Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis dari Umar, RA, yang menyatakan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umatku adalah setiap orang munafik yang pintar berbicara".

Hadis di atas kiranya penting untuk menjadi bahan bermuhasabah diri saat ini, terlebih di tengah Bulan Ramadhan.

Munafik, sifat yang paling dikhawatirkan Rasulullah SAW, dalam sebuah hadis diterangkan ciri-cirinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, jika berbicara ia berdusta, bila berjanji ia tidak menepati janjinya, dan apabila diberi amanah ia mengkhianatinya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dijabarkan detail maka sifat munafik tersebut identik dengan kedustaan, yaitu memutarbalikkan perkataan demi mendapatkan kepercayaan, mengingkari janji karena janji yang diucapkan hanyalah bertujuan menarik simpati, dan mengkhianati amanah karena tidak memiliki rasa tanggung jawab.

Ketiga ciri yang tentunya membawa kerugian bagi orang lain, secara akal sehat sangat bisa diterima jika kemudian Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan munculnya sifat munafik dalam diri manusia.

Sifat munafik tentu berpotensi menimbulkan kegaduhan karena kepandaian berbicara orang yang munafik tidak disertai niat kebaikan, melainkan sebatas keinginan atau ambisi pribadi munafiqun.

Kata munafiqun merujuk pada nama Surah Al-Munafiqun, yaitu surah ke-63 dalam Al-Quran. Dinamakan Al Munafiqun yang berarti Orang-orang yang munafik karena surat ini mengungkapkan sifat-sifat orang-orang munafik.

Orang yang munafik atau munafiqun, tidak akan memiliki niat mulia ataupun mengikuti kata hati dalam setiap tindak tanduknya, disebabkan hatinya telah mati:

"Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti." (Q.S. AL Munafiqun: 3).

Matinya hati orang yang munafik, itulah yang kemudian menjadikan mereka kafir lagi, karena mereka tidak mampu membedakan perbuatan halal maupun haram, melainkan hanya membenarkan apa yang mereka inginkan dan lakukan. Lebih lanjut, sikap merasa benar atas tindakannya, menjadi sebab lahirnya kesombongan dalam hati orang yang munafik. Dijelaskan dalam Surat AL Munafiqun ayat 5.

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri."

Kesemua sifat orang yang munafik, yaitu berdusta, mengingkari janji, tidak memiliki tanggung jawab, hati yang mati, dan sombong, menjadikan mereka hanyalah kaum yang berlarian mengejar ambisi atau keinginan pribadi, baik ambisi mencari kekayaan maupun mencari jabatan.

Dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, nafsu cinta jabatan merupakan nafsu terselubung. Memang kelihatannya mereka tidak berbuat suatu kemaksiatan yang secara jelas melanggar aturan Allah SWT.

Namun, perasaan ingin dipuji, disanjung, dan dihormati, termasuk bentuk nyata penyakit hati yang dimiliki orang-orang munafik. Mereka merasa dirinya hebat, dan termasuk orang yang dekat dengan Allah, tapi ternyata Allah menilai sebaliknya.

Sedangkan, dalam hadis lainnya diterangkan bahwa ambisi jabatan yang dikejar orang-orang munafik, tidaklah menjadikan mereka dekat atas pertolongan Allah SWT:

Abdurrahman Bin Samurah berkata, Rasulullah SAW bersabda kepadaku, "Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan maka tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika kamu diangkat tanpa permintaan, maka kamu akan diberi pertolongan" (HR Muslim).

Adapun hukuman bagi kaum munafik, dijelaskan dalam QS An Nisa 138: "Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih". 

Akhir kata, penting bagi kita semua untuk tetap menjadi diri sendiri tanpa kemudian memiliki penyakit hati sebagaimana yang dimiliki orang yang munafik, hanya karena ambisi mengejar kepentingan duniawi.

*Penulis adalah Wakil Sekretaris MUI Jatim

Pewarta: Lia Istifhama*

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023