Istilah polusi budaya atau polusi di wilayah budaya disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo saat menyampaikan pidato pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam HUT Ke-78 Proklamasi Kemerdekaan RI pada 16 Agustus 2023.

Istilah ini merujuk pada kenyataan sebagian isi dari media sosial yang terjadi akhir-akhir ini yang mana nilai santun dan budi pekerti luhur tampak mulai hilang, bahkan cenderung tidak diindahkan.

Media sosial yang sejatinya merupakan sarana komunikasi, ajang bersilaturahmi bagi mereka yang terbatas oleh ruang dan waktu, justru banyak terisi hal-hal negatif, seperti kemarahan, ejekan, makian, dan fitnah terhadap sesama, termasuk kepada Presiden.

"Saya tahu, ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Ya, ndak apa-apa. Sebagai pribadi, saya menerima saja. Tapi, yang membuat saya sedih, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini tampak mulai hilang. Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini, sekali lagi, polusi di wilayah budaya ini, sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia, demikian petikan pidato Presiden kala itu.

Memang, tidak semua pengguna media melakukan seperti itu. Tidak sedikit pula di antara pengguna media sosial yang memanfaatkannya dengan hal-hal positif, seperti pendidikan, memublikasikan berbagai kegiatan yang menginspirasi, termasuk menjadikan media sosial sebagai sarana dalam menebarkan kebaikan dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Kajian keagamaan, seminar, dan kursus secara daring merupakan sebagian di antara yang digunakan para pengguna media sosial secara tepat guna.

Karena itu, cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani setiap insan, nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik, bersatu menjaga mentalitas masyarakat, sehingga bisa tetap melangkah maju, menjalankan transformasi bangsa menuju Indonesia Maju, menuju Indonesia Emas 2045.

Baca juga: Pemkot Madiun fasilitasi masyarakatnya ilmu tentang literasi digital

Komunitas informasi masyarakat

Salah satu upaya yang kini sedang dilakukan Pemerintah untuk membersihkan ruang publik dari polusi budaya komunikasi yang tidak sehat adalah mengaktifkan kegiatan komunitas informasi masyarakat (KIM).

KIM adalah komunitas yang dibentuk oleh masyarakat, dari masyarakat, dan untuk masyarakat serta secara mandiri dan kreatif melakukan aktivitas pengelolaan informasi dan pemberdayaan guna memberikan nilai tambah bagi masyarakat itu sendiri.

Konsep ini merupakan pengembangan paradigma pola komunikasi yang melibatkan peran aktif masyarakat (communication with people), dan bukan sekadar communication to people.

Dasar hukumnya adalah Permenkominfo Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Konkuren Bidang Komunikasi dan Informatika. Salah satu poin dalam ketentuan ini bahwa dinas melaksanakan kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan salah satunya adalah komunitas informasi masyarakat.

Tujuannya adalah mewujudkan masyarakat yang aktif, peduli, peka, dan memahami informasi, memberdayakan masyarakat melalui diskusi antaranggota sehingga dapat memilah informasi yang dibutuhkan bagi kepentingan pribadi, kelompok, masyarakat dan bangsa sehingga mampu mewujudkan jaringan informasi serta media komunikasi dua arah antarkelompok/masyarakat maupun dengan pihak lainnya (Pemerintah) yang pada akhirnya tercipta kerja sama saling menguntungkan.

Di samping itu, KIM juga bisa menjadi wahana informasi antaranggota sebagai mitra dialog dengan Pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik, di samping sebagai sarana peningkatan literasi anggota KIM dan masyarakat di bidang informasi dan media masa.

Aktivitas komunitas ini adalah berpijak pada akses informasi, diskusi, lalu implementasi, networking atau memanfaatkan jaringan antarkomunitas yang ada, diseminasi, dan aspirasi atau yang biasa disingkat (akronim) menjadi Adinda.

Akses informasi yang dimaksud adalah melakukan aktivitas untuk mengakses informasi dari berbagai sumber, baik sumber langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya, mendiskusikan informasi yang diperoleh untuk mendapatkan informasi yang benar-benar valid, dapat dipertanggungjawabkan, dan menjadi problem solver bagi masyarakat.

Hubungan antarsesama komunitas akan memperkuat bingkai informasi yang dibutuhkan dalam berupaya menyampaikan informasi yang mendidik, penting dan dibutuhkan publik, sehingga sebaran informasi menjadi lebih luas.

Pada diseminasi ditekankan tentang pentingnya melakukan penyaringan sesuai dengan fakta yang terjadi, dan terpenting pula adalah bagaimana informasi yang disajikan kepada publik melalui media yang dikelola KIM tersebut berdampak positif dan mencerahkan pengakses informasi.

Sementara, pada aspek aspirasi yang menjadi unsur terakhir dari aktivitas KIM ini menekankan pada kegiatan menyerap informasi dari masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah (bottom up).


Efektif mengedukasi

Direktur Tata Kelola Kemitraan Komunikasi Publik, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Hasyim Gautama menjelaskan KIM  merupakan bentuk baru dari Kelompok Pendengar Pembaca Pirsawan (Klompencapir) pada era Orde Baru.

Pada era Reformasi ini, namanya diubah menjadi komunitas informasi masyarakat (KIM) dengan fungsi dan peran yang sama, yakni menyebarkan informasi yang menjadi kebutuhan masyarakat melalui sejumlah media. Menyerap informasi yang berkembang di masyarakat agar diketahui oleh Pemerintah.

Bedanya, pada Era Orde Baru kelompok pegiat informasi ini lebih banyak menggunakan media tatap muka, luar ruang, dan pertunjukan rakyat, sedangkan pada era Reformasi ini dengan memanfaatkan media sosial.

KIM berfungsi efektif apabila bisa diaktifkan di berbagai daerah di Indonesia. Penyebaran informasi dari Pemerintah kepada masyarakat akan berfungsi secara optimal karena komunitas informasi ini berbasis di desa dan kelurahan.

Menurut data Kemenkominfo saat ini, KIM yang terbentuk di Indonesia baru 142 dari total 514 kabupaten/kota se-Indonesia yang tersebar di 908 desa/kelurahan. Ini berarti sebanyak 82.561 desa/kelurahan di Indonesia belum membentuk KIM, mengingat total jumlah desa dan kelurahan se-Indonesia sebanyak 83.467 desa/kelurahan.

Optimalisasi peran dan fungsi KIM tentu akan menjadi kekuatan tersendiri dalam menyebarkan informasi yang mendidik dan mencerahkan kepada masyarakat. Keberadaan KIM tentunya akan menjadi daya tangkal di ruang publik dalam penyebaran informasi yang menyesatkan, cenderung memfitnah yang selama ini masih banyak ditemui di jagat maya.

KIM akan menjadi pembeda dengan para pegiat informasi lain yang sama-sama memanfaatkan media sosial karena kelompok ini terbentuk dan berkepentingan dalam menyebarkan informasi baik, mendidik, dan mencerahkan.

Dengan demikian, KIM mampu berperan aktif memperkaya jagat media dengan informasi yang bermanfaat.

Selain itu, keberadaan KIM juga bisa menangkal apa yang disebut Presiden RI Joko Widodo tentang banyaknya penyebaran 'polusi informasi di wilayah budaya' melalui media sosial.

Pewarta: Abd Aziz

Editor : Taufik


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023