Prof. Dr. Mulyadi, dr., Sp.P(K), FISR. menjadi guru besar pertama di Universitas Nahdlatul Ulama  Surabaya yang akan dikukuhkan di kampus setempat, Sabtu (16/10).

"Ini merupakan pecah telor Unusa, pengukuhan guru besar yang pertama ber-NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional)," kata Rektor Unusa Prof. Achmad Jazidie di Surabaya, Jumat.

Jazidie mengatakan, Prof. Mulyadi merupakan spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Selain Prof. Mulyadi, Unusa sebenarnya memiliki tiga guru besar lainnya.

"Secara keseluruhan terdapat empat, dan tiga di antaranya merupakan guru besar dengan NIDK (Nomor Induk Dosen Khusus). Mereka sudah pensiun dari universitas sebelumnya tapi ber-home base dosen di Unusa. Jadi Profesor Mulyadi ini Gubes ber-NIDN yang pertama kali," ungkap Rektor Jazidie.

Dalam Rapat Senat Pengukuhan Guru Besar Pertama ini, Prof. Mulyadi membawakan penelitiannya berjudul "Tantangan Pendidikan Dokter Serta Rumah Sakit Pendidikan Menghadapi Pandemi COVID-19".

Prof. Mulyadi mengatakan bahwa dirinya sebagai ahli paru terfokus pada mahasiswa fakultas kedokteran yang harus praktik menangani pasien langsung dan bagaimana hal tersebut secara adaptif dilakukan ketika terjadi pandemi.

"Selama pandemi dua tahun, ternyata kasus dokter meninggal karena terpapar COVID-19 itu malah dokter-dokter umum. Seperti kami dokter paru dan spesialis penyakit dalam malah lebih sedikit, hal itu dikarenakan mental kami sudah siap sehingga memperlakukan pasien yang datang sebagai suspeck Covid-19. Oleh karenanya, penting sekali bekal bagi mahasiswa kedokteran untuk wawasan penyakit infeksius seperti ini," ujarnya.

Menurutnya, kompetensi seorang dokter secara sederhana dapat dipilah dalam beberapa kategori yakni harus diketahui (must know), sebaiknya diketahui (should know), dan baik untuk diketahui (nice to know).

"Saat pandemi COVID-19 dan mengacu pada Surat Edaran Kementerian No. 1 tahun 2020 tentang pembelajaran jarak jauh dari rumah, telah mengurangi kesempatan mahasiswa pendidikan profesi dokter dapat berinteraksi dengan pasien. Ini telah mengusik nurani saya terhadap pendidikan dokter," katanya.

Gubes kelahiran, Trieng Meduro, Sawang, Aceh Selatan, pada 19 Agustus 1962 ini mengatakan, menghadapi keadaan ini para pendidik kedokteran diharuskan untuk menggunakan sistem berbasis teknologi dan simulasi melalui daring.

"Ini merupakan tantangan sekaligus pertaruhan. Mengingat prinsip utama dalam pendidikan kedokteran, prinsip pengajaran klinis ideal yang tidak dapat digantikan adalah tidak ada guru yang lebih baik selain pengalaman langsung menghadapi pasien," katanya.

Suami dari Dr. Arti Lukitasari, dr.,Sp.M ini mengatakan, kegiatan pedagogis memakai simulasi dan inovasi teknologi selama pandemi seperti kuliah daring, simulator virtual webcasting, diskusi ruang daring, telah menghilangkan, setidaknya mengurangi esensi pendidikan yang bertujuan menghasilkan seorang dokter yang  sesuai dengan panduan pendidikan dokter Indonesia.

"Regulasi yang membatasi hubungan antara peserta pendidikan dokter dengan pasien pada masa pandemi merupakan dilema, karena seorang dokter kelak akan menghadapi orang yang sakit, sesuai tingkat kompetensinya," katanya.

Ke depan, merupakan suatu keniscayaan agar  mahasiswa pendidikan profesi dokter untuk terlibat dan ikut melihat pasien yang nyata di rumah sakit dengan alat pelindung diri maksimal, serta mengikuti protokol kesehatan," ujarnya, menambahkan.(*) 

Pewarta: Willy Irawan

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021