Pengamat politik sekaligus Peneliti Senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mengatakan harus ada yang mengingatkan Presiden Jokowi agar bisa kembali istiqomah dalam menjaga nalar kekuasaan pro-publik.

"Jokowi seperti terlalu larut menikmati permainan kekuasaan elit sehingga tidak sadar terseret di pusaran kekuasaan elitis pragmatis," kata Surokim melalui keterangannya di Surabaya, Rabu.

Sementara, lanjut dia, kekuasaan yang harusnya berada di hati publik pelan-pelan coba diingkari. Menurutnya, kekuasaan itu ada di hati masyarakat bawah dan itu bisa menjadi modal dalam menjaga marwah dan kehormatannya.

Ia mengatakan, kekuasaan itu memang laksana candu sehingga para penguasa cenderung untuk mempertahankannya dengan berbagai cara. Namun, lanjut dia, bagi para negarawan kekuasaan itu hanyalah medium pengabdian yang terbatas ruang dan waktu.

"Jadi sebenarnya tidak ada yang harus dipertahankan dengan mati matian, dengan cara-cara yang melawan kepatutan dan kepantasan publik," kata Wakil Rektor III Universitas Trunojoyo Madura ini.

Surokim mengatakan, kekuasaan dalam keyakinan para pengabdi sejatinya lebih banyak dianggap sebagai medium latihan, cobaan dan hakikatnya uji konsistensi para pejabat terhadap virtue public (kebajikan public). 

"Manakala dalam menjalankan kekuasaan itu masih menggunakan logika dan istiqomah memperjuangkan virtue public maka kuasa itu biasanya amanah dan maslahah. Demikian juga sebaliknya. Kami semua berharap Pak Jokowi bisa istiqomah berada kembali dalam mata dan hati rakyatnya," ujarnya. 
 
Menurutnya, pada akhir sesi periode pemerintahannya Presiden Jokowi mulai menjauhi virtue public sehingga kian sulit menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan pragmatis yang dulu pernah dia lawan. Hal itulah yang membuat Presiden Jokowi gamang memahami essensi virtue publik. 

Dia menambahkan, harus ada yang mengingatkan Presiden Jokowi agar bisa kembali istiqomah dalam menjaga nalar kekuasaan pro-publik. Kembali lagi pada logika kekuasaan bersama wong cilik, bersama nalar publik dan tidak berada dalam zona nyaman memandang kekuasaan sebagai instrumen pribadi dan keluarga.

"Pak Jokowi sebagai anak kandung reformasi harus kembali ke essensi perjuangan reformasi dan jangan ikut arus pada perjuangan nilai yang bertentangan dengan semangat reformasi," ucapnya.

Politikus PDIP Aria Bima sebelumnya menyinggung soal adanya "toxic relationship" di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Dia menyebut, adanya hubungan toxic tersebut membuat persepsi publik buruk terhadap Presiden Jokowi.

"Toxic relationship, keterpengaruhan orang di sekitar Pak Jokowi yang mana ada kecendrungan toxic relationship ini juga mulai masuk orang orde baru misalnya ada Pak Prabowo Subianto yang menginginkan Mas Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi wakilnya," kata Aria Bima.(*)


 

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : A Malik Ibrahim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023