Kementerian Kesehatan RI melaporkan sebanyak 141 dari total 245 penderita gangguan ginjal akut progresif atipikal (AKI) di Indonesia meninggal dunia hingga 23 Oktober 2022.
Insiden itu dikaitkan dengan senyawa kimia terlarang di Indonesia, bernama etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil eter (EGBE) yang diproses metabolisme tubuh pasien melalui obat sirop.
Berdasarkan metode telisik toksikologi terhadap 11 pasien anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada September 2022, sekitar 60 persen pasien terkonfirmasi AKI disebabkan senyawa kimia tersebut.
Lantas bagaimana senyawa yang bersifat toksik itu masuk ke tubuh pasien, padahal Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara tegas melarang penggunaan EG, DEG, dan EGBE?
Hasil tes toksikologi membuktikan bahwa seluruh produk obat sirop yang dikonsumsi pasien mengandung bahan polietilen glikol atau polietilen oksida (PEO) yang dibutuhkan produsen sebagai pelarut obat sirop.
Zat berbahaya EG, DEG, dan EGBE bisa muncul bila kandungan polietilen glikol yang dicampur melampaui batas toleransi sebagai pelarut obat-obatan berbentuk sirop.
Menurut Farmakope Indonesia, EG dan DEG tidak digunakan dalam formulasi obat, tapi dimungkinkan keberadaannya dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirop dengan nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol serta 0,25 persen pada polietilen glikol.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi menyebut jika senyawa EG, DEG, dan EGBE masuk ke dalam pencernaan maka metabolisme manusia mengubahnya menjadi asam oksalat. "Ini berbahaya, kalau asam oksalat masuk ginjal, bisa jadi kalsium oksalat seperti kristal kecil yang tajam merusak ginjal anak," katanya.
Terlebih hingga saat ini, kandungan polietilen glikol jarang dicatat oleh produsen dalam informasi kemasan produk obat di Indonesia.
Baca juga: Polri selidik dugaan pidana obat sirop penyebab gagal ginjal pada anak
Lonjakan kasus
Tren kasus gangguan ginjal akut di Indonesia sejak Januari hingga Juli 2022 berada pada laju normal berkisar rata-rata dua hingga lima pasien yang dilaporkan setiap bulan kepada Kemenkes.
Kriteria gangguan ginjal akut pada anak berdasarkan Surat Kemenkes No. SR.01.05/III/3461/2022, terdiri atas kasus suspek anak usia 0-18 tahun (mayoritas balita), gejala anuria (tidak buang air kecil) atau oliguria (urine sedikit) yang terjadi secara tiba-tiba.
Kasus probabel meliputi indikator suspek ditambah dengan tidak terdapatnya riwayat kelainan ginjal sebelumnya atau penyakit ginjal kronik dan disertai/tanpa disertai gejala prodromal seperti demam, diare, muntah, batuk-pilek.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan ureum kreatinin lebih dari 1,5 kali atau naik senilai 0,3 mg/dL, pemeriksaan USG didapatkan bentuk dan ukuran ginjal normal, tidak ada kelainan seperti batu, kista, atau massa.
Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah kasus yang dilaporkan melonjak signifikan dalam 3 bulan berturut, mulai Agustus 2022 sebanyak 23 kasus, September 78 kasus, dan Oktober menembus 110 kasus.
Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur didominasi usia 1 hingga 5 tahun mencapai 153 kasus. Umur 6 hingga 10 tahun 37 kasus, kurang dari 1 tahun 26 kasus, dan 11 hingga 18 tahun 25 kasus.
Tingginya angka kasus pada balita memicu kekhawatiran para orang tua yang selama ini mengandalkan obat sirop alternatif pilihan yang paling mudah diterima anak-anak.
Terlebih, pemerintah mengambil langkah konservatif melarang penggunaan seluruh obat sirop untuk konsumsi masyarakat, sambil menunggu hasil investigasi terhadap keamanan produk.
Pada saat yang bersamaan, produsen obat sirop yang tergabung dalam Gabungan Produsen (GP) Farmasi pun saling mengklaim kepada konsumen jika produk mereka bebas dari cemaran EG, DEG, maupun EGBE.
Pada 21 Oktober lalu, Kemenkes mengumumkan 102 merek yang dikonsumsi oleh pasien gagal ginjal akut berdasarkan hasil temuan produk obat sirop di 156 rumah pasien.
Hingga Ahad (23-10), baru 30 dari 102 obat sirop yang dilaporkan Kemenkes dinyatakan aman, pun dengan 133 obat sirop hasil telisik BPOM. Daftar selengkapnya di sini
Perkuat pengawasan
Walaupun sejumlah produk obat sirop sudah dinyatakan aman, nyatanya masyarakat hingga sekarang belum berhasil diyakinkan apakah seluruh produk itu akan selalu aman dikonsumsi.
Dilansir dari sumber data chemanalyst.com, oleonline.com, terjadi kelangkaan bahan baku obat sirop berupa propilen glikol dan gliserol yang memicu kenaikan harga berkisar 700 hingga 3.500 dolar AS setelah Maret 2021.
Kenaikan harga bahan baku di kawasan Asia Pasifik itu dipicu lonjakan permintaan dari sektor farmasi akibat ledakan kasus COVID-19 di India.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono menduga kenaikan harga bahan baku pelarut obat berkaitan dengan penggunaan bahan berkualitas rendah oleh produsen obat sirop.
Maka langkah efektif bagi masyarakat dalam mencegah gangguan ginjal akut, jangan dulu konsumsi obat sirop sebelum ada sistem pengawasan obat yang dapat diandalkan serta dipastikan secara menyeluruh bebas senyawa toksik.
Meski pemerintah telah menemukan obat yang relevan bermerek dagang Fomepizole untuk mengatasi gangguan ginjal akut, antidot ini hanya efektif pada fase awal mengatasi keracunan EG.
Obat seharga Rp16 juta per vial itu telah didatangkan dari Australia dan Singapura sebanyak 200 vial untuk mengatasi gangguan ginjal akut pada pasien.
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menyampaikan penanganan terhadap gejala demam bisa dilakukan dengan terapi non-farmakologi, seperti kompres, baluran bawang, dan istirahat total hingga sembuh.
Saat terjadi infeksi, disarankan segera mendatangi dokter spesialis untuk memperoleh resep obat yang tepat. Selain itu, penyimpanan obat di rumah perlu memperhatikan masa kedaluwarsa.
Masyarakat juga diminta bersabar menanti hasil lokalisasi merek obat sirop yang dianggap aman oleh pemerintah untuk konsumsi masyarakat.
Editor: Achmad Zaenal M.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022