Tradisi endhog-endhogan turut memeriahkan peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW yang diperingati setiap 12 Rabiul Awal tahun Masehi di Kabupaten Banyuwangi.
”Tradisi ini merupakan bentuk ekspresi kecintaan masyarakat Banyuwangi kepada baginda Nabi Muhammad. Sebagai ungkapan rasa syukur, kami menyisihkan sebagian rezeki untuk berbagi dengan tetangga meski hanya berupa telur dan seancak nasi," ujar Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, Sabtu.
Menurut dia, tradisi ini patut untuk dilestarikan. Karena hal itu, tidak hanya sebagai ekspresi nilai-nilai religiusitas, namun juga memperkuat keeratan sosial dan keguyuban di tengah masyarakat.
"Inilah bentuk nyata dari nilai utama Pancasila tentang gotong royong. Semua masyarakat terlibat dalam menyukseskan kegiatan," katanya.
Nilai-nilai gotong royong inilah, kata Ipuk, sebagai sesuatu yang harus senantiasa dijaga.
"Dengan kultur gotong royong yang kuat, bisa menjadi modal dasar bagi pembangunan bagi pemerintah daerah," tuturnya.
Dikabarkan, pada hari utama perayaan maulid ini, terdapat sejumlah daerah yang melakukan kirab endhog-endhogan dalam skala besar. Di antaranya di Dusun Glondong, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Desa Sraten, Kecamatan Cluring dan di Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng. Serta di sejumlah desa lainnya dengan skala yang beragam.
Sementara Wakil Bupati Banyuwangi, Sugirah juga menghadiri tradisi serupa di Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi. Menurut dia, tradisi arak-arakan Kembang Endhog tersebut, tak berlangsung dalam satu hari saja.
"Ini dilakukan selama bulan Maulud (Rabiul Awal), bahkan di bulan Bakda Mulud (Rabiul Akhir)," katanya.
Tradisi endhog-endhogan sendiri telah berlangsung sangat lama di Banyuwangi. Setidaknya sejak paruh pertama abad 20.
Hal ini sebagaimana terkonfirmasi dalam Cathetan Raden Sudira yang melakukan riset tentang Banyuwangi pada awal 30-an atas perintah dari peneliti Belanda, Theodoore Pigeaud.
"Dalam manuskrip yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia itu, diterangkan tentang makanan yang tersaji pada perayaan Maulid Nabi. Yakni, ancak dan endhog-endhogan sebagaimana yang dikenal saat ini," kata penulis buku Islam Blambangan, Ayung Notonegoro.
Dalam cerita lisan masyarakat Banyuwangi, menurut Ayung, tradisi tersebut konon pertama kali dicetuskan oleh KH. Abdullah Faqih dari Cemoro, Songgon.
"Di setiap sisi tradisi endhog-endhogan ini adalah nilai filosofis yang melambangkan ajaran Islam. Seperti telur yang terdiri dari tiga lapis menunjukkan lapisan spiritual, mulai dari iman, islam (syariat) dan ihsan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
”Tradisi ini merupakan bentuk ekspresi kecintaan masyarakat Banyuwangi kepada baginda Nabi Muhammad. Sebagai ungkapan rasa syukur, kami menyisihkan sebagian rezeki untuk berbagi dengan tetangga meski hanya berupa telur dan seancak nasi," ujar Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, Sabtu.
Menurut dia, tradisi ini patut untuk dilestarikan. Karena hal itu, tidak hanya sebagai ekspresi nilai-nilai religiusitas, namun juga memperkuat keeratan sosial dan keguyuban di tengah masyarakat.
"Inilah bentuk nyata dari nilai utama Pancasila tentang gotong royong. Semua masyarakat terlibat dalam menyukseskan kegiatan," katanya.
Nilai-nilai gotong royong inilah, kata Ipuk, sebagai sesuatu yang harus senantiasa dijaga.
"Dengan kultur gotong royong yang kuat, bisa menjadi modal dasar bagi pembangunan bagi pemerintah daerah," tuturnya.
Dikabarkan, pada hari utama perayaan maulid ini, terdapat sejumlah daerah yang melakukan kirab endhog-endhogan dalam skala besar. Di antaranya di Dusun Glondong, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Desa Sraten, Kecamatan Cluring dan di Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng. Serta di sejumlah desa lainnya dengan skala yang beragam.
Sementara Wakil Bupati Banyuwangi, Sugirah juga menghadiri tradisi serupa di Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi. Menurut dia, tradisi arak-arakan Kembang Endhog tersebut, tak berlangsung dalam satu hari saja.
"Ini dilakukan selama bulan Maulud (Rabiul Awal), bahkan di bulan Bakda Mulud (Rabiul Akhir)," katanya.
Tradisi endhog-endhogan sendiri telah berlangsung sangat lama di Banyuwangi. Setidaknya sejak paruh pertama abad 20.
Hal ini sebagaimana terkonfirmasi dalam Cathetan Raden Sudira yang melakukan riset tentang Banyuwangi pada awal 30-an atas perintah dari peneliti Belanda, Theodoore Pigeaud.
"Dalam manuskrip yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia itu, diterangkan tentang makanan yang tersaji pada perayaan Maulid Nabi. Yakni, ancak dan endhog-endhogan sebagaimana yang dikenal saat ini," kata penulis buku Islam Blambangan, Ayung Notonegoro.
Dalam cerita lisan masyarakat Banyuwangi, menurut Ayung, tradisi tersebut konon pertama kali dicetuskan oleh KH. Abdullah Faqih dari Cemoro, Songgon.
"Di setiap sisi tradisi endhog-endhogan ini adalah nilai filosofis yang melambangkan ajaran Islam. Seperti telur yang terdiri dari tiga lapis menunjukkan lapisan spiritual, mulai dari iman, islam (syariat) dan ihsan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022