Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengangkat kolaborasi Indonesia menanggulangi banjir lahar hujan dan tanah longsor di Sumatra Barat (Sumbar) sebagai topik diskusi praktik Center of Excellence (CoE) di World Water Forum 2024 Bali.
"Contoh banjir lahar hujan di Sumatera Barat. Itu fenomena vulkanik gunung api," kata Dwikorita Karnawati dalam diskusi panel bertajuk "Establishing Cooperation For Center of Excellence For Water And Climate Resilience" di Nusa Dua, Bali, Rabu.
Dwikorita mengatakan penguatan mitigasi bencana di tingkat regional tidak cukup, tanpa adanya kolaborasi lintas instansi/lembaga berwenang dalam merespons bencana yang terjadi.
Mitigasi dan penanggulangan bencana banjir lahar hujan yang menerjang sejumlah kabupaten di Sumbar pada Sabtu (11/5), melibatkan peran BMKG, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan unsur terkait di level daerah.
Baca juga: Bentoel Group pamerkan inisiatif "Save the Drop" pada WWF Ke-10
"Kami deteksi ada endapan gunung api yang masih teronggok dalam volume totalnya 1,3 juta meter kubik. Yang sudah turun 300 meter kubik, berarti ada sisa 1 juta meter kubik, tiga kali dari yang sudah turun," katanya.
Tapi menurut Kementerian PUPR, kata Dwikorita, sisa endapan itu tidak akan semuanya turun, meski masih ada ratusan meter kubik yang berpotensi longsor saat hujan.
"Kami monitor hujan sedang 21 mm dalam waktu beberapa jam itu sudah jadi banjir lahar. Itu perlu Badan Geologi, perlu BMKG, kemudian pengendalian banjir lahar itu diperlukan cek dam," katanya.
Dijelaskan Dwikorita, analisa BMKG per tanggal 6 Mei 2024 telah mendeteksi pola sirkulasi siklonik di sebelah barat Aceh yang berpotensi memicu pertumbuhan awan hujan secara intensif.
Meski telah disampaikan pesan peringatan dini atas kejadian itu, kata Dwikorita, namun masih dilaporkan adanya korban jiwa.
"Kemarin kenapa ada korban meski ada peringatan dini? Karena tekanan terlalu kuat untuk dikendalikan. Jadi kapasitas pemda terlampaui akibat masifnya ini," kata Dwikorita.
Dwikorita menambahkan konteks mitigasi bencana memerlukan kolaborasi lintas lembaga, sistem peringatan dini tidak akan berarti bila respons yang diberikan tidak sebanding dengan bencana yang melanda.
"BMKG memberi peringatan dini, tapi ini tidak berarti, kalau responsnya tidak kuat. Itu berarti ada di pemda dan ternyata pemda sudah berbuat, tapi kapasitas mereka tidak seimbang dengan bencana yang ada," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
"Contoh banjir lahar hujan di Sumatera Barat. Itu fenomena vulkanik gunung api," kata Dwikorita Karnawati dalam diskusi panel bertajuk "Establishing Cooperation For Center of Excellence For Water And Climate Resilience" di Nusa Dua, Bali, Rabu.
Dwikorita mengatakan penguatan mitigasi bencana di tingkat regional tidak cukup, tanpa adanya kolaborasi lintas instansi/lembaga berwenang dalam merespons bencana yang terjadi.
Mitigasi dan penanggulangan bencana banjir lahar hujan yang menerjang sejumlah kabupaten di Sumbar pada Sabtu (11/5), melibatkan peran BMKG, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan unsur terkait di level daerah.
Baca juga: Bentoel Group pamerkan inisiatif "Save the Drop" pada WWF Ke-10
"Kami deteksi ada endapan gunung api yang masih teronggok dalam volume totalnya 1,3 juta meter kubik. Yang sudah turun 300 meter kubik, berarti ada sisa 1 juta meter kubik, tiga kali dari yang sudah turun," katanya.
Tapi menurut Kementerian PUPR, kata Dwikorita, sisa endapan itu tidak akan semuanya turun, meski masih ada ratusan meter kubik yang berpotensi longsor saat hujan.
"Kami monitor hujan sedang 21 mm dalam waktu beberapa jam itu sudah jadi banjir lahar. Itu perlu Badan Geologi, perlu BMKG, kemudian pengendalian banjir lahar itu diperlukan cek dam," katanya.
Dijelaskan Dwikorita, analisa BMKG per tanggal 6 Mei 2024 telah mendeteksi pola sirkulasi siklonik di sebelah barat Aceh yang berpotensi memicu pertumbuhan awan hujan secara intensif.
Meski telah disampaikan pesan peringatan dini atas kejadian itu, kata Dwikorita, namun masih dilaporkan adanya korban jiwa.
"Kemarin kenapa ada korban meski ada peringatan dini? Karena tekanan terlalu kuat untuk dikendalikan. Jadi kapasitas pemda terlampaui akibat masifnya ini," kata Dwikorita.
Dwikorita menambahkan konteks mitigasi bencana memerlukan kolaborasi lintas lembaga, sistem peringatan dini tidak akan berarti bila respons yang diberikan tidak sebanding dengan bencana yang melanda.
"BMKG memberi peringatan dini, tapi ini tidak berarti, kalau responsnya tidak kuat. Itu berarti ada di pemda dan ternyata pemda sudah berbuat, tapi kapasitas mereka tidak seimbang dengan bencana yang ada," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024