Sejumlah grup percakapan, dalam beberapa hari terakhir dibanjiri kiriman video yang diunduh dari media sosial, bertutur tentang tema pentingnya belajar antre bagi anak-anak.
Perempuan berhijab dalam video itu bercerita tentang pernyataan guru asal Australia yang menegaskan bahwa dia lebih khawatir muridnya tidak bisa antre daripada tidak bisa mengerjakan soal Matematika.
Si guru beralasan bahwa untuk belajar Matematika, anak setingkat sekolah dasar (SD) hanya membutuhkan waktu 3 bulan secara intensif untuk menguasai, sedangkan untuk belajar mengantre perlu waktu kurang lebih 12 tahun.
Mengenai pentingnya mengantre, saya pernah menyaksikan anak-anak setingkat taman kanak-kanak (TK) di Kota Seoul, Korea Selatan, waktu diajak berkunjung ke museum. Saat hendak mengambil air minum di galon yang tersedia, mereka tidak berebut mendapat air lebih dulu. Anak-anak kecil itu langsung berjejer satu persatu ke belakang, membentuk barisan alias antre.
Masyarakat di Korea Selatan sudah terbiasa antre dan perilaku itu ditularkan kepada anak-anak sehingga menjadi kebiasaan yang positif.
Jika ditelisik lebih dalam, budaya antre itu adalah bentuk pengamalan dari Pancasila. Artinya, jika kita tidak terbiasa antre dalam banyak urusan, sejatinya kita telah mengkhianati Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara.
Budaya antre di dalamnya mengandung nilai-nilai dari beberapa sila dalam Pancasila, yakni sila pertama berkait dengan ketuhanan, sila kedua terkait kemanusiaan yang adil dan beradab, sila kelima terkait keadilan sosial.
Pada praktik antre, ada sikap spiritual karena kita menghormati sesama dengan mempersilakan yang lebih dulu datang untuk berada di depan, meskipun yang datang belakangan mungkin seorang pejabat atau tokoh di masyarakat.
Dengan membiasakan antre, rasa kemanusiaan yang mendepankan sikap adil dan beradab secara sosial telah kita amalkan sesuai dengan sila kedua dan kelima dari Pancasila.
Hanya dengan menelisik budaya antre, kita akan tersadarkan akan banyak hal mengenai sikap-sikap keseharian yang perlu dievaluasi karena tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila.
Karena itu, menjadi penting agar nilai-nilai dalam Pancasila ditanamkan sejak dini dan hal itu dilakukan dalam kehidupan keluarga yang menjadi taman pendidikan pertama bagi seorang anak.
Terkait pengamalan sila pertama yang diyakini sebagai penggalian dari nilai-nilai agama, bisa diterapkan oleh orang tua terhadap anak atau terhadap pasangan, yakni suami kepada istri atau istri kepada suami.
Penanaman nilai tentang ketuhanan ini tentu bukan sekadar tentang pembiasaan ritual, melainkan juga tentang bagaimana perilaku kita terhadap orang lain.
Dalam Islam, misi utama dari Rasulullah saw. yang mendapat mandat dari Allah untuk menyampaikan Islam menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak diutus ke Bumi ini, kecuali untuk memperbaiki akhlak.
Semua sepakat bahwa Pancasila adalah nilai-nilai intrinsik dari bangsa ini, yang terdiri atas berbagai elemen, baik suku, agama, budaya, termasuk ras. Nilai-nilai asli dari bangsa yang unsur dasarnya beragama itu kemudian disarikan dalam lima sila, yaitu Pancasila.
Banyak yang meyakini bahwa Pancasila itu adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia, yang hingga kini mampu hidup damai dan rukun, meskipun berlatar berbeda.
Karena digali dari falsafah luhur bangsa, maka seharusnya penanaman dan pengalaman nilai-nilai Pancasila itu tidaklah sulit. Kita bisa saja mencari alasan atas belum sepenuhnya Pancasila kita amalkan bersama sebagai bangsa, dengan banyaknya pengaruh dari perkembangan zaman yang tidak mungkin kita hindari.
Kita kembali ke keluarga yang seharusnya menjadi benteng utama dan pertama dalam penanaman Pancasila bagi setiap generasi bangsa. Dalam pola komunikasi suami ke istri atau sebaliknya, istri ke suami, sudahkah kita menempatkan pasangan dalam posisi kemuliaan yang sama?
Kalau seorang suami masih menganut budaya patriarki yang menempatkan seorang laki-laki dalam keluarga sebagai yang berkuasa, sesungguhnya, diam-diam kita juga mengajarkan anak untuk tidak setia pada Pancasila. Bukankah dalam sila pertama juga mengajarkan bahwa semua manusia, entah laki entah perempuan, diciptakan dalam derajat yang sama oleh Tuhan?
Demikian juga komunikasi antara orang tua dengan anak. Kalau selama ini orang tua masih sering mempraktikkan komunikasi satu arah dan hanya bisa marah kepada anak, maka sesungguhnya itu juga penyimpangan dari nilai Pancasila.
Hal sepele yang mungkin kurang disadari sebagai penyimpangan dari nilai-nilai dalam Pancasila adalah keberpihakan orang tua secara berlebihan kepada anak yang lebih muda. Ketika dua anak atau lebih berebut mainan dan orang tua selalu menanamkan ajaran bahwa si kakak harus selalu mengalah, maka budaya itu telah menanamkan nilai selalu "menang sendiri" pada anak paling kecil.
Pada saat bersamaan, orang tua yang selalu memihak pada yang paling kecil, sebetulnya tidak sedang menyelamatkan jiwa si kakak dan si adik sekaligus. Kepada si kakak yang harus selalu mengalah, orang tua menanamkan keyakinan bahwa si kakak tidak boleh memiliki pendirian atas kebenaran yang ia yakini. Kepada si adik, orang tua itu menanamkan nilai bahwa hidup itu harus selalu menang sendiri, jangan peduli pada orang lain, meskipun itu saudaramu sekandung.
Karena itu, setiap orang tua perlu membiasakan diri untuk selalu berkomunikasi intens dengan anak, meskipun yang dibicarakan adalah hal remeh temeh bagi pikiran orang dewasa.
Dengan sering mengajak berkomunikasi, maka seorang anak akan merasa nyaman dengan orang tuanya dan pada akhirnya akan terbiasa terbuka mengungkapkan perasaannya. Komunikasi orang tua yang dilakukan hanya ketika orang ada perlu kepada anak, pada akhirnya banyak menimbulkan masalah dan orang tua justru kesulitan menanamkan nilai-nilai baik kepada anak.
Demikian juga sikap orang tua terhadap lingkungan sekitar yang juga merupakan pengejewantahan dari nilai-nilai dalam Pancasila bisa ditunjukkan orang tua dengan selalu bersikap baik kepada tetangga, ringan tangan saat tetangga membutuhkan.
Anak adalah peniru terbaik. Ketika orang tuanya menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di rumah, maka perbuatan itu sudah tercatat sebagai pengamalan dari Pancasila, meskipun mungkin si orang tua tidak betul-betul hapal dari sila-sila dalam Pancasila. Selamat Hari lahir Pancasila.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
Perempuan berhijab dalam video itu bercerita tentang pernyataan guru asal Australia yang menegaskan bahwa dia lebih khawatir muridnya tidak bisa antre daripada tidak bisa mengerjakan soal Matematika.
Si guru beralasan bahwa untuk belajar Matematika, anak setingkat sekolah dasar (SD) hanya membutuhkan waktu 3 bulan secara intensif untuk menguasai, sedangkan untuk belajar mengantre perlu waktu kurang lebih 12 tahun.
Mengenai pentingnya mengantre, saya pernah menyaksikan anak-anak setingkat taman kanak-kanak (TK) di Kota Seoul, Korea Selatan, waktu diajak berkunjung ke museum. Saat hendak mengambil air minum di galon yang tersedia, mereka tidak berebut mendapat air lebih dulu. Anak-anak kecil itu langsung berjejer satu persatu ke belakang, membentuk barisan alias antre.
Masyarakat di Korea Selatan sudah terbiasa antre dan perilaku itu ditularkan kepada anak-anak sehingga menjadi kebiasaan yang positif.
Jika ditelisik lebih dalam, budaya antre itu adalah bentuk pengamalan dari Pancasila. Artinya, jika kita tidak terbiasa antre dalam banyak urusan, sejatinya kita telah mengkhianati Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara.
Budaya antre di dalamnya mengandung nilai-nilai dari beberapa sila dalam Pancasila, yakni sila pertama berkait dengan ketuhanan, sila kedua terkait kemanusiaan yang adil dan beradab, sila kelima terkait keadilan sosial.
Pada praktik antre, ada sikap spiritual karena kita menghormati sesama dengan mempersilakan yang lebih dulu datang untuk berada di depan, meskipun yang datang belakangan mungkin seorang pejabat atau tokoh di masyarakat.
Dengan membiasakan antre, rasa kemanusiaan yang mendepankan sikap adil dan beradab secara sosial telah kita amalkan sesuai dengan sila kedua dan kelima dari Pancasila.
Hanya dengan menelisik budaya antre, kita akan tersadarkan akan banyak hal mengenai sikap-sikap keseharian yang perlu dievaluasi karena tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila.
Karena itu, menjadi penting agar nilai-nilai dalam Pancasila ditanamkan sejak dini dan hal itu dilakukan dalam kehidupan keluarga yang menjadi taman pendidikan pertama bagi seorang anak.
Terkait pengamalan sila pertama yang diyakini sebagai penggalian dari nilai-nilai agama, bisa diterapkan oleh orang tua terhadap anak atau terhadap pasangan, yakni suami kepada istri atau istri kepada suami.
Penanaman nilai tentang ketuhanan ini tentu bukan sekadar tentang pembiasaan ritual, melainkan juga tentang bagaimana perilaku kita terhadap orang lain.
Dalam Islam, misi utama dari Rasulullah saw. yang mendapat mandat dari Allah untuk menyampaikan Islam menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak diutus ke Bumi ini, kecuali untuk memperbaiki akhlak.
Semua sepakat bahwa Pancasila adalah nilai-nilai intrinsik dari bangsa ini, yang terdiri atas berbagai elemen, baik suku, agama, budaya, termasuk ras. Nilai-nilai asli dari bangsa yang unsur dasarnya beragama itu kemudian disarikan dalam lima sila, yaitu Pancasila.
Banyak yang meyakini bahwa Pancasila itu adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia, yang hingga kini mampu hidup damai dan rukun, meskipun berlatar berbeda.
Karena digali dari falsafah luhur bangsa, maka seharusnya penanaman dan pengalaman nilai-nilai Pancasila itu tidaklah sulit. Kita bisa saja mencari alasan atas belum sepenuhnya Pancasila kita amalkan bersama sebagai bangsa, dengan banyaknya pengaruh dari perkembangan zaman yang tidak mungkin kita hindari.
Kita kembali ke keluarga yang seharusnya menjadi benteng utama dan pertama dalam penanaman Pancasila bagi setiap generasi bangsa. Dalam pola komunikasi suami ke istri atau sebaliknya, istri ke suami, sudahkah kita menempatkan pasangan dalam posisi kemuliaan yang sama?
Kalau seorang suami masih menganut budaya patriarki yang menempatkan seorang laki-laki dalam keluarga sebagai yang berkuasa, sesungguhnya, diam-diam kita juga mengajarkan anak untuk tidak setia pada Pancasila. Bukankah dalam sila pertama juga mengajarkan bahwa semua manusia, entah laki entah perempuan, diciptakan dalam derajat yang sama oleh Tuhan?
Demikian juga komunikasi antara orang tua dengan anak. Kalau selama ini orang tua masih sering mempraktikkan komunikasi satu arah dan hanya bisa marah kepada anak, maka sesungguhnya itu juga penyimpangan dari nilai Pancasila.
Hal sepele yang mungkin kurang disadari sebagai penyimpangan dari nilai-nilai dalam Pancasila adalah keberpihakan orang tua secara berlebihan kepada anak yang lebih muda. Ketika dua anak atau lebih berebut mainan dan orang tua selalu menanamkan ajaran bahwa si kakak harus selalu mengalah, maka budaya itu telah menanamkan nilai selalu "menang sendiri" pada anak paling kecil.
Pada saat bersamaan, orang tua yang selalu memihak pada yang paling kecil, sebetulnya tidak sedang menyelamatkan jiwa si kakak dan si adik sekaligus. Kepada si kakak yang harus selalu mengalah, orang tua menanamkan keyakinan bahwa si kakak tidak boleh memiliki pendirian atas kebenaran yang ia yakini. Kepada si adik, orang tua itu menanamkan nilai bahwa hidup itu harus selalu menang sendiri, jangan peduli pada orang lain, meskipun itu saudaramu sekandung.
Karena itu, setiap orang tua perlu membiasakan diri untuk selalu berkomunikasi intens dengan anak, meskipun yang dibicarakan adalah hal remeh temeh bagi pikiran orang dewasa.
Dengan sering mengajak berkomunikasi, maka seorang anak akan merasa nyaman dengan orang tuanya dan pada akhirnya akan terbiasa terbuka mengungkapkan perasaannya. Komunikasi orang tua yang dilakukan hanya ketika orang ada perlu kepada anak, pada akhirnya banyak menimbulkan masalah dan orang tua justru kesulitan menanamkan nilai-nilai baik kepada anak.
Demikian juga sikap orang tua terhadap lingkungan sekitar yang juga merupakan pengejewantahan dari nilai-nilai dalam Pancasila bisa ditunjukkan orang tua dengan selalu bersikap baik kepada tetangga, ringan tangan saat tetangga membutuhkan.
Anak adalah peniru terbaik. Ketika orang tuanya menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di rumah, maka perbuatan itu sudah tercatat sebagai pengamalan dari Pancasila, meskipun mungkin si orang tua tidak betul-betul hapal dari sila-sila dalam Pancasila. Selamat Hari lahir Pancasila.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023