Rumahku adalah surgaku, begitulah filosofi keluarga dimetaforakan oleh agama. Tahukah Anda, bahwa tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Ayah Nasional? Sebuah hari "bersejarah" untuk menghormati sosok sebagai si tulang punggung, tempat bersandar, kepala keluarga, pencari nafkah, dan lilin keluarga.

Tidak saja itu, ayah bisa hadir sebagai tempat curhat, model tangguh, pendidik, pendamping, pembimbing, motivator, inspirator, pelindung, dan bisa menjadi seorang pahlawan yang tak pernah di-SK-kan. 

Di balik keras seorang ayah dalam mendampingi anak-anak di waktu siang, tanpa diketahui anak-anaknya, ketika sunyi malam tiba sang ayah menjelma "anak kecil" dengan tulus air matanya merengek dan meminta-minta kepada Sang Pemilik untuk kebaikan anak-anak dan keluarganya.

Kita sering lupa, mudah membenci sosok ayah karena "kekerasan", ketegasan, seakan cuek, tidak banyak bicara, penuntut, tidak sepenuh waktu di rumah, sampai barangkali dicap sebagai sosok penghukum.

Begitu banyak ayah menuntut kita sesungguhnya cermin ketakutan ayah atas kehidupan kelak anaknya. Kekerasan ayah sesungguhnya pula mengajarkan kepada anak-anaknya: "betapa kehidupan ini sangat keras".  

Jika kita tidak keras menjalani hidup, maka kehidupan akan keras kepada kita. Kehidupan akan memberi hukuman atas kesalahan kita secara langsung, sebaliknya "pujian" kehidupan seringkali terlupa karena silap mata jiwa dalam memandangnya.

Tetapi, bagaimana jika kita temukan ayah bersosok kebalikan dari citra di atas? Ayah hanya seorang pemarah, bukan pekerja keras, penuntut, raja yang harus dilayani, hingga peselingkuh memuakkan bagi anak-anak?

Beberapa kali saya bertemu remaja yang begitu membenci sosok ayah. Bahkan sampai memaki dan menganggapnya musuh. Contohnya kisah nyata berikut. 

Seorang anak SD kelas 2 ditinggal ayahnya minggat, ternyata menikah lagi. Menikah lagi, kemudian menikah lagi, hingga istri keempat mempunyai anak tujuh orang, yang untuk memenuhi kebutuhan makan saja, sang istri keempat ini harus berhutang beras ke tetangga dan pedagang kelontong di pasar yang trenyuh pada nasibnya. 

Total anak si ayah ini dengan empat istrinya berjumlah 18 orang. Lelaki pengangguran, kegiatannya hanya jalan-jalan dan berdalih sebagai paranormal. Seorang ayah yang sama sekali tidak pernah diharapkan kehadirannya, tidak saja oleh anak dan istrinya, tetapi juga oleh Kehidupan Semesta.

Ayah itu pemimpin keluarga. Ayah itu juga seorang pemimpi bagi keluarga. Ayah merupakan nahkoda keluarga, sehingga dialah penentu arah pelayaran yang dikemudikan. Agama berpesan, "Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." Pesan samawi ini tak penting diperdebatkan, tetapi langsung dipraktikkan dengan berbagai cara, media, strategi, pendekatan, dan teknik yang lentur, tergantung situasi dan kondisi keluarga.

Seorang ayah karena itu sekaligus seorang peternak elang sehingga mampu membimbing proses kaderisasi sosok ayah berjiwa elang untuk terbang tinggi. Pengkaderan yang imersi dalam ekosistem keluarga yang benar, sehingga sejak dini jiwa kepemimpinan anak bisa menyatu secara alamiah. 

Selanjutnya, seorang ayah perlu humanis dan bisa menjadi teman curhat anak dan keluarga. Bagi seorang anak, ayah akan indah jika bisa menjadi tempat "pembuangan" sampah jiwa. Sebagai penenang dan tempat bersandar. Pelan-pelan kemudian ayah menjelma pemberi solusi terbaik atas permasalahan yang menghampiri. Begitu pula bagi seorang ibu, dituntut memiliki kemampuan dan peran sama dengan ayah, sehingga akan jadi sepasang sayap kehidupan yang mengantarkan anak-anaknya terbang tinggi meraih cinta dan cita.

Kemudian, ayah yang bijaksana ini akan mampu menjadi seorang konselor atau pembimbing bagi keluarganya. Ayah yang tidak saja sebagai ayah, tetapi bisa menjadi seorang teman dan guru kehidupan yang menyelamatkan dalam kehidupan sehari-hari.


Ayah yang penghibur 

Peran ayah sebagai penghibur akan menciptakan kondisi keluarga yang rileks dan menyenangkan. Rumah dalam konteks peran ayah demikian, bisa menjadi "taman rekreasi" jiwa menyegarkan. Kondisi nyaman dalam paradigma pendidikan modern adalah akar optimalisasi pendidikan yang bermakna dan menyenangkan.

Ini sangat dibutuhkan saat keadaan jiwa anak turun naik ketika menghadapi masalah.  Ayah harus hadir memosisikan diri sebagai teman agar anak mau membuka diri, bercerita, mendaras dalam-dalam, sehingga masalah bisa dipecahkan, emosi jiwa tersembuhkan.
 
Ayah itu pelindung keluarga. Sebagai pelindung keluarga dan anggotanya, dia harus mampu melindungi keluarga dari ragam bahaya yang datang dari luar, baik bersifat fisik ataupun non-fisik. Sebagai sosok pelindung, seorang ayah dituntut bertindak manusiawi dan menjauhi sikap perilaku militeristik. 

Ayah itu penyedia kebutuhan. Peran sebagai penyedia kebutuhan keluarga seringkali menuntut sang ayah untuk memenuhi segala kebutuhannya, yang ini jelas diikrarkan saat akad nikah berlangsung. Sebagai penyedia kebutuhan, seorang ayah dituntut dalam pemenuhan yang material dan spiritual, lahir dan batin. Di sini, maka seorang perlu memiliki kecerdasan personal, sosial, finansial, dan spiritual dalam mengemban tugas dirinya sebagai penyedia kebutuhan keluarga.

Ayah itu penyala api cinta kasih. Sebuah sikap rahman dan rahim seorang ayah yang secara proporsional mampu membaginya secara elegan. Kasih sayang seorang ayah itu berbeda dengan kasih sayang ibu. Sebagai penyala dan perawat cinta kasih  keluarga, ayah wajib hadir ketika kesulitan anak tiba, dengan kasih sayangnya mampu menumbuhkan semangat hingga mampu memecahkan atau menemukan solusinya.

Ayah sebagai pembimbing spiritual. Sebagai pembimbing spiritual keagamaan keluarga, keteladanan religius seorang ayah mutlak diperlukan, sehingga ketika membimbing keluarga dan anak-anak akan lebih mudah. Ayah sebagai cerminan praktik beragama,  kegiatan dan tingkah laku perbuatannya. 

Ayah juga bukan sosok pengkhotbah, pengancam, menakut-nakuti, dan penghukum dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana menjadi ayah berjiwa rahman dan rahim? Sekali waktu harus menjadi sosok pemaaf, pengampun, tetapi di sisi lain mampu menjadi "pemberi pahala" kehidupan yang bermuara pada sikap batin religiusnya.

Ayah itu inspirator dan motivator keluarga. Ayah yang baik wajib berfungsi sebagai inspirator dan motivator. Jika ayah menghendaki keluarga dan anggotanya gemar baca tulis, misalnya, maka ayah pun wajib menjadi pembaca dan penulis di keluarga, sehingga keteladanan inspiratif akan melindap dengan sendirinya.

Mengapa? Sebab, perkembangan jiwa dan tingkah laku anak itu dipengaruhi keberadaan oleh orang di sekitarnya. Ayah perlu hadir sebagai inspirator berketeladanan sehingga jadi motivasi tersendiri bagi keluarga dalam segala sisi kehidupannya, masyarakat, dan bangsa.

Ayah itu orang pertama pemberi perhatian, kepedulian, kecintaan, dan pengorbanan nyata kepada keluarga dan anggotanya. Dalam konteks peran demikian, ayah perlu mengemas dengan bahasa komunikasi yang demokratis, bernas, menghargai, dan memerdekakan (baca: memandirikan). 

Mengapa demikian? Sebab, perhatian seorang ibu itu berbeda dengan ayah. Karena ayah seorang nahkoda pelayaran surgawi, maka ayah berkontribusi besar dalam penciptaan iklim keluarga berbasis perhatian, kepedulian, dan pengorbanan. Baik bersifat material, spiritual, sosial, emosional, dan finansial. 

Perhatian ayah secara langsung atau tidak  kepada keluarga akan menjadi perangsang positif dalam perkembangan fisik-jiwa anak yang sempurna. Dampak positifnya, anak akan lebih percaya diri, pandai bersosialisasi, berpemikiran demokratis, dan bertanggung jawab. Jika seorang ayah menginginkan anak-anaknya mudah bergaul dalam segala situasi kondisi, perhatian dan kepedulian demikian penting dilakukan sang ayah.

Ayah adalah pengajar yang pertama-tama. Seorang pengulik potensi akademik, pemancing potensi cendekia anak-anaknya. Untuk bisa berperan demikian, seorang ayah dituntut memiliki pendidikan minimal dan seperangkat pengalaman hidup yang bermakna. 

Ayah tidak harus cerdas dan pintar dalam menerjemahkan peran ini. Seorang teman pernah bilang begini, "Lebih baik punya anak pintar meskipun orang tuanya bodoh daripada jadi ayah pintar, tetapi beranak-anak bodoh." Satire ini sederhana, tetapi sesungguhnya pengingat penting bagi seorang ayah, yang tak cukup dengan kepintaran saja, tetapi wajib memiliki strategi dan pendekatan dalam mempraktikkan pendidikan di keluarga.

Ayah juga penabur benih kedisiplinan. Menjadi ayah dalam fungsi ayah demikian wajiblah dia menjadi teladan sekaligus pelatih kedisiplinan. Melatih kedisiplinan lewat kegiatan sehari-hari di rumah, belajar, dan beribadah kepada Tuhan.

Terakhir, barangkali sosok ayah harus bisa menjadi pembantu bagi anak-anak. Peran ayah sebagai "pembantu" rumah tangga, bahasa kerennya asisten rumah tangga. Ayah jelas, harus menjadi penyedia fasilitas rumah tangga, tempat tinggal, pakaian, plus kebutuhan lain. Jika diperlukan, ayah harus bisa menggantikan peran istri dalam keadaan tertentu. Memasak, mencuci, mengasuh, dan mendampingi anak-anak. 

Ini mengingatkan saya, akan pesan seorang kiai pada seorang teman saya, kemudian diceritakan itu kepada saya begini, "Mas, tugas seorang istri itu hanya mengandung, melahirkan, dan menyusui pada seorang anak. Selain ketiga itu adalah tugas suami."

Selamat merefleksikan Hari Ayah Nasional kepada kaum laki-laki khususnya, umumnya bagi wanita Indonesia. Kelak kita bisa bermimpi, hadirnya "sepasang malaikat" di keluarga, yang sangat bermakna bagi generasi muda.  

Semoga kelak kehidupan bangsa dan negara semakin kokoh dengan kehadiran seorang pahlawan tersembunyi bernama: Ayah.


*Penulis adalah budayawan dan dosen di STKIP PGRI Ponorogo, alumnus S3 Unesa Surabaya

Pewarta: Dr. Sutejo, M.Hum

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022