Seniman Ribut Wijoto aktif menggeliatkan sastra di Jawa Timur sejak 2009 dengan mempertemukan berbagai komunitas yang tercerai berai di kampus-kampus melalui kegiatan rutin bulanan. Nama kegiatannya berganti-ganti tergantung sponsor. 

Semula bernama Halte Sastra (2009--2016), dilanjutkan Bengkel Sastra (2018) dan kini Majelis Sastra Urban (2019--sekarang), yang terkadang digelar di Kompleks Balai Pemuda atau Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. 

Sponsornya jangan dikira tiap kegiatan mengucurkan dana hingga puluhan juta rupiah. Ada yang memberi sponsor Rp1 juta saja, Ribut Wijoto pasti jalan. 

Seringkali pihak sponsor hanya memberi anggaran Rp500 ribu untuk sekali kegiatan. Kalau sudah begitu, Ribut yang sehari-harinya menggeluti profesi jurnalis, saat ini bekerja sebagai redaktur di sebuah portal berita lokal di Jawa Timur, harus merogoh uang pribadinya untuk menutup kekurangan anggaran agar kegiatan tetap berjalan. 

Minatnya terhadap kesusastraan tumbuh saat kuliah pada jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. 

“Itu yang memilihkan jurusan kuliah kakak saya," katanya saat berbincang di Studio Podcast "NGOCAK" LKBN ANTARA Biro Jawa Timur, Surabaya, Senin, 27 Juni lalu. 

Ribut Wijoto lahir di Tulungagung, 23 Maret 1974. Saudara kandungnya berjumlah delapan orang. Semuanya dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja sebagai guru. Ayahnya meninggal dunia saat Ribut duduk di bangku sekolah dasar. 

Dari delapan saudaranya, tujuh di antaranya kuliah di kampus negeri. Salah satunya terpaksa mengalah tidak mendaftar di kampus negeri karena saat itu sang ibu harus membiayai sekolah adik-adiknya sehingga kemudian hari mendaftar di kampus swasta.  

"Saat saya lulus SMA, kakak mendorong saya agar diterima di kampus negeri karena biayanya murah," ujar Ribut, mengenang.

Maka seluruh pendaftaran kakaknya yang ngurus, termasuk pemilihan jurusan program studi.

Kakaknya menyarankan ambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia saja karena peminatnya sedikit dan ternyata Ribut diterima. 

Komunitas sastra 

Saat menjalani kuliah di Unair, Ribut Wijoto mengenal berbagai komunitas di kampus setempat yang berkaitan dengan program studinya. Salah satunya bergabung dengan Teater Gapus. 

Selain itu sering nongkrong di warung bersama teman-temannya yang tergabung dalam Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP).

"Di FS3LP ini kalau tidak berkarya bisa diolok sama teman-teman," katanya.

Ribut merasa karya-karya sastra yang dibuatnya kalah bersaing dengan teman-teman di FS3LP lainnya. Salah satu tolok ukurnya jarang dimuat di surat kabar. 

"Dari teman-teman di FS3LP ini juga saya kemudian disarankan untuk lebih fokus membuat ulasan untuk mengapresiasi karya sastra," ujarnya. 

Sejak itulah Ribut mulai membuat apresiasi karya sastra yang ternyata lebih diterima dan ditayangkan di berbagai surat kabar dibanding karya-karya sastra yang dikirimnya.    

Ribut kini fokus sebagai penggerak sastra di Jawa Timur. Kegiatan-kegiatan rutin bulanan yang digelar sejak tahun 2009 mulai dari Halte Sastra, Bengkel Sastra, hingga kini Majelis Sastra Urban bertujuan untuk mengasah sastrawan muda yang tumbuh di kampus-kampus wilayah Jawa Timur. 

"Kalau di Surabaya, sastra sampai sekarang tumbuh di kampus-kampus. Bedanya kalau di Sidoarjo sastra sudah diminati oleh kalangan emak-emak. Sudah bermunculan komunitas sastra yang beranggotakan emak-emak di Sidoarjo," kata Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Sidoarjo ini.
  
Sastra di era digital

Ribut Wijoto meyakini sampai kapanpun sastra tidak akan pernah mati. Sastra akan terus diminati masyarakat seiring dengan perkembangan zaman, termasuk sampai sekarang yang telah menginjak era digital. 

Dia mencontohkan selama masa pandemi virus corona (COVID-19) sekitar dua tahun yang lalu, beberapa kegiatan sastra yang tetap digelarnya secara daring melalui tatap layar (virtual) masih diminati. 

Sabtu malam, 25 Juni lalu, Ribut kembali menggelar Majelis Sastra Urban untuk pertama kalinya secara luring di masa pandemi. 

Bertempat di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, kegiatan yang menampilkan puisi-puisi karya Mahmoud Darwish yang sarat propaganda menggelorakan perjuangan demi kemerdekaan bangsa Palestina itu dihadiri oleh para penikmat sastra.   

Bagi Ribut, kenapa karya-karya sastra akan terus diminati masyarakat, karena bentuknya juga akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman.   

"Pesatnya perkembangan zaman turut membawa perubahan pada tradisi puisi. Dari awalnya mantra, hingga era Chairil Anwar, WS Rendra dan seterusnya nanti bentuk puisi pasti akan berubah mengikuti perkembangan zaman," katanya. 

Maka bentuk sastra dan puisi semakin ke depan akan semakin rumit mengikuti perkembangan zaman. 

Menurut Ribut bukan berarti sebuah kemajuan dari ilmu sastra. "Sastrawannya melihat hal-hal baru di masanya. Karya-karyanya yang baru itu tetap bersanding dengan bentuk puisi yang lama," tuturnya.

Selengkapnya hasil perbincangan dengan Ribut Wijoto bisa disimak di Podcast "NGOCAK", yang telah tayang pada 29 Juni 2022 di website ANTARA Jatim, rubrik "Video Rek", berjudul "Era digital masih berpuisi? (Bagian 1 dan 2)".

Tayangannya dengan judul yang sama juga bisa disaksikan di Youtube ANTARA Jatim.

Baca juga: Era digital masih berpuisi? (Bagian 1)
Baca juga: Era digital masih berpuisi? (Bagian 2)
 

Pewarta: Hanif Nashrullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022