Bagi anak-anak muda Indonesia, Korea Selatan adalah impian. Dampak penetrasi budaya, lewat film-film yang menghipnotis, kaum remaja kita, bahkan mungkin yang sudah menjadi bapak, ayah, papa, ibu, bunda, atau mama, juga masih melambungkan mimpi tentang Negeri Ginseng itu.

Meminjam frasa dan kalimat penyair asal Madura KH D. Zawawi Imron dalam puisinya "Indonesia tanah sajadah", saya pernah bersujud di Bumi Korea Selatan. Meskipun hanya 3 bulan, saya pernah menyusu air pada ibu Bumi Negeri K-Pop, salah satunya ada lagu yang populer di negara kita, "Gam Nam Style".

Cerita menyusu air ini, sedikitpun tidak ada niat untuk mengurangi hormat dan cinta pada Bumi Pertiwi Indonesia. Ini hanya cerita "pamer" kepada para pegandrung Korea Selatan.

Bagi anak-anak muda, hampir pasti, magnet yang menarik jiwa mereka tentang Korea Selatan adalah mengenai gaya hidup, termasuk kecantikan gadis dan ketampanan perjaka negeri itu.

Sebetulnya, di balik segala gemerlap menyilaukan bagi kaum muda kita tentang Korea Selatan, kita bisa belajar banyak mengenai kemajuan yang diraih oleh negeri itu. Kemajuan dan kemilau Korea saat ini tidaklah instan. Korea saat ini adalah hasil dari perjuangan panjang dan cucuran keringat, bahkan berdarah-darah. 

Saya pernah menjadi saksi bagaimana orang Korea Selatan itu sangat menghargai waktu. Saya pernah berjanji bertemu dengan mahasiswa Jurusan Bahasa Melayu-Indonesia di kelas mereka. Saya telat sekitar 3 menit karena waktu terbuang untuk mencari ruangan kelas itu.

Terlambat 3 menit itu juga dipersoalkan oleh para mahasiswa asal Korea Selatan yang sedang belajar Bahasa Indonesia itu. Mereka bisa menerima, ketika saya jelaskan alasan mengapa saya terlambat.

Bayangkan, perbedaan budaya ini dengan budaya kita yang terbiasa dengan undangan pukul 7, namun para tamu hadir pukul 8 dan acara baru dimulai pukul 9 atau 10.

Politikus senior Indonesia, Bambang Wuryanto yang akrab disapa Bambang Pacul, memopulerkan sisi lain yang mestinya kita contoh dari Korea Selatan ini.

Pria asal Solo, Jawa Tengah, dalam sejumlah tayangan podcast sering mengidentikkan dirinya sebagai Korea yang biasanya diikuti dengan diksi "melenting".

Seperti dikutip dalam buku "Mentalitas Korea Jalan Ksatria" yang ditulis oleh Puthut EA, Korea adalah sebutan bagi orang-orang dengan daya juang luar biasa yang berusaha keluar dari belenggu kemiskinan.

Di buku itu dijelaskan bahwa konon istilah tersebut terkait dengan orang-orang Korea yang menjadi pasukan Jepang. Dalam pemaknaan Komandan Pacul, prajurit Korea Selatan itu merupakan simbol dari mentalitas yang tangguh.

Disebutkan bahwa pasukan Korea Selatan memang tidak segagah dan semeyakinkan tentara elite Jepang. Perawakan tentara Korea biasa saja, militansi mereka tidak boleh diragukan. Militansi inilah yang diadopsi menjadi mentalitas korea-korea, yang sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.

Ketika melentingkan diksi Korea, Komandan Pacul justru mengajak kaum muda kita memiliki strategi jitu dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Bahkan, komandan Pacul memberi contoh nyata bagaimana mentalitas Korea itu telah dilakukan oleh mahasiswa perantauan di Yogyakarta, tentu di masanya dia kuliah. Mahasiswa yang uangnya pas-pasan tidak akan pernah kelaparan.

Setidaknya, sepekan sekali, mereka bisa makan gratis, dengan mendatangi acara-acara pernikahan di gedung-gedung kampus. Strategi agar tidak dicurigai oleh "sohibul hajat", mahasiswa itu datang dengan mengenakan pakaian batik.

Tentu, komandan Pacul tidak sedang mengajak kita untuk melakukan strategi keluar kelaparan ala mahasiswa zaman dulu itu. Dia hanya ingin menggambarkan bagaimana kita bisa keluar dari keadaan finansial yang pas-pasan, ketika hal itu bersentuhan dengan kebutuhan perut.

Kalau ingin tahu lebih detail bagaimana komandan yang gaya bicaranya ceplas-ceplos ini bicara tentang Korea dan melenting, kita bisa membuka kanal media sosial berbasis video.

Jika dirunut ke masa lalu, sebetulnya bangsa kita juga memiliki mentalitas yang tidak kalah dengan Korea Selatan. Secara genetik, bangsa ini memiliki DNA bangsa besar, dari Majapahit, Sriwijaya, dan lainnya.

Memandang itu, Indonesianis asal Korea Selatan yang juga guru besar di "Hankuk University of Foreign Studies" (HYFS) Prof Koh Young Hun pernah berbincang dengan saya, menggugah kesadaran mental kolektif bangsa ini dengan menyebut Bangsa Indonesia adalah Garuda, bukan burung emprit.

Melenting lah Garuda! Kamu bukan emprit.

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : A Malik Ibrahim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024