Panasnya cuaca pada bulan Ramadhan tahun ini menambah beban bagi kondisi fisik kita dalam menahan lapar dan minum. Berdasarkan prakiraan BMKG, suhu udara selama bulan Agustus ini yang mencapai 32 derajat Celcius merupakan cuaca terpanas dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Tidak mengherankan jika orang-orang yang bekerja di tempat terbuka mengeluhkan panasnya cuaca di bulan Ramadhan. Memang dari tinjauan etimologis, Ramadhan yang terdiri dari tiga huruf, "ra", "mim", dan "dhat", artinya panas yang menyengat atau kekeringan karena memang bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriah itu selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Namun, karena sistem penanggalan Hijriah yang berbasis bulan rata-rata lebih pendek 11 hari dibandingkan dengan penanggalan berbasis matahari, maka bulan Ramadhan tidak mesti jatuh pada musim kemarau. Meskipun demikian, makna panas yang menjurus pada situasi kekeringan sebagaimana terkandung dalam kata Ramadhan itu tetap saja terasa, setidaknya pada tenggorokan saat menahan dahaga. Apa pun yang terjadi dengan cuaca saat ini, bisa jadi menambah pahala kita dalam menjalani puasa pada bulan Ramadhan karena sebagian ulama fikih berpendapat bahwa pahala atas amal ibadah seseorang dihitung berdasarkan tingkat kesulitannya (bi katsrotit ta'ab). Oleh sebab itu, bagi orang yang beriman tidak ada istilah menyerah untuk mengabdi di jalan Allah SWT dalam kondisi apa pun dan di mana pun dia berada. Alhamdulillah, sekarang kita sudah memasuki tiga fase terakhir bulan yang penuh rahmat dan ampunan ini. Pada masa-masa seperti ini, Allah SWT memberikan keleluasaan bagi hambanya yang beriman untuk semakin meningkatkan diri, baik kuantitas maupun kualitasnya, dalam beribadah. Pada sepuluh hari terakhir inilah, Allah memberikan karunia berupa "Lailatul Qadar". Ada banyak makna yang terkandung dalam Lailatul Qadar ini, di antaranya adalah malam kemuliaan. Sebagaimana dalam Surat Al Qodr, Lailatul Qadar lebih baik dibandingkan seribu bulan. Maksudnya, amalan di malam yang berkah ini menyamai pahala amal seribu bulan. Seribu bulan itu setidaknya setara dengan 83 tahun lebih. Padahal rata-rata usia manusia saat ini 60-70 tahun dan sangat jarang selama hidupnya itu melakukan kebajikan tanpa terputus sedikit pun. Pada malam itu pulalah malaikat Jibril turun ke bumi untuk menyelesaikan segala urusannya karena kemuliaan Lailatul Qadar bisa ditafsirkan dengan turunnya kitab suci Al Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu pula, Lailatul Qadar ibaratnya sebuah sayembara. Orang-orang yang beriman pasti mempersiapkan dirinya sebaik mungkin dengan melakukan amal ibadah demi mendapatkan fadilah pada malam penuh kemuliaan itu. Tidak mudah memang untuk mendapatkan kemuliaan di mata Allah. Selama hijab yang menutupi mata hati kita belum tersingkap, mendapatkan kemuliaan pada Lailatul Qadar merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi saat-saat menjelang Lebaran ini, kita sering kali disibukkan dengan urusan-urusan duniawi, seperti menyiapkan baju baru untuk anggota keluarga, aneka penganan suguhan di rumah, tiket mudik, dan tetek-bengek lainnya. Pada momen-momen seperti itu, pusat-pusat perbelanjaan dipadati orang karena memberikan rabat secara besar-besaran yang jarang didapat pada hari-hari yang lain, sehingga ada istilah "mencari Lailatur Qadar" di plasa-plasa atau "shalat tarawih" di supermarket. Sebuah takwil yang menyindir. Memang, tak ada larangan untuk memburu potongan harga yang ditawarkan pengelola pusat-pusat perbelanjaan itu. Namun sayang, kalau pada malam-malam 10 hari terakhir Ramadhan itu terlewat begitu saja. Padahal, Allah sudah menjanjikan adanya kemuliaan yang tiada tara pada Lailatul Qadar. [irfan@antara.net.id]

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011