Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi pada sejumlah startup Tanah Air, antara lain karena perusahaan rintisan di Indonesia tidak fokus dalam bisnis, kehabisan dana, dan tidak memiliki strategi yang baik untuk berkembang di pasar, kata Hendra Setiawan Boen, analis dan praktisi hukum restrukturisasi utang dari Kantor Frans & Setiawan.
Menurut Hendra, masalah utama startup adalah dana operasional mereka sepenuhnya bergantung pada pendanaan pihak luar melalui fundraising, private placement sampai pinjaman.
“Memang dana dari investor sangat berguna bila ingin ekspansi tapi tentu tidak bisa terus-terusan mengandalkan pihak luar. Startup ini harus bisa menghitung kapan perusahaan bisa mandiri, break-even point, mengembalikan dana pinjaman dari investor dan mulai meraup keuntungan,“ ungkap Hendra dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia mencontohkan ada perusahaan startup besar Indonesia yang sudah berdiri selama puluhan tahun tapi masih beroperasi dengan menanggung utang puluhan triliun rupiah dan investor terus-terusan menyuntikkan modal.
“Bagi saya, praktik seperti ini tidak masuk akal dan tidak sustainable. Kalau tiba-tiba investor startup kehabisan uang, apakah si startup masih bisa beroperasi atau malah kasak-kusuk mencari investor lain untuk suntikan modal?, katanya.
Dua perusahaan rintisan atau startup Tanah Air, yakni PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja dan Zenius Education, belum lama ini mengumumkan PHK terhadap ratusan karyawan. Keduanya melanjutkan tren PHK oleh beberapa startup lainnya, seperti Fabello, TaniHub, dan UangTeman.
Sebelum ini beberapa startup Indonesia pada akhirnya juga harus gulung tikar, antara lain Airy Rooms, Stoqo, Qlapa, dan Sorabel.
Hendra memberi saran agar startup Indonesia tidak perlu terlalu terburu-buru untuk booming. Lebih baik tumbuh secara organik. Kalau memang mau ekspansi baru cari investor. Dana dari investor itu hanya alat bantu untuk berkembang dan bukan tujuan utama mendirikan startup.
Hendra memberi analogi investor pada startup itu seperti baby walker untuk bayi dapat belajar berjalan. Tapi, pada akhirnya bayi itu harus bisa berjalan sendiri tanpa alat bantu. Apabila tidak, berarti ada masalah dan bayi tersebut harus dibawa ke ahli tumbuh kembang anak.
“Lebih baik punya perusahaan yang berkembang secara perlahan tapi sehat dan bertahan lama daripada dikarbit menjadi besar dalam sehari tapi besoknya layu,” tutup Hendra.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Menurut Hendra, masalah utama startup adalah dana operasional mereka sepenuhnya bergantung pada pendanaan pihak luar melalui fundraising, private placement sampai pinjaman.
“Memang dana dari investor sangat berguna bila ingin ekspansi tapi tentu tidak bisa terus-terusan mengandalkan pihak luar. Startup ini harus bisa menghitung kapan perusahaan bisa mandiri, break-even point, mengembalikan dana pinjaman dari investor dan mulai meraup keuntungan,“ ungkap Hendra dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia mencontohkan ada perusahaan startup besar Indonesia yang sudah berdiri selama puluhan tahun tapi masih beroperasi dengan menanggung utang puluhan triliun rupiah dan investor terus-terusan menyuntikkan modal.
“Bagi saya, praktik seperti ini tidak masuk akal dan tidak sustainable. Kalau tiba-tiba investor startup kehabisan uang, apakah si startup masih bisa beroperasi atau malah kasak-kusuk mencari investor lain untuk suntikan modal?, katanya.
Dua perusahaan rintisan atau startup Tanah Air, yakni PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja dan Zenius Education, belum lama ini mengumumkan PHK terhadap ratusan karyawan. Keduanya melanjutkan tren PHK oleh beberapa startup lainnya, seperti Fabello, TaniHub, dan UangTeman.
Sebelum ini beberapa startup Indonesia pada akhirnya juga harus gulung tikar, antara lain Airy Rooms, Stoqo, Qlapa, dan Sorabel.
Hendra memberi saran agar startup Indonesia tidak perlu terlalu terburu-buru untuk booming. Lebih baik tumbuh secara organik. Kalau memang mau ekspansi baru cari investor. Dana dari investor itu hanya alat bantu untuk berkembang dan bukan tujuan utama mendirikan startup.
Hendra memberi analogi investor pada startup itu seperti baby walker untuk bayi dapat belajar berjalan. Tapi, pada akhirnya bayi itu harus bisa berjalan sendiri tanpa alat bantu. Apabila tidak, berarti ada masalah dan bayi tersebut harus dibawa ke ahli tumbuh kembang anak.
“Lebih baik punya perusahaan yang berkembang secara perlahan tapi sehat dan bertahan lama daripada dikarbit menjadi besar dalam sehari tapi besoknya layu,” tutup Hendra.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022