Para pemimpin negara ekonomi maju G7 akan berjanji bersatu untuk menentukan secara resmi untuk mengakui atau memberikan sanksi kepada Taliban, menurut dua sumber diplomatik.
Janji itu diperkirakan akan ditetapkan saat para pemimpin G7 pada Selasa bertemu secara virtual untuk membahas Afghanistan.
"Para pemimpin G7 akan sepakat untuk berkoordinasi mengenai apakah akan atau kapan mengakui Taliban. Dan pemimpin negara-negara G7 akan berkomitmen untuk terus bekerja sama secara erat," kata seorang diplomat Eropa.
Para sekutu Amerika Serikat masih kesal karena Washington tidak segera berkomunikasi setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban pada 15 Agustus.
Para diplomat asing di Washington mengatakan kerja sama akan menjadi tema utama dari pembahasan dalam pertemuan virtual tersebut.
Pengambilalihan kekuasaan secepat kilat oleh Taliban atas Afghanistan pada Agustus membuat para pemerintah asing berebut dan memicu eksodus massal orang-orang yang panik dari negara itu.
Pengambilalihan cepat oleh Taliban itu terjadi setelah pasukan AS mulai mundur dan Presiden Ashraf Ghani melarikan diri.
Para pemimpin G7, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Italia, Prancis, Jerman, Kanada, dan Jepang, kemungkinan secara terpadu akan memberikan pengakuan, atau menjatuhkan sanksi baru, guna mendorong Taliban mematuhi janji untuk menghormati hak-hak perempuan dan hubungan internasional.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson akan menekankan pendekatan terpadu selama pembicaraan G7, yang juga akan mengikutsertakan Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jen Stoltenberg dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, kata Duta Besar Inggris untuk AS Karen Pierce.
"Kami ingin memulai proses pengembangan rencana yang jelas, sehingga kami semua dapat menangani rezim baru Afghanistan dengan cara yang terpadu dan terencana bersama," kata Pierce kepada Reuters.
"Kami akan menilai rezim baru (Afghanistan) berdasarkan tindakan, bukan kata-kata," ujarnya.
Pengakuan adalah suatu tindakan politik yang diambil oleh negara-negara berdaulat dengan konsekuensi penting, termasuk memungkinkan Taliban mendapat bantuan asing --seperti yang diandalkan oleh pemerintah Afghanistan sebelumnya.
Perjanjian 2020, yang ditandatangani oleh pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, secara eksplisit menyatakan bahwa kelompok Taliban "tidak diakui oleh Amerika Serikat sebagai sebuah (pemerintahan) negara."
Pengakuan adalah "salah satu sisa pengaruh terpenting yang masih kita punya," kata Annie Pforzheimer, pensiunan diplomat AS yang dari 2017 hingga 2018 menjabat sebagai wakil kepala misi di kedutaan AS di Kabul.
Pengakuan akan "jauh lebih kuat" jika dikoordinasikan dengan baik dan memastikan bahwa pemerintah baru bersifat inklusif dan mengakui komitmen hak asasi manusia Afghanistan, katanya.
Para pemimpin G7 juga akan membahas kemungkinan perpanjangan batas waktu penarikan pasukan AS oleh pemerintahan Biden hingga 31 Agustus.
Tenggat itu memberi Amerika Serikat dan negara-negara lain lebih banyak waktu untuk menemukan dan mengevakuasi para warga negara Barat, warga Afghanistan yang membantu pasukan NATO dan AS, serta orang-orang lainnya yang menghadapi risiko.
Inggris dan Prancis mendesak untuk mendapatkan tambahan waktu. Tetapi, seorang pejabat Taliban mengatakan pasukan asing tidak meminta perpanjangan waktu dan perpanjangan tidak akan diberikan walaupun mereka memintanya, kata beberapa sumber.
Para pemimpin G7 juga akan berkomitmen untuk mengkoordinasikan sanksi dan pemukiman kembali gelombang pengungsi, kata sumber tersebut.
Menurut Pierce, G7 akan mempertimbangkan upaya evakuasi saat ini dan berkomitmen untuk berkoordinasi erat pada langkah-langkah lebih lanjut, termasuk keamanan, bantuan kemanusiaan, dan pemukiman kembali pengungsi.
"Kami ingin bekerja sama untuk menyampaikan poin yang sangat penting bahwa kami tidak ingin Afghanistan menjadi tempat berkembangbiaknya terorisme. Kami tidak ingin itu terjerumus ke dalam keadaan sebelum peristiwa 9/11 (11 September)," katanya.
Serangan 11 September, sering disebut sebagai 9/11, adalah serangkaian empat serangan teror terkoordinasi oleh kelompok teroris Al Qaida di Amerika Serikat pada Selasa pagi, 11 September 2001.
Jerman akan menekan mitra G7 agar memberikan dana tambahan untuk bantuan kemanusiaan, kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas pada Senin (23/8).
"Menurut saya, negara-negara G7 harus memenuhi tanggung jawab mereka dan menemukan cara untuk mengurangi kesulitan kemanusiaan akut yang sudah lazim di kawasan itu dan yang akan meningkat selama beberapa minggu mendatang," ujar Maas.
Pada Minggu (22/8), Biden mengatakan kepada wartawan bahwa Amerika Serikat sudah berkomunikasi dengan Taliban untuk memfasilitasi evakuasi, tetapi kelompok itu "meminta legitimasi" dalam jangka panjang.
Permintaan itu berarti Taliban akan membutuhkan "bantuan tambahan dalam hal bantuan ekonomi, perdagangan, dan berbagai macam hal".
Namun, tanggapan internasional --termasuk kemungkinan penjatuhan sanksi-- akan bergantung pada tindakan Taliban ke depan di Afghanistan.
Sumber: Reuters (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Janji itu diperkirakan akan ditetapkan saat para pemimpin G7 pada Selasa bertemu secara virtual untuk membahas Afghanistan.
"Para pemimpin G7 akan sepakat untuk berkoordinasi mengenai apakah akan atau kapan mengakui Taliban. Dan pemimpin negara-negara G7 akan berkomitmen untuk terus bekerja sama secara erat," kata seorang diplomat Eropa.
Para sekutu Amerika Serikat masih kesal karena Washington tidak segera berkomunikasi setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban pada 15 Agustus.
Para diplomat asing di Washington mengatakan kerja sama akan menjadi tema utama dari pembahasan dalam pertemuan virtual tersebut.
Pengambilalihan kekuasaan secepat kilat oleh Taliban atas Afghanistan pada Agustus membuat para pemerintah asing berebut dan memicu eksodus massal orang-orang yang panik dari negara itu.
Pengambilalihan cepat oleh Taliban itu terjadi setelah pasukan AS mulai mundur dan Presiden Ashraf Ghani melarikan diri.
Para pemimpin G7, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Italia, Prancis, Jerman, Kanada, dan Jepang, kemungkinan secara terpadu akan memberikan pengakuan, atau menjatuhkan sanksi baru, guna mendorong Taliban mematuhi janji untuk menghormati hak-hak perempuan dan hubungan internasional.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson akan menekankan pendekatan terpadu selama pembicaraan G7, yang juga akan mengikutsertakan Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jen Stoltenberg dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, kata Duta Besar Inggris untuk AS Karen Pierce.
"Kami ingin memulai proses pengembangan rencana yang jelas, sehingga kami semua dapat menangani rezim baru Afghanistan dengan cara yang terpadu dan terencana bersama," kata Pierce kepada Reuters.
"Kami akan menilai rezim baru (Afghanistan) berdasarkan tindakan, bukan kata-kata," ujarnya.
Pengakuan adalah suatu tindakan politik yang diambil oleh negara-negara berdaulat dengan konsekuensi penting, termasuk memungkinkan Taliban mendapat bantuan asing --seperti yang diandalkan oleh pemerintah Afghanistan sebelumnya.
Perjanjian 2020, yang ditandatangani oleh pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, secara eksplisit menyatakan bahwa kelompok Taliban "tidak diakui oleh Amerika Serikat sebagai sebuah (pemerintahan) negara."
Pengakuan adalah "salah satu sisa pengaruh terpenting yang masih kita punya," kata Annie Pforzheimer, pensiunan diplomat AS yang dari 2017 hingga 2018 menjabat sebagai wakil kepala misi di kedutaan AS di Kabul.
Pengakuan akan "jauh lebih kuat" jika dikoordinasikan dengan baik dan memastikan bahwa pemerintah baru bersifat inklusif dan mengakui komitmen hak asasi manusia Afghanistan, katanya.
Para pemimpin G7 juga akan membahas kemungkinan perpanjangan batas waktu penarikan pasukan AS oleh pemerintahan Biden hingga 31 Agustus.
Tenggat itu memberi Amerika Serikat dan negara-negara lain lebih banyak waktu untuk menemukan dan mengevakuasi para warga negara Barat, warga Afghanistan yang membantu pasukan NATO dan AS, serta orang-orang lainnya yang menghadapi risiko.
Inggris dan Prancis mendesak untuk mendapatkan tambahan waktu. Tetapi, seorang pejabat Taliban mengatakan pasukan asing tidak meminta perpanjangan waktu dan perpanjangan tidak akan diberikan walaupun mereka memintanya, kata beberapa sumber.
Para pemimpin G7 juga akan berkomitmen untuk mengkoordinasikan sanksi dan pemukiman kembali gelombang pengungsi, kata sumber tersebut.
Menurut Pierce, G7 akan mempertimbangkan upaya evakuasi saat ini dan berkomitmen untuk berkoordinasi erat pada langkah-langkah lebih lanjut, termasuk keamanan, bantuan kemanusiaan, dan pemukiman kembali pengungsi.
"Kami ingin bekerja sama untuk menyampaikan poin yang sangat penting bahwa kami tidak ingin Afghanistan menjadi tempat berkembangbiaknya terorisme. Kami tidak ingin itu terjerumus ke dalam keadaan sebelum peristiwa 9/11 (11 September)," katanya.
Serangan 11 September, sering disebut sebagai 9/11, adalah serangkaian empat serangan teror terkoordinasi oleh kelompok teroris Al Qaida di Amerika Serikat pada Selasa pagi, 11 September 2001.
Jerman akan menekan mitra G7 agar memberikan dana tambahan untuk bantuan kemanusiaan, kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas pada Senin (23/8).
"Menurut saya, negara-negara G7 harus memenuhi tanggung jawab mereka dan menemukan cara untuk mengurangi kesulitan kemanusiaan akut yang sudah lazim di kawasan itu dan yang akan meningkat selama beberapa minggu mendatang," ujar Maas.
Pada Minggu (22/8), Biden mengatakan kepada wartawan bahwa Amerika Serikat sudah berkomunikasi dengan Taliban untuk memfasilitasi evakuasi, tetapi kelompok itu "meminta legitimasi" dalam jangka panjang.
Permintaan itu berarti Taliban akan membutuhkan "bantuan tambahan dalam hal bantuan ekonomi, perdagangan, dan berbagai macam hal".
Namun, tanggapan internasional --termasuk kemungkinan penjatuhan sanksi-- akan bergantung pada tindakan Taliban ke depan di Afghanistan.
Sumber: Reuters (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021