muenster, Jerman itu melihat media massa masih terjebak dalam "seksualitas keberhasilan" dengan menampilkan perempuan secara gosip. "Cara media massa seperti itu sama halnya dengan 'memory collective' terkait gambaran perempuan dalam masyarakat. Itu seperti bukan orang sekolahan saja, tentu media massa bukan begitu," tukasnya. Namun, buktinya, cantik dalam "memory collective" adalah paras, kosmetik, fesyen, dan "tampak luar" lainnya dan hal itu pula yang diliput media massa, padahal cantik perlu diberi makna "perkasa" yakni cantik adalah pintar, cantik adalah sehat, cantik adalah positif, dan sebagainya. "Dalam risetnya pada tahun 1991, Orbach menyimpulkan 70 persen media massa masih fokus pada imaji kecantikan ketimbang pendidikan dan karier perempuan yang hanya 12 persen," paparnya. Peneliti dari "Jurnal Perempuan" itu menyimak kacamata "memory collective" itu pula yang membuat media massa melakukan kesalahan dalam memaknai PSK, janda, Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya. "Kalau media massa tidak terjebak pada 'memory collective', maka media massa tidak akan fokus pada kata PSK dengan unsur negatif lainnya, padahal kalau media massa mau fokus pada siapa yang mendatangkan PSK itu, maka media massa tidak akan melihat perempuan sebagai pelaku, tapi ada banyak perempuan yang menjadi korban bernama PSK yang sebenarnya bukan cita-cita mereka," ulasnya. Kata Syiah adalah contoh lain. "Media massa jangan terjebak pada perbedaan, tapi lacaklah sejarah Syiah yang sudah lama ada dan sejak dulu tidak ada masalah, lalu sodorkan pada publik tentang masalah yang terjadi sebagai masalah baru," timpalnya. Bahkan, ungkap aktivis/pegiat perempuan, kata/istilah "teroris" sesungguhnya memiliki makna positif dalam konteks pejuang, namun mantan Presiden AS George Bush itulah yang membuat makna "teroris" menjadi sangat negatif. "Dulu, kalangan Orde Baru menggunakan kata 'wanita', seperti Dharma Wanita, tapi kini terjadi peralihan dari kata 'wanita' menjadi kata perempuan, karena para aktivis perempuan trauma dengan kata wanita," tandas pemerhati masalah gender itu. Oleh karena itu, ia mengajak media massa untuk tidak terjebak dalam sebuah kata/istilah secara negatif, namun media massa harus mampu menjadi "perist" yang melacak makna kata yang ada guna menyampaikan kepada masyarakat secara netral dan bukan tendensius. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012