Oleh Fiqih Arfani
Surabaya - Maraknya aksi pencurian atau penyedotan pulsa membuat masyarakat geram. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali hanya mengeluh dan mengelus dada.
"Saya nggak pernah langganan layanan macam-macam, bahkan 'RBT' juga nggak doyan. Tahu-tahu tiap hari pulsa saya kesedot 2.000 perak, saya berupaya cari kenapa, terus 'unreg' layanan sedot pulsa tersebut, eh nggak bisa. Ya cepat habis pulsa saya, terus saya biarkan beberapa hari nggak diisi, begitu isi pulsa lagi tetap kesedot," ungkap Ny Sinto, pemilik HP yang kesal dengan ulah "tuyul" pulsa tersebut.
Ulah nakal layanan premium penyedia layanan atau "content provider" yang tentunya "berkerja sama" dengan operator telekomunikasi tersebut, juga dikeluhakan suami Ny Sinto, ia mempunyai pengalaman, "ujug-ujug" telepon selulernya berlangganan "RBT" beberapa lagu, padahal ia merasa tidak pernah minta.
"Karena kesal, saya telepon operator dimaksud --dengan nada tinggi/marah--, terus saya bilang hapus nggak usah ada 'RBT-RBT'-an, wong saya nggak pernah minta berlangganan! Setelah komplain seperti itu, baru 'RBT' hilang," ucapnya, mengungkapkan.
Semakin hari semakin lama yang mengeluhkannya. Hingga akhirnya ada sebuah komunitas yang bersedia menjadi perwakilan warga melapor ke pihak berwajib, yakni Komunitas masyarakat sadar teknologi informasi Indonesia (Kamasati).
"Kami perlu mendirikan komunitas ini sebagai bentuk bantuan terhadap warga yang merasa dirugikan akibat tersedotnya pulsa mereka," ujar Koordinator Kamasati, Teguh Ardi Srianto.
Tercatat sejak 9 Oktober 2011, Kamasati mendirikan dan membuka posko. Pemerintah juga dinilai lamban dalam menyelesaikan kasus tersebut, termasuk menindak tegas jasa penyedia layanan atau "content provider".
Menurut dia, aksi sedot pulsa atau pencurian pulsa ini seperti merampok dan harus mendapat ganjaran di mata hukum.
"Bayangkan saja, jika per orang pulsanya tersedot Rp2.000 setiap harinya, maka selama satu bulan mencapai Rp60 ribu. Apalagi penyedotan pulsa tidak sesuai keinginan konsumen. Lantas apa namanya kalau bukan merampok," paparnya, menegaskan.
Dikatakannya, berdasarkan survei AC Nelson di awal tahun 2011, pengguna seluler mencapai 180 juta nomor di Indonesia. Maka sudah dipastikan yang meraup untung adalah operator dan "content provider". Sedangkan masyarakat adalah pihak yang paling di rugikan.
Modus seperti ini, kata Teguh, sudah ada sejak 2009 lalu, namun tidak tampak seperti sekarang. Ia meminta agar kondisi ini tidak dibiarkan berlarut-larut.
"Pemerintah harus mengambil langkah tegas dan konkrit. Kami sangat berharap pemerintah bisa memperingatkan dan merubah kondisi ini, demi kenyamanan masyarakat," tukas dia.
Menurut pria berkacamata tersebut, mayoritas korban pencurian pulsa tidak dapat berbuat banyak. Apalagi melakukan protes hingga upaya perlawanan terhadap sebuah jasa penyedia layanan.
Teguh juga mengungkapkan, aksi ini bisa dikatakan sebagai sebuah kriminalitas tersistem dan merugikan para pengguna seluler.
Karena itu pihaknya mendesak para penyedia layanan jasa dan operator seluler bersikap transparan dalam memberikan layanan teknologi komunikasi.
Kini Pemerintah --Kemenkominfo-- telah meminta operator untuk memutus layanan sedot pulsa tersebut sejak Selasa (18/10), sehingga kini pemilik telepon seluler hanya menerima penawaran --iklan-- berbagai jasa layanan dari operator semata.
Lapor Polda Jatim
Setelah seminggu membuka posko, atau pada 17 Oktober 2011, tercatat 55 orang lebih yang melaporkan kerugian yang dirasakan para konsumen.
Bersama tim kuasa hukum yang dipimpin M. Sholeh, Kamasati melaporkannya ke Polda Jatim.
"Kami mendukung polisi untuk menangani kasus ini. Maka wajib kiranya konsumen yang dirugikan melaporkannya. Semoga polisi segera menangani kasus ini," ujar kuasa hukum Kamasati, M. Sholeh.
Tidak hanya itu saja, usai melaporkannya ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), mereka melakukan aksi pembakaran kartu perdana sebagai bentuk ungkapan kekecewaan.
Dikatakan Sholeh, laporan ke polisi nantinya akan menjadi bahan bagi petugas untuk melanjutkan proses penanganannya.
"Polda akan melanjutkannya ke Mabes Polri, karena akan ditangani oleh satuan 'cyber crime'. Semoga semuanya segera terungkap," tutur pengacara yang juga mantan aktivis '98 tersebut.
Dijelaskannya, dalam kasus ini terdapat beberapa peraturan yang dilanggar, yakni Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Telekomunikasi, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Bahkan juga melanggar aturan tindak pidana. Pasal yang dilanggar yaitu Pasal 362 dan 363 KUHP tentang pencurian, maupun Pasal 310 tentang perbuatan tidak menyenangkan," jelas dia.
Dalam laporannya, ia mengaku tidak mendapatkan nomor laporan polisi. Alasannya, lanjut dia, laporan pengaduan yang disampaikannya dinilai sebagai laporan informasi.
"Kata penyidiknya, sebelumnya sudah ada laporan dan laporan kami ini ditambahkan untuk bahan penyelidikan. Polda Jatim akan bekerja sama dengan Mabes Polri," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala SPKT Polda Jatim AKBP Anom Wibowo mengatakan, laporan yang disampaikan dari Kamasati sudah diterima. Namun, ada beberapa dokumen yang perlu dilampirkan untuk menguatkan laporannya.
"Laporan tadi belum didukung bukti awal. Untuk itu harus dilengkapi dulu dengan 'print out' yang menunjukkan adannya pengurangan pulsa," tandas mantan Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya tersebut.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011