Narasi tentang Soeharto selalu menghadirkan dua wajah yang kontras dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi ia digambarkan sebagai sosok otoriter yang membungkam kebebasan politik dan hak asasi manusia. Di sisi lain banyak pihak mengingatnya sebagai pemimpin yang berhasil mengeluarkan Indonesia dari jurang ketidakpastian pasca Orde Lama menuju stabilitas ekonomi dan politik.
Di antara dua wajah tersebut terdapat satu hal yang jarang disorot yakni cara berpikir Soeharto dalam menata negara secara sistematis dan kalkulatif. Pendekatan tersebut dilakukan meski ia bukan berasal dari kelompok intelektual yang di era sebelumnya menjadi pelopor dan motor utama kemerdekaan Indonesia. Orientasi kepemimpinannya tertuju pada stabilitas sebagai fondasi utama pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Setelah kejatuhan Orde Lama Indonesia berada dalam kondisi kacau dengan inflasi ratusan persen dan konflik politik berkepanjangan. Militer terbelah dalam faksi ideologis yang saling berhadapan sehingga menciptakan ketidakpastian di berbagai lini kehidupan berbangsa. Dalam situasi tersebut Soeharto hadir sebagai arsitek tatanan baru yang memahami bahwa bangsa rapuh tak dapat dibangun di atas perdebatan ideologi tanpa ujung.
Prioritas utama Soeharto bukanlah demokrasi melainkan stabilitas sebagai prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Langkah pertama yang dilakukan ialah melakukan depolitisasi rakyat melalui penyempitan peran partai politik dan pengarahan organisasi massa. Rakyat didorong menjadi tenaga produktif dalam pembangunan ekonomi bukan sebagai aktor politik yang aktif dalam dinamika kekuasaan.
Banyak pihak menilai langkah tersebut sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan berpolitik dan berorganisasi warga negara. Namun dari kacamata strategis Soeharto sedang membangun fondasi negara yang bebas dari turbulensi politik berkepanjangan. Keyakinannya bahwa kemakmuran tidak akan tumbuh di tanah yang guncang menjadi dasar utama kebijakan depolitisasi tersebut.
Pemikiran Soeharto sejalan dengan logika pembangunan Asia pada era 1970an yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi di atas partisipasi politik. Pola tersebut mirip dengan Deng Xiaoping yang melalui reformasi ekonominya memandang kemiskinan sebagai musuh terbesar bangsa. Kontrol politik dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara cepat.
Pernyataan Deng yang populer tentang kucing hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus mencerminkan pragmatisme dalam kebijakan pembangunan. Tujuan utama negara adalah mencapai kesejahteraan rakyat tanpa terjebak dalam perdebatan ideologis yang tidak produktif. Perbedaan mendasar antara Deng dan Soeharto terletak pada latar belakang pemikiran keduanya yang berbeda namun menghasilkan pendekatan serupa.
Deng lahir dari tradisi Marxis Leninis sementara Soeharto tumbuh dalam kultur Jawa yang menekankan harmoni dan hierarki sosial. Keduanya sama-sama menggabungkan otoritarianisme politik dengan rasionalitas ekonomi sebagai resep pembangunan negara. Formula tersebut terbukti mampu mengangkat negara mereka dari krisis menuju stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Setelah tercapainya stabilitas Soeharto menciptakan kelompok elit ekonomi untuk merealisasikan pembangunan nasional secara terstruktur dan berkelanjutan. Pemahaman bahwa pembangunan membutuhkan tangan-tangan yang mampu mengelola modal dan teknologi mendorongnya menggandeng akademisi teknokrat hingga pengusaha. Jaringan kekuasaan yang loyal tersebut menjadi embrio dari kapitalisme negara ala Orde Baru.
Kritikus sering menuding sistem tersebut sarat korupsi kolusi dan nepotisme yang merugikan kepentingan rakyat banyak. Namun tak dapat dipungkiri model tersebut efektif mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen per tahun melalui program Repelita. Berdasarkan laporan Arief Ramelan Karseno tahun 2001 berjudul Review on Government Policies and the Economic Crisis in Indonesia pertumbuhan tersebut berlangsung sepanjang dekade 1960 hingga 1980an.
Ketika dunia masih sibuk berdebat persoalan ideologi Indonesia menjadi salah satu negara berkembang paling stabil di Asia Tenggara. Stabilitas tersebut menjadikan Soeharto bukan hanya sebagai penguasa tetapi juga perancang sistem yang komprehensif dan terukur. Birokrasi yang efisien militer sebagai kekuatan sosial politik dan pembangunan ekonomi sebagai legitimasi utama kekuasaan menjadi pilar utama.
Soeharto memperlakukan negara layaknya sebuah mesin dengan rakyat sebagai penggerak elit sebagai operator dan dirinya sebagai pengatur ritme. Pendekatan mekanistik tersebut menghasilkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kebebasan politik dan hak asasi manusia. Penindasan dan represi politik menjadi catatan sejarah kelam yang tidak dapat dihapus dari memori kolektif bangsa.
Untuk memahami Soeharto secara adil diperlukan penilaian tidak hanya dari sudut pandang akibat tetapi juga rasionalitas di balik kebijakannya. Ia menjawab kegagalan Orde Lama dengan ketertiban menjawab kekacauan ekonomi dengan pembangunan dan menjawab keraguan elite dengan kepastian. Pendekatan pembangunan dari atas ke bawah menjadi ciri khas kepemimpinannya yang menempatkan stabilitas sebagai prasyarat bagi demokrasi.
Cara berpikir Soeharto mencerminkan rasionalitas strategis dalam politik pembangunan atau developmentalism yang menata struktur kekuasaan sebelum membuka partisipasi. Keyakinan bahwa stabilitas adalah prasyarat bagi demokrasi dan bukan sebaliknya senada dengan Lee Kuan Yew dari Singapura. Lee pernah menyatakan dengan beberapa pengecualian demokrasi tidak membawa pemerintahan yang baik bagi negara-negara berkembang.
Lee menganggap ujian utama dari sistem politik adalah apakah sistem tersebut mampu meningkatkan standar hidup bagi mayoritas rakyat. Tujuan utama adalah memiliki masyarakat tertata rapi sehingga setiap orang dapat menikmati kebebasan secara maksimal dan bermartabat. Pandangan tersebut mungkin tidak populer di era keterbukaan saat ini namun logika dasarnya tetap relevan dalam konteks pembangunan.
Tanpa stabilitas pembangunan akan macet dan tanpa arah yang pasti kebebasan akan kehilangan makna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua dekade setelah reformasi Indonesia menghadapi tantangan baru seperti ketimpangan sosial polarisasi politik dan ekonomi rapuh di tengah persaingan global. Dalam situasi tersebut menyelami kembali pemikiran Soeharto bukan berarti menghidupkan Orde Baru tetapi memahami bagaimana rasionalitas stabilitas dipadukan dengan demokrasi modern.
Soeharto mungkin bukan pahlawan tanpa cela tetapi ia adalah simbol dari generasi pemimpin yang memandang kekuasaan sebagai sarana pembangunan. Ketika bangsa lain tenggelam dalam revolusi ideologi ia memilih jalur pembangunan pragmatis yang hasilnya masih dapat dirasakan hingga hari ini. Jalan yang dipilih barangkali kaku dan penuh perhitungan namun berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis menuju stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
*) Penulis adalah Dosen Politik di Universitas Negeri Surabaya Ken Bimo Sultoni, S.I.P, M.Si
Editor : Rachmat Hidayat
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2025