Surabaya - Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Dede Rachim mengatakan dunia memberi apresiasi pemberantasan korupsi di Indonesia, karena itu indeks persepsi korupsi (IPK) meningkat 0,2 di saat indeks negara lain justru turun. "Dunia memberi apresiasi apa yang kita lakukan, terbukti IPK kita naik 0,2 persen. Itu merupakan penghargaan atas ihtiar kita, sebab IPK negara lain justru turun, bahkan IPK Malaysia turun hingga 5 lebih dan Amerika turun 4,4," katanya dalam seminar nasional di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), Kamis. Dalam seminar nasional bertajuk 'Menuju Indonesia Baru Tanpa Korupsi' yang digelar BEM UWKS itu, ia menjelaskan apresiasi dunia itu dipertegas oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam sambutan Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember lalu menyampaikan ucapan selamat kepada bangsa Indonesia. "Artinya, di tengah kritik di dalam negeri, ternyata keseriusan kita yang mungkin masih kecil itu sudah didengar dunia. Sekjen PBB sendiri mengucapkan selamat kepada bangsa Indonesia yang secara heroik telah bersungguh-sungguh memberantas korupsi," katanya. Menurut dia, apresiasi dunia melalui IPK dan PBB itu menunjukkan ihtiar bangsa Indonesia dalam pemberantasan korupsi sudah "right on the track" (berjalan sesuai trayek yang benar), karena itu generasi muda harus bersikap dengan nilai-nilai yang benar dalam keseharian. "Boleh saja kalian berdemonstrasi atau membakar diri seperti Sondang, tapi saya tidak bermaksud melarang kalian bertindak seperti itu, masalahnya akan lebih bila generasi muda menampilkan perilaku keseharian yang benar, misalnya jangan malas, jangan serba instan, jangan melawan arus, jangan ambil jalan pintas," katanya. Bahkan, katanya, generasi muda juga harus berani bersaing dan menegur nilai-nilai yang tidak benar. "Diakui atau tidak, generasi muda sekarang juga sudah terseret perilaku korupsi, terbukti adanya Gayus yang masih muda, atau temuan PPATK tentang rekening gendut PNS muda," katanya. Ia menyebut nilai-nilai yang tidak benar dan harus dikritisi generasi muda antara lain mekanisme gaji PNS yang rawan korupsi, karena pemerintah tidak menggaji PNS dalam jumlah besar, tapi memberi peluang tidak benar melalui SPJ, pengadaan barang dan jasa, tanda tangan absensi rapat, dan sejenisnya. "Bisa saja pemerintah beralasan tidak mampu memberi pensiun dalam jumlah besar karena gaji yang besar itu, tapi pemerintah 'kan bisa menerapkan pensiun yang diberikan sekaligus sekian puluh juta atau sekian ratus juta, sehingga pemerintah tidak akan terbebani setiap tahun," katanya. Nilai-nilai lain yang tidak benar dan harus dikritisi generasi muda adalah cara berdemokrasi yang ditentukan uang. "KPK sudah menetapkan dua bupati di Papua dan seorang wali kota di Tomohon sebagai tersangka, tapi rakyat tetap memilih. Itu cara berdemokrasi yang tidak benar, karena uang yang menentukan," katanya. Hasilnya, calon bupati atau wali kota yang membutuhkan modal sebesar Rp10 miliar yang saat menjabat hanya menerima gaji Rp15 juta, maka dia akan mencari pengembalian modal dengan cara-cara lain atau "bermain" dengan pengusaha yang menjadi "sponsor" dirinya dalam pencalonan melalui "nepotisme" dalam proyek. "Kalau begitu, rakyat akan jelas-jelas dirugikan, karena pembangunan untuk rakyat itu tidak ada, karena semuanya diproyekkan dan dikorupsi, seperti di Papua yang menerima dana otsus sebesar Rp22 triliun, kemana semua uang itu," katanya dalam seminar yang juga menampilkan Ketua KY Eman Suparman itu. Sementara itu, Wakil Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menegaskan bahwa generasi muda perlu tampil dalam dunia politik, karena perbaikan Indonesia bisa dilakukan lewat dunia politik. "Kalau generasi muda dikatakan sebagai kekuatan moral, saya kira hal itu istilah yang menyesatkan untuk memotong keterlibatan generasi muda dalam politik, karena itu mari kita terjun ke politik untuk memperbaiki Indonesia," kata mantan aktivis Forkot dan Famred itu. (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011