Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa permainan mafia tanah menjadikan vonis pengadilan terkait sengketa tanah sulit untuk tereksekusi.
"Ada banyak kasus tanah yang tidak bisa dieksekusi meskipun sudah ada vonis pengadilan. Ini permainan mafia tanah," kata Mahfud ketika memberi paparan sebagai pembicara kunci dalam seminar nasional bertajuk "Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan" yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Komisi Yudisial, Kamis.
Praktik-praktik mafia tanah telah meluas dan melibatkan berbagai pihak. Oknum lembaga peradilan, seperti hakim dan panitera, termasuk ke dalam pihak yang terlibat dan merupakan bagian dari mafia peradilan.
"Kenyataan ini tentu sangat logis, mengacu pada definisi mafia tanah," ucap dia.
Adapun definisi mafia tanah yang menjadi acuan Mahfud adalah mafia tanah sebagai kolaborasi antara oknum pejabat yang memiliki kewenangan dengan pihak lain yang memiliki itikad jahat, seperti merugikan negara dan masyarakat dengan tujuan untuk memiliki maupun menguasai tanah. "Umumnya dilakukan dengan cara-cara yang koruptif," ujarnya.
Sering kali, pemerintah dan aparat penegak hukum menemukan pola mafia tanah yang berawal dari segelintir masyarakat yang memprovokasi pihak lain untuk menggarap atau mengokupasi tanah-tanah kosong.
Permasalahan tersebut tidak hanya melibatkan perebutan tanah milik negara, tetapi juga pada tanah yang merupakan hak milik korporasi atau warga negara.
Untuk menggarap tanah kosong, oknum terkait dapat melakukannya dengan cara mengubah atau menggeser patok tanda batas tanah. Perbuatan tersebut, kata dia, menimbulkan sengketa dan konflik.
Menurut dia, sengketa tanah yang melibatkan tanah negara tidak menjadi permasalahan serius bagi pemerintah. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kemampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan segala sumber daya yang pemerintah miliki, termasuk aparat keamanan.
Berbeda dengan permasalahan yang melibatkan masyarakat biasa. Proses penyelesaian sengketa cenderung lebih sulit, apalagi jika terdapat kesenjangan status sosial.
"Kalau proses eksekusi vonis tidak bisa, siapa yang harus menangani kasus ini? Tidak selesai-selesai dan rakyat (yang merupakan, red.) pemiliknya menjadi korban," tutur Mahfud.
Oleh karena itu, Mahfud berharap aparat penegak hukum memiliki komitmen penuh terkait sengketa di bidang pertanahan untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan praktik mafia tanah di Indonesia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
"Ada banyak kasus tanah yang tidak bisa dieksekusi meskipun sudah ada vonis pengadilan. Ini permainan mafia tanah," kata Mahfud ketika memberi paparan sebagai pembicara kunci dalam seminar nasional bertajuk "Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan" yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Komisi Yudisial, Kamis.
Praktik-praktik mafia tanah telah meluas dan melibatkan berbagai pihak. Oknum lembaga peradilan, seperti hakim dan panitera, termasuk ke dalam pihak yang terlibat dan merupakan bagian dari mafia peradilan.
"Kenyataan ini tentu sangat logis, mengacu pada definisi mafia tanah," ucap dia.
Adapun definisi mafia tanah yang menjadi acuan Mahfud adalah mafia tanah sebagai kolaborasi antara oknum pejabat yang memiliki kewenangan dengan pihak lain yang memiliki itikad jahat, seperti merugikan negara dan masyarakat dengan tujuan untuk memiliki maupun menguasai tanah. "Umumnya dilakukan dengan cara-cara yang koruptif," ujarnya.
Sering kali, pemerintah dan aparat penegak hukum menemukan pola mafia tanah yang berawal dari segelintir masyarakat yang memprovokasi pihak lain untuk menggarap atau mengokupasi tanah-tanah kosong.
Permasalahan tersebut tidak hanya melibatkan perebutan tanah milik negara, tetapi juga pada tanah yang merupakan hak milik korporasi atau warga negara.
Untuk menggarap tanah kosong, oknum terkait dapat melakukannya dengan cara mengubah atau menggeser patok tanda batas tanah. Perbuatan tersebut, kata dia, menimbulkan sengketa dan konflik.
Menurut dia, sengketa tanah yang melibatkan tanah negara tidak menjadi permasalahan serius bagi pemerintah. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kemampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan segala sumber daya yang pemerintah miliki, termasuk aparat keamanan.
Berbeda dengan permasalahan yang melibatkan masyarakat biasa. Proses penyelesaian sengketa cenderung lebih sulit, apalagi jika terdapat kesenjangan status sosial.
"Kalau proses eksekusi vonis tidak bisa, siapa yang harus menangani kasus ini? Tidak selesai-selesai dan rakyat (yang merupakan, red.) pemiliknya menjadi korban," tutur Mahfud.
Oleh karena itu, Mahfud berharap aparat penegak hukum memiliki komitmen penuh terkait sengketa di bidang pertanahan untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan praktik mafia tanah di Indonesia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021