Dibutuhkan waktu sekitar 2 jam dari Bandara Internasional Chinggis Khaan untuk sampai ke Alun-alun Sukhbaatar, pusat Kota Ulan Bator, Ibu Kota Mongolia, yang "hanya" berjarak sekitar 15,5 kilometer.
Penyebabnya, antara lain adalah kemacetan di berbagai lampu lalu lintas menuju tengah kota saat musim dingin pada awal Desember 2024. Suhu yang mencapai -18 derajat Celcius membawa pilihan logis bagi penduduk setempat maupun pengunjung untuk mengendarai mobil.
Meskipun demikian, warga lokal tampak "tenang" dengan kondisi tersebut, yang ditandai dengan tidak seringnya klakson berbunyi. Di sisi lain, bagi mereka yang baru pertama kali datang ke Ulan Bator akan takjub dengan uap knalpot yang tampak jelas keluar dari tiap mobil karena terpapar dinginnya udara.
Ketakjuban pun bertambah karena saat mobil mengantre di kemacetan terlihat ada kemudi di sebelah kanan, seperti di Inggris, Belanda, Jepang maupun Indonesia maupun kemudi di sisi kiri, seperti di Amerika Serikat, China, negara-negara di Eropa, selain Inggris.
Saat akhirnya tiba di Alun-alun Sukhbaatar, pusat kota itu, tampak dilintasi sejumlah penduduk dengan pergerakan yang cukup cepat. Tampaknya tidak ada yang ingin berlama-lama terpapar udara dingin, meskipun sudah mengenakan pakaian lapis tiga.
Alun-alun Sukhbaatar sendiri merupakan pusat kota yang dibangun pada 1921, setelah Revolusi Mongolia, ketika negara itu beralih dari kekuasaan Dinasti Manchu (Dinasti Qing) dari China menjadi republik.
Nama Sukhbaatar diambil dari Jenderal Damdin Sukhbaatar, pahlawan revolusi yang memimpin perjuangan kemerdekaan Mongolia dari Dinasti Qing.
Di tengah alun-alun ada patung Jenderal Damdin Sukhbaatar yang (lagi-lagi) sedang menaiki kuda. Patung setinggi empat meter memiliki ukiran di alasnya yang ditulis dalam teks Mongolia kuno dan dapat diterjemahkan menjadi "Negara kita menyatukan kekuatan, bersatu di mana tidak ada tempat untuk pergi, dan tidak ada yang bisa tahu dan tidak dapat menemukan kesenangan dalam kesenangan. Kita memiliki keberanian untuk mengetahui hati kita".
Alun-alun tersebut juga dikelilingi sejumlah gedung penting. Gedung utama dan paling terlihat adalah Gedung Parlemen Mongolia atau disebut juga "State Palace" di sisi utara lapangan dan menghadap ke arah selatan, seperti tradisi pendirian tenda tradisional Mongolia, ger.
Di depan gedung pemerintahan tersebut terdapat patung besar pendiri kekaisaran Mongolia, Genghis Khan. Patung yang terbuat dari perunggu itu menempakkan kaisar sedang duduk dengan gagah di atas tahta. Patung itu diapit oleh dua patung penerus Genghis Khan yang tengah menaiki kuda, yaitu Ugudei Khan dan Kublai Khan. Gedung parlemen dijaga oleh tentara, sehingga pengunjung biasa tidak dapat mendekati patung-patung itu.
"State Palace" sendiri berfungsi sebagai kantor resmi presiden Mongolia, perdana menteri dan parlemen (State Great Khural), sekaligus tempat menyambut tamu negara.
Saat ANTARA datang ke alun-alun tersebut, tampak kerangka panggung besar sedang dipersiapkan bersisian dengan pohon Natal raksasa. Alun-alun juga berfungsi sebagai perayaan nasional untuk hari kemerdekaan, hingga tempat demonstrasi politik rakyat Mongolia.
Alun-alun Sukhbaatar disebut pusat kota karena di sekelilingnya terdapat gedung-gedung penting pemerintahan maupun kesenian. Misalnya ada gedung teater dan balet nasional Mongolia yang bergaya Soviet klasik, dengan kubah besar merah muda di sisi selatan.
Di dekatnya juga ada Museum Nasional Sejarah Mongolia berisi koleksi artefak sejarah negara itu. Kemudian ada "Khangarid Palace", gedung yang tadinya menjadi kantor gubernur Ulan Batar (balai kota), tapi rencananya gedung tersebut akan berubah fungsi menjadi Mahkamah Agung Mongolia.
Di bagian atas "Khangarid Palace", ada lambang Kota Ulan Batar berwarna emas yang ternyata berupa burung Garuda. Hanya saja, lambang itu berbeda dengan burung Garuda lambang nasional Indonesia. Garuda lambang Kota Ulan Bator memberikan kesan makhluk mitologis.
Menurut kepercayaan populer Mongolia, Garuda atau dikenal juga sebagai Khangarid adalah roh gunung dari pegunungan Bogd Khan Uul yang menjadi pengikut kepercayaan Buddha. Ia dianggap sebagai penjaga pegunungan itu dan simbol keberanian dan kejujuran. Garuda pun dipilih sebagai lambang kota karena melambangkan dua sifat tersebut.
Di dahi Garuda terdapat simbol Soyombo yang juga ditemukan pada bendera nasional Mongolia. Burung Garuda tersebut juga digambarkan memegang kunci di tangan kanannya yang melambangkan kemakmuran dan keterbukaan dan bunga teratai di tangan kirinya, simbol kesetaraan dan kemurnian.
Garuda itu juga memegang ular di kakinya yang berarti bahwa segala sesuatu yang jahat dan buruk tidak akan dibiarkan. Kota Ulan Bator pun memiliki bendera sendiri berwarna biru langit dengan burung Garuda di tengahnya.
Selain menjadi lambang kota, Garuda juga menjadi gelar dalam pertandingan gulat yaitu gelar Garuda Negara ( ) yang disematkan kepada juara kedua dalam turnamen gulat selama Festival Nasional Mongolia Naadam.
Bilateral Indonesia-Mongolia
Memiliki kesamaan cerita soal Garuda memang tidak langsung menjadikan Indonesia dan Mongolia menjadi dekat.
Meski banyak masyarakat Indonesia sudah "mendengar" kata Mongolia sejak sekolah dasar (SD), khususnya dalam pelajaran sejarah, saat utusan cucu Genghis Khan, Kubilai Khan datang ke Pulau Jawa untuk menemui pendiri Raja Majapahit Raden Wijaya, tapi tidak banyak orang Indonesia di Mongolia dan sebaliknya orang Mongolia di Indonesia.
Pemahaman orang Mongolia mengenai Indonesia pun terbatas, setidaknya hal itu diakui oleh Direktur Jenderal Kantor Berita Nasional Mongolia Montsame Sodontogos Erdenetsogt.
"Orang Mongolia hanya mengetahui sedikit tentang Indonesia. Saya juga hanya tahu dua hal soal Indonesia. Pertama adalah batik dan kedua bahwa Mongolia pernah menutup sementara Kedubes Mongolia di Jakarta, lalu kemudian membukanya kembali belum lama ini," kata Direktur Jenderal Kantor Berita Nasional Mongolia Montsame Sodontogos Erdenetsogt, saat bertemu ANTARA di kantor Montsame, Ulan Batar, Mongolia pada Selasa (10/12).
Sodontogos yang sebelumnya berprofesi sebagai diplomat tersebut mengaku pernah bertugas sebagai penerjemah Presiden Megawati Soekarnoputri saat berkunjung ke Mongolia pada 2003 maupun sebagai tim pendamping saat kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Mongolia pada 2012.
"Itulah sebabnya tujuan kami adalah ingin membangun cara menjalin hubungan dengan media karena hanya dengan media kita dapat menyebarkan informasi dengan lebih cepat untuk mempromosikan budaya kita," ucap Sodontogos.
Sodontogos menyebut negaranya, saat ini termasuk negara yang dinamis, karena sekitar 70 persen populasi adalah generasi muda berusia di bawah 35 tahun. Di negara itupun, perempuan aktif dalam berpolitik. Anggota parlemen, saat ini ada 126 orang, dan sekitar 30 orang di antaranya adalah perempuan, termasuk perempuan-perempuan muda. Karena itu, banyak perempuan melek politik dan hadir di parlemen.
"Selain itu, perempuan juga bekerja sebagai dokter, guru, dan pekerjaan lainnya karena para penggembala di desa-desa ingin anak-anak perempuan mereka melanjutkan pendidikan ke universitas. Sayangnya, para penggembala itu sebagian besar adalah laki-laki, jadi tetap di perdesaan. Memang ini juga salah satu tantangan kami, yaitu ketidakseimbangan gender di perdesaan, tapi Mongolia memang masih setengah nomaden di perdesaan, hal ini memang sangat unik," ujar Sodontogos.
Bila datang ke Mongolia saat musim dingin, Sodontogos mengaku bahwa cuaca memang sangat dingin dan dapat mencapai -40 derajat. Namun, bila pergi ke Mongolia pada musim panas, khususnya ke daerah perdesaan, ia menyebut orang akan seolah-olah melihat bintang di langit sangat dekat, sehingga tergoda untuk menyentuhnya.
"Sangat indah, malam musim panas dihiasi jutaan bintang di padang terbuka Mongolia. Ini adalah sesuatu yang benar-benar unik, perlu dialami semua orang, setidaknya sekali seumur hidup," kata Sodontogos.
Kurangnya pengetahuan mengenai Indonesia dan Mongolia itu pun berimbas dengan kecilnya nilai perdagangan antarkedua negara.
Tercatat pada 2013, nilai perdagangan (ekspor dan impor) Indonesia-Mongolia mencapai angka 20,78 juta dolar AS. Setahun kemudian angka itu sempat naik menjadi 26,01 juta dolar AS.
Pada 2015, nilai perdagangan kedua negara anjlok hingga tinggal 5,93 juta dolar AS. Pada 2016 meningkat lagi menjadi 17,45 juta dolar AS, sebelum turun tipis menjadi 17,37 juta dolar AS pada 2017.
Pada 2018 nilai perdagangan pun hanya 9,5 juta dolar AS. Kemudian pada 2019 dapat meningkat menjadi 12,3 juta dolar AS, dan pada 2020 terjadi peningkatan signifikan, yaitu hingga 24,3 juta dolar AS.
Sayangnya, pada 2021, nilai perdagangan kembali merosot menjadi 17,5 juta dolar AS karena pandemi COVID-19 dan bahkan makin berkurang pada 2022 yaitu menjadi 14,8 juta dolar AS. Kemudian sedikit naik pada 2023, yaitu 16,7 juta dolar AS.
Komoditas ekspor Indonesia ke Mongolia, antara lain produk farmasi, sabun, mesin, maupun produk rumah tangga. Sementara komoditas ekspor Mongolia ke Indonesia adalah tembaga, kimia organik, hingga bahan plastik.
"Sebenarnya, saya tidak begitu senang dengan angka perdagangan Indonesia-Mongolia, mengingat jumlahnya masih rendah, padahal kita memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan sebelum kemerdekaan, hubungan antarmasyarakat kita terjalin selama ribuan tahun," kata Duta Besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia Djauhari Oratmangun, dalam "Indonesia-Mongolia Business Luncheon" di Ulan Bator, pada Selasa (10/12).
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing yang juga berwenang atas Mongolia, disebut Dubes Djauhari berencana mengadakan forum bisnis di Mongolia pada 2025, demi meningkatkan hubungan ekonomi, baik bidang investasi, perdagangan, hingga pariwisata.
Presiden Kamar Dagang dan Industri Nasional Mongolia Tur-Od Lkhagvajav dalam acara yang sama mengatakan produk utama Mongolia adalah hasil ternak, baik daging, susu, kulit, dan juga kashmir. Mongolia juga sangat ingin menggarap bisnis produk halal karena memiliki banyak produksi daging.
"Kami sudah mengundang para ahli dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand untuk memberikan presentasi tentang produk halal. Kami tahun ini juga mulai mengekspor produk halal ke negara-negara Teluk, misalnya daging halal, tapi saya pikir ada perbedaan sertifikasi dan standar halal di negara Teluk dan Asia, hal ini baik juga untuk dipromosikan kepada para pengusaha di Indonesia," ujar Tur-Od.
Apalagi Mongolia punya satu suku minoritas beragama Islam, yaitu Suku Kazak. Tur-Od berharap agar pemerintah Indonesia bisa menyediakan bantuan teknis untuk mempromosikan dan memperkenalkan konsep halal itu sendiri.
"Kami juga sedang ingin membangkitkan kembali koperasi. Kami memiliki kementerian koperasi dan usaha kecil dan menengah karena organisasi kami ingin bekerja dengan sistem koperasi mengingat mayoritas anggota kami adalah usaha kecil dan menengah, termasuk para pengusaha muda dengan perusahaan-perusahaan rintisannya," kata Tur-Od.
Indonesia, menurut Tur-Od, merupakan pasar yang sedang berkembang, sekaligus kekuatan regional di Asia Pasifik, seperti juga China dan India.
"Negara-negara berkembang, seperti Mongolia, selalu berada di sisi yang tidak seimbang untuk perdagangan, khususnya dengan negara-negara yang jauh lebih maju, termasuk Rusia dan China, tapi kami berupaya untuk menyeimbangkannya, terutama karena pada masa Uni Soviet, hampir 90 persen barang berasal dari sana," kata Tur-Od.
Tidak hanya dengan pebisnis dan kalangan media, keinginan Indonesia untuk mempererat hubungan bilateral dengan Mongolia juga disampaikan langsung Dubes Djauhari, saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Mongolia Battsetseg Batmunkh di Kementerian Luar Negeri Mongolia pada Senin (9/11).
"Kami berbicara mengenai bagaimana memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Mongolia yang punya sejarah panjang juga. Area kerja sama yang kita bahas di bidang ekonomi, khususnya perdagangan. Saya menyampaikan ada investor dari Indonesia berminat dengan proyek-proyek yang ditawarkan dari Mongolia karena saya tahu persis ada beberapa investor Indonesia yang bergerak di sini," ucap Djauhari.
Selain itu dibahas juga upaya untuk meningkatkan volume perdagangan antarkedua negara karena produk-produk Indonesia sudah mulai masuk ke pasar Mongolia.
Produk-produk Indonesia yang ditemukan ANTARA di supermarket Ulan Batar, antara lain teh, mi instan, camilan kentang, hingga suplemen vitamin.
Sektor lain yang juga dibahas adalah kerja sama di bidang sosial budaya, termasuk di bidang pariwisata.
Sementara Menlu Battsetseg Batmunkh, dalam pertemuan itu mengungkapkan keinginan pemimpin negaranya untuk dapat melakukan kunjungan resmi ke Indonesia.
"Ibu menteri juga menyampaikan bahwa mereka merencanakan untuk high level visit ke Indonesia, apakah itu presiden atau perdana menteri Mongolia yang juga baru terbentuk pada tahun 2024 ini karena merupakan second term kepemimpinan untuk presidennya," ujar Djauhari.
Mongolia diketahui baru kembali membuka Kedutaan Besar di Indonesia setelah Duta Besar (Dubes) Mongolia untuk Indonesia Enkhtaivan Dashnyam menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Prabowo Subianto pada 4 November 2024. Hal tersebut dilakukan, setelah Kedubes Mongolia di Jakarta tutup sementara karena pandemi COVID-19, sehingga hanya ada kantor Konsulat Kehormatan Mongolia di Surabaya, Jawa Timur.
Hubungan diplomatik Mongolia dan Indonesia sendiri sudah terjalin cukup lama, yaitu sejak 1956. Tercatat Presiden Soekarno pernah berkunjung ke Ulan Bator pada 1956, kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003 dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012.
Genghis Khan berkuda
Mongolia, negara dengan luas wilayah 1.564.116 km persegi atau lebih besar dari gabungan Prancis dan Jerman memang "hanya" berpenduduk 3,49 juta jiwa (2004), sehingga kepadatannya adalah sekitar 2 orang per kilometer persegi.
Sebagian besar wilayahnya berupa dataran tinggi, stepa, dan gurun (termasuk Gurun Gobi), sehingga daerah perdesaan menjadi tempat yang dapat membangkitkan untuk dijelajahi.
Salah satu lokasi wisata yang "agak mudah" didatangi adalah "Patung raksasa Genghis Khan Berkuda" atau "Genghis Khan Equestrian Statue".
Patung itu terletak di lereng bukit di tepi Sungai Tuul, di daerah bernama Tsonjin Boldog, sekitar 54 km dari Ulan Bator.
Lokasi itu dipilih berdasarkan legenda bahwa Genghis Khan menemukan cambuk di daerah itu. Di Mongolia, orang-orang percaya bahwa orang yang menemukan cambuk adalah pertanda keberuntungan.
Patung berwarna emas itu memperlihatkan Genghis Khan dengan gagah menunggangi kuda menghadap ke timur, ke arah tempat kelahiran Genghis Khan dan Matahari terbit. Ia juga menggenggam cambuk emas berkepala elang di tangan kanannya.
Cambuk itu juga menjadi simbol kerja keras Genghis khan yang tadinya hanya seorang rakyat kelas bawah menjadi penguasa kekaisaran dari Korea di timur hingga Hungaria di barat, Siberia di utara hingga Teluk Persia di selatan, dengan total wilayah 24 juta kilometer persegi.
Total tinggi patung adalah 40 meter dengan rincian patung kuda dan Genghis Khan memiliki tinggi 30 meter, sedangkan alasnya setinggi 10 meter berbentuk seperti ger atau tenda bundar portabel bangsa Mongol. "Alas" tersebut juga memiliki 36 pilar yang mewakili 36 khan kekaisaran Mongol.
Bangunan fondasi, yang dirancang pematung D. Erdenebileg dan arsitek J. Enkhjargal, tampak seperti arsitektur bergaya Gotik Eropa, berisi museum kecil zaman perunggu, hingga sejarah kekaisaran Mongolia, potret garis keturunan Khan, stan kostum tradisional Mongolia, beberapa toko oleh-oleh, restoran, dan kedai kopi, hingga sepatu bot tradisional setinggi 5 meter.
Dengan membayar 20.000 tugrik, pengunjung dapat masuk ke patung dan naik ke dek observasi yang berada di kepala kuda, sehingga bisa "bertatapan langsung" dengan Genghis Khan sekaligus menikmati pemandangan panorama area sekitar, seperti Lembah Sungai Tuul dan Pegunungan Khan Khentii, tempat kelahiran sang khan.
Di sekitar patung, ada kompleks rekreasi seluas 212 hektare dengan beberapa ger, penginapan dan restoran.
Tiga hari jelas bukan waktu yang cukup untuk menjelajahi Mongolia, tapi waktu ke depan masih cukup panjang untuk bisa menikmati kekayaan alam tanah sang Genghis Khan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024