Surabaya - Kepala Biro Perasuransian Bapepam dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, menyatakan Indonesia mengalami "genting aktuaris" atau kekurangan jumlah aktuaris (analis dampak finansial pada asuransi jiwa, pensiun, investasi).
"Kita menghadapi situasi genting dalam aktuaris, karena kita memiliki 139 perusahaan asuransi, tapi hanya 130 dari 170 aktuaris yang terlibat dalam asuransi. Jadi, kita kekurangan aktuaris," katanya dalam seminar 'Actuary: Most Wanted Profession Around The World' di Kampus ITS Surabaya, Rabu.
Di hadapan peserta seminar dari ITS, Unair, dan Ubaya serta pemicara Budi Tampubolon (Ketua Persatuan Aktuaris Indonesia), dan Rudi Kamdani (Direktur AIA Financial), ia menjelaskan situasi genting itu diperparah dengan banyaknya perusahaan asuransi yang menginginkan 4-5 aktuaris pada setiap perusahaan.
"Karena itu, Kemkeu membuat aturan bahwa 2,5 tahun ke depan sejak tahun 2011, setiap perusahaan asuransi wajib memiliki minimal satu aktuaris, karena itu Persatuan Aktuaris Indonesia ditargetkan mampu mencetak 300-400 aktuaris hingga 2015," katanya.
Namun, katanya, profesional di bidang aktuaris itu memang bukan perkara mudah, sebab banyak kalangan memperkirakan untuk mencetak aktuaris itu membutuhkan waktu 7-10 tahun, padahal Kemkeu membatasi 2,5 tahun atau hingga 2015.
"Mungkin karena itu, saya banyak diprotes berbagai kalangan, terutama kalangan asuransi sendiri. Untuk itu, saya mendukung upaya PAI mempercepat proses ujian aktuaris melalui berbagai kerja sama, termasuk dengan FMIPA ITS," katanya.
Dalam kesempatan itu, ia memuji kerja sama PAI dengan ITS untuk memasukkan lima SKS untuk mata kuliah yang menjadi materi ujian aktuaris, sehingga lulusan ITS (FMIPA/Matematika/ Statistik) tinggal menambah 2-3 materi ujian untuk menjadi aktuaris.
"Ke depan, pemerintah memang ingin pertumbuhan finansial bidang asuransi bisa mendekati perbankan, sebab dana yang dihimpun perbankan sekarang mencapai Rp2.800 triliun, sedangkan dana yang dihimpun kalangan asuransi masih Rp180 triliun atau kalau digabung dengan Taspen dan sejenisnya masih Rp500 triliun," katanya.
Ia menambahkan keinginan pemerintah itu karena dana asuransi itu lebih berjangka panjang dibandingkan dengan perbankan.
"Kalau perbankan itu sulit mendanai sektor infrastruktur yang investasinya bersifat jangka panjang, sehingga asuransi lebih dapat diharapkan. Banyak negara yang memanfaatkan asuransi dan dana pensiun untuk membiayai pembangunan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012